(Nah, di tengah kekuatan besar itu, ada kekuatan besar yang berimbang dan bergerak pula: sebagian kecil the Operators bermain dengan memberikan perimbangan tawaran. Pentolan PDIP di DPRD DKI Jakarta berada di ujung tanduk akan dicokok oleh KPK. Pun Jakarta adalah etalase Presiden Jokowi dan etalase Indonesia yang wajahnya mewarnai Indonesia.
Kasus yang menggelinding di KPK yang menyebut keterlibatan M. Taufik dan Edi Marsudi Prasetyo Ketua DPRD DKI Jakarta akan menggelinding sesuai kepentingannya. Hanya kecerdasan politik tingkat tinggi PDIP yang akan menyelamatkan kepentingan PDIP di DPRD DKI Jakarta dalam kasus ini. Sekaligus akan memberikan tekanan yang begitu kuat kepada Megawati, meski berita menyebutkan Risma dan lain-lain.
Elite Ring 1 PDIP yang tidak memahami kontestasi politik, apalagi hanya orang-orang tingkat PDIP DKI Jakarta. Maka serta-merta PDIP ditempatkan pada dilemma: (1) mendukung Ahok dengan konsekuensi tak mendapatkan bancakan uang APBD DKI Jakarta, (2) tidak mendukung Ahok dengan konsekuensi menjadi pecundang di Pileg 2019 untuk skala nasional.
Golkar telah mencuri start dan melakukan coup de candidate de le president, kudeta pencapresan kembali Presiden Jokowi di 2019. Golkar menjadikan Presiden Jokowi sebagai jualan politik. PDIP pun merasa kalah start dan tersingkir dalam maneuver politik. Sakit hati politik PDIP ini hanya bisa diobati dengan mengganjal Ahok – sebagai sohib Presiden Jokowi. PDIP menjadi alat para parpol DKI DPRD Jakarta yang gagal mendapatkan uang bancakan APBD DKI seperti Gerindra, partai agama PKS, Golkar, PAN, Demokrat, PPP, Demokrat, PDIP, Hanura, dan NasDem.)
Dalam kondisi linglung, karena Ahok, para partai dengan gempita memanfaatkan kepentingannya. Risma yang sudah bersedia membagi-bagi dana hibah untuk kepentingan para parpol, tetap mau disingkirkan dengan cara penjerumusan Risma: kalah melawan Ahok. Risma pun berhenti menjadi Walikota Surabaya karena kemungkinan menang Risma di DKI Jakarta kecil. Pun kapasitas Risma masih kelas Walikota Jaksel doang di mata rakyat Jakarta.
Dengan demikian, bagi para parpol, termasuk PDIP, tidak penting Risma kalah atau menang. Menang atau kalah bagi para partai bukan taruhan. Jika Risma menang di DKI bancakan dan bagi-bagi kekuasaan seperti di Surabaya, kalah pun para parpol berpesta Risma terbuang. Risma tak berdaya dalam hal ini. PDIP pun jelas bersetuju dengan para partai: menyingkirkan salah satu, Ahok atau Risma.
Jadi, publik sebenarnya sedang diberikan tontonan seolah kepentingan rakyat DKI sedang dipertaruhkan oleh para partai. Munculnya Risma dan lain-lain sebenarnya hanya untuk kepetingan para parpol, bukan kepentingan rakyat DKI Jakarta. Rakyat DKI Jakarta sesuai survei akan semakin paham tentang esensi politik. Fakta bahwa Ahok tengah berhasil membangun Jakarta tak terbantahkan. Rakyat DKI Jakarta yang cerdas dan waras akan menertawai partai yang menentang Ahok. Bahkan rakyat DKI Jakarta perlu dicerahkan tentang esensi partai politik dan politikus.
Dalam kontestasi politik tingkat tinggi ini – yang sejatinya politik primitif, esensinya cuma satu: kekuasan untuk uang dan uang untuk kekuasaan. Titik. Maka dalam politik ini Ahok adalah representasi pembatasan dan pencegahan korupsi. Untuk itu maka menjadi beralasan para partai berpaya menyingkirkan Ahok dengan mencari sosok lain seperti M. Sanusi kalau perlu.
Maka melihat pertanda itu, elektabilitas Ahok di DKI Jakarta tetap tinggi, PDIP dan para partai tengah bermain politik tingkat primitif, yang disebut politik tingkat tinggi, yakni bagi-bagi kekuasaan. Ujung dari kepentingan politik bagi-bagi uang adalah: uang untuk kekuasaan, dan kekuasaan untuk uang. Itulah politik yang dijalankan oleh politikus.
Maka dalam Pilgub 2017 DKI Jakarta, PDIP pun melakukan politik primitif. PDIP tidak mendukung calon yang tak menguntungkan parpol seperti Ahok. Risma pun jika ditunjuk akan menjadi korban dengan menjadi pengangguran. Jika Ahok menang bagi parpol yang penting salah satu sudah disingkirkan, dan Risma dipastikan akan berbuat lebih gila di DKI Jakarta seperti Ridwan Kamil dan Risma sendiri di Surabaya dalam membagi-bagi dana hibah untuk yayasan atau ormas termasuk FPI tentunya – yang oleh Ahok dan Gubernur Jokowi tidak diberi uang sepeser pun, maka marah.
Sekali lagi, ujung dari dukung-mendukung dari partai politik untuk Risma dan penyingkiran Ahok hanya satu: demi kekuasaan dan uang dan uang untuk kekuasaan. Maka bagi para partai politik, mencalonkan Risma adalah kemenangan untuk memenuhi nafsu politik yakni kekuasaan dan uang, uang untuk kekuasaan. Dan … Megawati dan PDIP tengah di persimpangan antara menjadi korban politik sakit hati, atau menjadi parpol hebat pembela rakyat. Atau PDIP tetap ingin menyingkirkan salah satu Risma atau Ahok demi memenuhi esensi niat politik partai politik: uang dan kekuasaan.