Tanpa makna mendidik, institusi sekolah hanyalah intitusi interaksi tempat guru dan murid bertemu. Dasar interaksi adalah kepentingan uang. Murid membayar, guru digaji. Persis seperti interaksi pedagang dan pembeli di pasar. Murid – dan juga orang tua – merasa tidak puas dengan interaksi di sekolah yang berubah.
Tidak ada upaya mendidik anak-anak mereka dari sekolah. Sekolah dianggap gagal mengembangkan potensi siswa. Ketrampilan motorik, psikomotorik, perkembangan psikologis untuk membentuk anak-anak demi masa depan gagal dicapai.
Para guru yang telah kehilangan gelar pahlawan tanpa tanda jasa – hingga lagu pun diubah syairnya – hanya menjalankan transaksi bisnis di sekolah. Guru menghabiskan waktu dengan gadget-nya. Guru menjadikan  sekloah sebagai tempat menghabiskan waktu dengan santai.
Perubahan orientasi sekolah dari tempat mendidik dan belajar menjadi tempat guru hanya menghabiskan waktu tanpa kesadaran mendidik anak bangsa telah menyebabkan hubungan murid dan guru hanyalah hubungan bisnis semata. Guru pun tidak pernah merasakan bahwa para muridnya adalah sosok-sosok yang haus akan pendidikan dan bahkan budi pekerti. Guru pun hanya menyadari profesi guru adalah profesi seperti pekerjaan lain, bukan profesi mendidik.
Karena guru tidak lagi menghargai profesinya, maka para murid dan orang tua pun merasakan bahwa para guru tak layak dihargai. Ini karena dedikasi guru terhadap profesinya telah hilang musnah ditelan oleh materialisme dan kesadaran profesi hanya sebagai alat mencari uang. Titik.
Maka menghadapi kasus Makassar, para pemangku kepentingan (1) guru, (2) murid, (3) orang tua, (4) sekolah, (5) pemerintah wajib merumuskan kembali makna sekolah. Para guru dan pemerintah harus mengembalikan marwah sekolah. Pun hubungan murid dan guru, serta guru dan orang tua murid pun perlu dikembangkan dan dikembalikan sebagai interaksi utuh dan sehat.
Kini akan sulit membayangkan lagu Hymne Guru dinyanyikan lalu murid meneteskan air mata di depan para guru dan murid dalam acara perpisahan. Guru telah menjadi profesi tak beda dengan profesi lainnya seperti tukang batu, guru, buruh pabrik yang hanya memikirkan uang. Ini khusus guru di sekolah dan institusi pendidikan dasar dan menengah negeri. Potret buram pendidikan Indonesia harus diakhiri dengan para guru benar-benar memegang dan mengamalkan 4 kompetensi guru plus moralitas yang baik. Tanpa upaya perbaikan mental dan spiritual yang menyeluruh maka kasus guru belur di Makassar akan terulang. Jangan biarkan Tan Malaka dan Bung Karno menangis di alam kubur menyaksikan pendidikan Indonesia yang hancur.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H