Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Risma atau Ahok, Esensi Politik Pilihan Megawati dan PDIP

14 Agustus 2016   07:25 Diperbarui: 14 Agustus 2016   08:00 3943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
M. Sanusi cagub koruptor Gerindra I Sumber Jurnalpolitik.com

Ideologi agama yang dicampur dengan politik ternyata tidak laku di Indonesia dengan bukti kegagalan partai Yusril PBB, dan juga dibonsainya partai agama PKS oleh rakyat Indonesia, juga Parkindo dan tentu bubarnya PDS dari peredaran politik nasionalis Indonesia.

Maka demi kepentingan bangsa yang lebih besar bangsa dan negara, dengan kesadaran tinggi para parpol menjungkalkan kandidat partai agama PKS dengan Foke alias Fauzi Bowo menjadi kendaraan dan kuda tunggangan para parpol.

Pilgub 2012 kembali muncul dengan kepentingan berbeda dengan esensi yang sama: kepentingan status quo tanpa pembangunan Foke-Nara, karena menuruti kepentingan berbagi-bagi kekuasaan, melawan pembaharu Jokowi-Ahok. Partai agama PKS kembali dengan muka topeng baru mendukung Foke-Nara, setelah cagub wani piro si rakus kekuasaan Hidayat Nur Wahid, keok.

Keadaan ini menimbulkan reaksi umum rakyat DKI Jakarta yang kembali sadar akan kepentingan rakyat di atas kepentingan partai. Maka, Foke-Nara keok. DKI Jakarta mendapatkan darah baru: Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok. Komunikasi politik tepat gaya kerakyatan Gubernur Jokowi dengan pendekatan manajemen pengawasan ke tingkat rakyat membuat Gubernur Jokowi naik popularitasnya dan menjadi calon Presiden RI paling popular.

Puncak perang esensi kepentingan partai terjadi pada 2014. Pilpres 2014. Sebagai reaksi terhadap pembaruan di DKI Jakarta ini muncul. Ketakutan tak mendapatkan kue korupsi seperti di DKI sungguh ditakutkan oleh para partai.  Maka, bersatu padu kini para parpol nasionalis meliputi 67% suara rakyat semu (lewat perhitungan parpol) berjibaku mendukung untuk melawan 33% PDIP dan kawan-kawan. Head to head Prabowo melawan Jokowi tak terelakkan. Dengan komunikasi politik dan strategi politik tepat Prabowo terjungkal.

Luka menganga permanen alias gagal move on dibawa oleh para cecunguk sampai sekarang. Muncullah manusia seperti Habiburakhman, Fadli Zon, Muhammad Taufik, Lulung, Fahri Hamzah, Amien Rais – yang akan mendapat murka Allah SWT karena tidak membayar nazar jalan kaki Jogjakarta-Jakarta jika Prabowo kalah – Ahmad Dhani dan nenek-nenek cantik jelita, jauh dari gambaran kecantikan hikayat Nenek Lampir, si pemain tamborin Ratna Sarumpaet.

Dalam suasana gagal move on yang masih menghantui, fenomena pemilihan pejabat publik Pilpres 2014, Pilgub DKI 2012, dan Pilgub DKI 2007 kembali muncul di Pilgub 2017. Penyebabnya pun sama. Gubernur Ahok yang ditentang oleh para parpol di DKI Jakarta gagal memberikan akses uang untuk kekuasaan dan kekuasaan untuk uang.

Alhasil, mayoritas parpol termasuk PDIP pun gagal mendapatkan kesempatan mengeruk uang APBD dan dana hibah seperti di Bandung dan Surabaya. Kegeraman para koruptor di DPRD DKI Jakarta seperti bekas narapidana koruptor M. Taufik dan koruptor M. Sanusi dan Fahmi misalnya menjadi-jadi. Para partai termasuk PDIP lupa ada kekuatan selain kekuatan mereka yang ditampilkan ke permukaan.

Gerakan menghadang Ahok pun dilakukan dengan tiga cara: (1) tidak didukung oleh parpol untuk maju, jika maju maka dikeroyok seluruh parpol dengan segala cara, dan (2) kriminalisasi. Maka kasus Sumber Waras, kasus UPS, kasus Podomoro yang mencokok koruptor M. Sanusi, juga kasus Cengkareng diputar-putar, diputar-balik dengan target kriminalisasi terhadap Ahok. Gagal total.

Malahan, Ahok didukung Teman Ahok memaksa NasDem, Hanura, dan Golkar mendukung Ahok. Mereka adalah tiga partai gurem di DKI yang mencari panggung politik. Di tingkat DKI Jakarta – bukan nasional – para partai PDIP, PBB, PKB, PAN, partai agama PKS, Gerindra, dan Demokrat bersatu-padu melawan Ahok. Semua cara dilakukan. Ahok maju ke pertarungan politik melawan status quo gagal move on Pilpres 2014 dengan ditambah partai bermental oposisi, PDIP.

Kini, PDIP memimpin dan tampak menjadi oposan terhadap Ahok. Dalam politik sesungguhnya yang bermain adalah kepentingan untuk berkuasa. Ahok yang tak berpartai di DKI sama sekali tidak memberikan keuntungan kepada para parpol. Marahlah para parpol. Semua partai besar melawan Ahok bahkan Gerindra mendukung FPI seperti cecunguknya si M. Sanusi dan M. Taufik selain Lulung tentu, berupaya menggerakkan sentimen anti Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun