Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hymne Guru, Kasus Makassar, dan Mimpi 4 Kompetensi Guru

14 Agustus 2016   13:59 Diperbarui: 14 Agustus 2016   14:04 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno dan Tan Malaka dua tokoh yang sangat menghargai guru I Sumber Ayobuka.com

Jlep. Jlep. Menyesakkan dada. Guru di Makassar dihajar sampai belur. Maka ingatanku pergi ke Bung Karno dan Tan Malaka. Mereka sadar bahwa tanpa guru mereka tak akan menjadi pendiri Indonesia. Selain ke mereka, maka ingatanku melayang ke 27 tahun lalu. Aku di depan kelas menangis. Cengeng. Aku ikut menyanyikan lagu Hymne Guru pada perpisahan SD.

Maka aku tetap ingat para guru dan kepala sekolah Ibu Murniati, Kepala Sekolah Bapak Soemardjo dan semua guru lainnya. Kenapa? Aku menyanyikan dengan tetesan air mata. Kenapa menangis. Aku merasa dicintai oleh mereka. Dididik oleh mereka. Bung Karno dan Tan Malaka pun pasti akan menangis jika mereka masih hidup mendengar penganiayaan guru dan hancurnya pendidikan di Indonesia. Maka Hymne Guru menjadi lagu yang aku kenang sepanjang masa.

Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir, didalam hatiku
S'bagai prasasti terimakasihku 'ntuk pengabdianmu
Terpujilah wahai Ibu Bapak guru
 Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku
S'bagai prasasti terimakasihku 'ntuk pengabdianmu
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa

Guru SMKN 2 Makassar itu belur dihajar oleh orang tua. Darah mengucur di wajah guru. Dipotret dan diberitakan media sosial. Publik terkejut. Media sosial gempita. Ada apa? Gambaran kekerasan terhadap guru memang menyedihkan. Kekerasan terhadap guru tak dapat ditolerir, namun persoalan kekerasan itu jelas menandakan ada yang tidak beres dalam hubungan guru, murid, institusi pendidikan, dan orang tua – bahkan kepala daerah.

Mari kita telaah kasus penganiayaan Makassar dengan jernih sambil mencari titik masalah dunia pendidikan dan guru dengan hati jauh dari gembira ria riang sentosa bahagia sambil menari menyanyi berdansa salto jungkir balik selamanya senantiasa.

Orang tua kita memberikan penghormatan tinggi kepada para guru. Profesi guru adalah kehormatan. Para guru adalah sosok panutan yang terpandang di dalam masyarakat Indonesia sejak zaman Belanda sampai pada tahun 1980-an. Pasca 1980-an, profesi guru lambat tapi pasti berubah sejalan dengan materialisme yang melanda kehidupan bangsa Indonesia. Lagu berjudul Hymne Guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa pun diubah syairnya menjadi lebih materialistis.

Hikayat tentang amal dan perbuatan baik melalui transfer dan berbagi ilmu yang disebut salah satu amal jariyah hilang ditelan bumi. Para guru kehilangan darah semangat mengajar. Guru tidak lagi mengharapkan niatan baik mengajar, namun niat mencari uang. Hilang sudah harapan mendapatkan pahala seperti para guruku Ibu Murniati dan Kepala Sekolah Bapak Soemardjo.

Sejak profesi guru (khusus di sekolah negeri) berubah dari pahlawan tanpa tanda jasa dan menjadi hanya pekerjaan biasa, dunia pendidikan di Indonesia terguncang. Bukan hanya tingkat dasar dan menengah, tingkat perguruan tinggi pun mengalami goncangan. Uang menjadi titik penentu keberadaan siswa, guru dan institusi pendidikan. Maka profesi guru pun tak ubahnya seperti profesi dokter, pengacara, sopir taksi, buruh pabrik yang tujuannya adalah uang dan uang.

Profesi guru yang seharusnya memiliki 4 syarat kompetensi yakni (1) personal, (2) profesional, (3) paedagogik, (4) sosial, kini tinggal kenangan. Akibatnya, potret pendidikan tinggi Indonesia merosot tajam kalah dengan negara seuplik-licik Singapura, Malaysia dan bahkan negara porak-poranda seperti Filipina. Tak ada universitas di Indonesia yang bisa menembus persaingan bahkan 100 top dunia.

Kisah pendidikan tinggi yang menghasilkan manusia super seperti Tan Malaka, Bung Karno, Hatta, M. Yamin yang berpendidikan Barat tidak menjadikan Indonesia berpikir tentang perlunya pendidikan dari dasar sampai tingkat teratas.

Buyarnya fokus mendidik anak bangsa di tingkat dasar dan menengah berimbas pada tingkat tinggi. Murid dan guru serta institusi pendidikan hanyalah sebuah etalase interaksi kering pembuang waktu anak bangsa. Para murid dijejali mengerjakan LKS. Murid disebut peserta didik namun para guru sebagian besar tidak memiliki kemampuan untuk mendidik – bahkan fungsi mendidik hilang.

Tanpa makna mendidik, institusi sekolah hanyalah intitusi interaksi tempat guru dan murid bertemu. Dasar interaksi adalah kepentingan uang. Murid membayar, guru digaji. Persis seperti interaksi pedagang dan pembeli di pasar. Murid – dan juga orang tua – merasa tidak puas dengan interaksi di sekolah yang berubah.

Tidak ada upaya mendidik anak-anak mereka dari sekolah. Sekolah dianggap gagal mengembangkan potensi siswa. Ketrampilan motorik, psikomotorik, perkembangan psikologis untuk membentuk anak-anak demi masa depan gagal dicapai.

Para guru yang telah kehilangan gelar pahlawan tanpa tanda jasa – hingga lagu pun diubah syairnya – hanya menjalankan transaksi bisnis di sekolah. Guru menghabiskan waktu dengan gadget-nya. Guru menjadikan  sekloah sebagai tempat menghabiskan waktu dengan santai.

Perubahan orientasi sekolah dari tempat mendidik dan belajar menjadi tempat guru hanya menghabiskan waktu tanpa kesadaran mendidik anak bangsa telah menyebabkan hubungan murid dan guru hanyalah hubungan bisnis semata. Guru pun tidak pernah merasakan bahwa para muridnya adalah sosok-sosok yang haus akan pendidikan dan bahkan budi pekerti. Guru pun hanya menyadari profesi guru adalah profesi seperti pekerjaan lain, bukan profesi mendidik.

Karena guru tidak lagi menghargai profesinya, maka para murid dan orang tua pun merasakan bahwa para guru tak layak dihargai. Ini karena dedikasi guru terhadap profesinya telah hilang musnah ditelan oleh materialisme dan kesadaran profesi hanya sebagai alat mencari uang. Titik.

Maka menghadapi kasus Makassar, para pemangku kepentingan (1) guru, (2) murid, (3) orang tua, (4) sekolah, (5) pemerintah wajib merumuskan kembali makna sekolah. Para guru dan pemerintah harus mengembalikan marwah sekolah. Pun hubungan murid dan guru, serta guru dan orang tua murid pun perlu dikembangkan dan dikembalikan sebagai interaksi utuh dan sehat.

Kini akan sulit membayangkan lagu Hymne Guru dinyanyikan lalu murid meneteskan air mata di depan para guru dan murid dalam acara perpisahan. Guru telah menjadi profesi tak beda dengan profesi lainnya seperti tukang batu, guru, buruh pabrik yang hanya memikirkan uang. Ini khusus guru di sekolah dan institusi pendidikan dasar dan menengah negeri. Potret buram pendidikan Indonesia harus diakhiri dengan para guru benar-benar memegang dan mengamalkan 4 kompetensi guru plus moralitas yang baik. Tanpa upaya perbaikan mental dan spiritual yang menyeluruh maka kasus guru belur di Makassar akan terulang. Jangan biarkan Tan Malaka dan Bung Karno menangis di alam kubur menyaksikan pendidikan Indonesia yang hancur.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun