Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bisakah Indonesia Keluar dari Kutukan Finalis dan Mafia Bola?

9 Desember 2016   05:21 Diperbarui: 9 Desember 2016   15:37 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS / AGUS SUSANTO Pintu gerbang Kantor PSSI di Senayan, Jakarta, disegel dengan rantai besi oleh massa dari Pecinta Sepakbola Indonesia.

Indonesia berhasil masuk ke final Piala AFF 2016 – final untuk kali ke-5. Pencapaian yang layak disambut dan dirayakan Indonesia. Pasalnya Timnas Indonesia sejak babak penyisihan di Filipina terseok-seok dan hampir tersisih. Permainan Timnas Indonesia juga standar. Menghadapi Thailand di babak akhir, Timnas Indonesia harus menghadapi tiga kendala teknis dan non-teknis agar mencapai hasil maksimal. Karena sesungguhnya sepak bola adalah gambaran akan dan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Mari kita telaah tiga faktor kendala yang menghadang Timnas Indonesia dan makna sepak bola dalam kehidupan peran Timnas Indonesia di panggung Piala AFF dan prestasi spesialis finalis di Piala AFF dengan hati jauh dari gembira ria senang bahagia suka-cita senang sentosa pesta-pora jungkir balik koprol sambil menari menyanyi berdansa menertawai nasib yang tak pernah berubah dalam belitan mafia bola yang tiada habisnya.

Catatan kisah sepakbola Indonesia dan Asia Tenggara khususnya dalam kiprah di Piala AFF sangat menarik sekaligus membuktikan paralelisme-nya prestasi dan penampilan Timnas Indonesia dan kondisi bangsa Indonesia sebagai kumpulan bangsa dan masyarakat: tampak tidak bisa keluar dari cengkeraman mafia.

Contoh kecil, minyak dan energi di Indonesia selama 10 tahun kekuasaan SBY dan jauh sebelumnya dikuasai oleh mafia Migas Petral dengan pentolan Muhammad Riza Chalid. Maka prestasi puncak selama kurun waktu 1997 sampai 2014 Timnas Indonesia pun tidak berprestasi dan dibayangi oleh kekuatan mafia sepakbola – yang menghambat prestasi sepak bola Indonesia. Maka upaya reformasi berlangsung.

Pun FIFA sebagai badan tertinggi sepak bola dunia juga diisi oleh para koruptor Sepp Blatter, Jerome Valcke, dsb. yang begitu korup. Alhasil, Indonesia pun PSSI dikuasai oleh koruptor seperti Nurdin Halid dan terakhir La Nyalla Mattalitti sedang diadili. Paralel korupsi di FIFA dan PSSI. Sampai akhirnya Presiden Jokowi lewat Menteri Olahraga membekukan PSSI dengan aneka tuduhan sinyalemen korup dan tidak transparan.

Maka torehan prestasi dan penampilan Timnas Indonesia pun menjadi sedemikian fluktuatif dan mencengangkan. Selalu kalah di final atau semi final setelah HARAPAN tinggi muncul, setelah optimisme terbang tinggi. Ada harapan yang tidak paralel – persis seperti bagian dari harapan dalam berjudi yakni berharap menang namun akhirnya kalah.

Contoh, setelah menghajar Malaysia dengan skor telak 5-0, di babak penyisihan, Indonesia dihajar agregat 2-4 di Final Piala AFF 2010. Sebelum kekalahan di Final, Timnas Indonesia tak terkalahkan dan melesakkan 17 gol serta menyingkirkan Thailand di fase grup. Kenapa? Sinyalemen keterlibatan mafia bola menjadi salah satu alasan.

Kini harapan untuk memenangi Piala AFF untuk kali pertama begitu besar di tengah perubahan PSSI – yang belum juga bisa berubah masih seperti dulu-dulu. Rakyat dan pesuka sepakbola – dari Presiden Jokowi sampai Menteri Nakhrawi – berharap banyak untuk keluarya kutukan bagi Indonesia sebagai spesialis finalis dan semi finalis. Namun, perlu diingat bahwa sepakbola adalah kehidupan kecil di tengah kehidupan yang nyata yang lebih besar yakni kehidupan bangsa Indonesia dan gambaran kondisi bangsa Indonesia secara nyata.

Sepak bola adalah panggung kecil kehidupan yang begitu sempurna menggambarkan dunia yang lebih luas. Sepak bola adalah bisnis ekonomi yang begitu besar sebesar aktivitas kehidupan yang lebih luas: kehidupan manusia sebagai pelaku ekonomi homo economicus.

Sepak bola adalah gambaran besar kehidupan manusia dalam bentuk panggung 22 orang pemain. Berbagai peran pemain di lapangan menampilkan potret kehidupan manusia. Karakter manusia tergambar secara sosial di dalam permainan sepakbola. Pola dalam kerjasama, berbagi, menyerang, bertahan, adu teknik dan taktik adalah gambaran kehidupan manusia.

Dekat di hati dan jiwa dengan yang 22 orang, ada bagian integral emosional seolah bagian mereka yang 11 orang – dengan 11 orang lainnya sebagai pesaing atau musuh – para penonton.

Di luar 22 pemain, terlibat di dalamnya para anggota kru tim sepakbola seperti pelatih, tukang pijit, dokter, jongos, pembantu, dst. Juga terlibat di dalamnya adalah bos timnas sepakbola dan manajer tim sepak bola. Dan di belakang mereka ada petugas negara yang merasa memiliki yakni menteri olahraga atau bahkan perdana menteri dan presiden atau raja.

Dalam permainan yang berlangsung, ada pengadil, ada panitia pertandingan, ada pengatur aneka pertandingan yang melibatkan ratusan panitia. Mereka menjalankan tugas mereka untuk setiap pertandingan demi pertandingan dengan ketentuan dan peraturan layaknya kehidupan dunia sesungguhnya – dan sepakbola lagi-lagi sebagai kenyataan kehidupan dan bukan permainan semata. Sepakbola menjelma menjadi industri ekonomi yang sesungguhnya.

Selain itu, ada sponsor, ada pewarta, ada televisi dan ada penonton televisi. Hak siar dan sebagainya. Dan yang tak kalah pentingnya dan kuatnya; mafia dan penjudi. Sepakbola sebagai industri judi secara resmi berlaku: William Hill adalah industri judi besar.

Di luar itu perjudian on-line di Indonesia menjadi bagian dari sepakbola dengan para penjudi berkeliaran menentukan hasil akhir sepakbola. Liga Indonesia adalah salah satu liga unik dengan catatan TUAN RUMAH 90 persen menang. Lucu.

Oleh karena itu, menghadapi final Piala AFF 2016, publik Indonesia harus ekstra cool dan realistis dalam mengharapkan prestasi sebagai juara Piala AFF 2016. Kenapa? Karena justru catatan prestasi buruk sepak bola Indonesia akan bisa bertambah panjang karena adanya tiga faktor manusiawi sebagai bangsa dalam upaya meraih prestasi. Untuk keluar dari kutukan kekalahan di semifinal dan final, kondisi sempurna tiga faktor harus terpenuhi.

Pertama, faktor teknis. Secara teknis, para pemain Indonesia tidak kalah sejak 20 tahun lalu. Kemampuan para pemain Timnas Indonesia yang berkiprah di liga Malaysia dan ASEAN tak kalah bagusnya. Ada Elly Eiboy, ada Gendut Doni, ada Bambang Pamungkas, ada berbagai pemain yang menorehkan prestasi di luar Indonesia, ada yang lainnya.

Namun, kendala besar dari faktor teknis adalah mentalitas buruk pemain Indonesia. Takut bermain bener, lepas, dan ksatria. Contohnya, permainan di Piala AFF, Indonesia membuat gebrakan skandal Musryid Effendi demi ketakutan menghadapi Vietnam dan membobol gawang sendiri..hahahaha.

Selain yang seperti itu, catatan terakhir semi final di Pakansari dan Hanoi menunjukkan Timnas Indonesia mengalami ketakutan dan melakukan parkir bis. Indonesia hanya mengarahkan 5 tendangan ke gawang berbanding 18 tendangan Vietnam. Teknik dan mental bertahan hanya setelah melesakkan 1 gol adalah strategi paling buruk sebuah pasukan perang lapangan hijau. Hasilnya, Indonesia nyaris kalah.

Bahkan di tahun-tahun sebelumnya, faktor mentalitas lemah menjadi faktor penentu kegagalan Indonesia. Tahun 1999 Indonesia dihajar tanpa ampun oleh Thailand dengan skor telak 4-1 di Rajamandala Bangkok. Tiga tahun berikutnya, 2002 Indonesia pun dihempaskan lewat adu penalti oleh Thailand di Gelora Bung Karno setelah Bejo Sugiantoro dan Firmansyah gagal mengeksekusi bola.

Selanjutnya, tahun 2004 Indonesia dihajar oleh Singapura dengan skor agregat 2-5. Kalah di stadion Gelora Bung Karno 1-3. Di Singapura Timnas Indonesia digebuk Singapura dengan skor 1-2. Tahun 2010, Indonesia dihancurkan oleh Malaysia dengan skor 0-3 di Bukit Jalil dan Indonesia hanya berhasil menang 2-1.

Faktor teknis timnas Indonesia rata-rata di ASEAN, namun soal mental dan fisik sering kedodoran dan di 10 menit terkhir sering kebobolan. Contohnya, pada semi final di Hanoi 2016, Vietnam melesakkan 2 gol ke gawang Timnas Indonesia selepas menit ke 83 dan menit ke 89.

Nah, faktor teknis lawan pun harus menjadi perhitungan. Thailand menembus ke laga Final Piala AFF 2016 dengan rekor fantastis: memenangi seluruh laga dan menghempaskan Indonesia dengan skor telak 4-2.

Artinya, secara teknis Thailand untuk saat ini sangat bagus. Indonesia di bawah Thailand karena senang parkir bus ketika unggul gol. Faktor mental pun Timnas Thailand hebat dan bersemangat untuk diabdikan kepada Raja Bhumibol Adulyadej dan Raja Rama V yang baru diangkat: semangat tinggi. Mental kuat. Berani menyerang.

Kedua, faktor kutukan sebagai finalis. Empat kali masuk final dan gagal terus adalah gambaran dari kutukan. Kutukan selalu memiliki sebab alamiah.

Contoh, Belanda adalah salah satu tim terbaik Eropa yang hanya sekali Juara Piala Eropa 1988, dan dengan talenta luar biasa selalu kalah di Piala Dunia. Sejak zaman Johan Cruyff sampai Ruud Gullit, Ronald Kumman, dan Van Basten dan seabrek talenta sepakbola dunia, namun selalu gagal berprestasi puncak. Spanyol pun mengalami nasib yang sama seperti halnya Perancis sebelum mereka mampu keluar dari kutukan dan menjadi Juara Dunia.

Maka Timnas Indonesia harus mampu keluar dari kutukan jika ingin menjadi kampiun Piala AFF 2016. Soal kutukan, Timnas Thailand sama sekali tidak mengalami karena telah menjuarai Piala AFF sebanyak 4 kali.

Ketiga, faktor non-teknis yakni mafia, PSSI dan gambaran sosial rakyat Indonesia. Malaysia dan Singapura porak-poranda prestasinya di Piala AFF 2016. Penyebabnya adalah dugaan korupsi Najib Razak bernilai miliaran Ringgit. Sementara Singapura keok karena tidak adanya semangat dan tengah mengalami kegalauan regional dalam politik dan ekonomi kredit dan kertas – Singapura akan mengalami masalah ekonomi sejalan dengan kondisi ekonomi Amerika.

Dalam hal faktor non-teknis ini, keterlibatan mafia bola di Indonesia dan Thailand, yang dikuasai oleh mafia Rusia dan mafia lokal tampak sama. Hanya penyetor janji besar yang akan memenangkan taruhan dan judi.

Pun pengurus PSSI yang masih limbung dengan berbagai kepentingan pun akan berpengaruh di lapangan. Kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang menggambarkan psikologi sosial masyarakat Indonesia pun akan berpengaruh. Melecut semangat.

Dari sisi Thailand, kondisi dan masa berkabung duka atas meninggalnya Raja Bhumibol Adulyadej pun akan melecut semangat sekaligus memersembahkan tropi untuk Raja Rama V, raja baru Thailand. Maka secara non-teknis, Thailand unggul telak di atas Indonesia.

Nah, dari paparan di atas, pertandingan antara Indonesia melawan Thailand akan berlangsung dalam bentuk dramatis: loyo atau penuh semangat. Akan tampak pertandingan yang menggambarkan bermainnya tiga unsur (1) faktor teknis dan mental, (2) faktor non-teknis, dan (3) faktor kutukan bagi Indonesia. Ditambah dengan catatan melawan Thailand yang kebanyakan keok, dan kekuatan teknis dan non-teknis Thailand yang lebih baik, dengan kondisi seperti itu, tanpa mengurangi rasa nasionalisme yang jelas menggelegak dalam NKRI, maka dapat dipastikan Timnas Indonesia akan kalah melawan Thailand, dan hanya menyisakan sedikit harapan sebaliknya. (Dengan penuh kemaluan berharap Indonesia menang, hanya karena rasa nasionalisme bukan karena rasionalitas, hahahahaha.)

Demikian catatan dan ramalan Ki Sabdopanditoratu yang selalu benar.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun