Risma atau Ahok. Itu pilihan Megawati dan PDIP. Esensi politik berbeda dengan fenomena politik di permukaan. Gempita Risma dan Ahok menjadi berita yang seksi di tengah pertarungan kepentingan. Politik mengajarkan tentang kepentingan sebagai tujuan dengan segala cara – dan cara apa pun. Maka demi kepentingan dan permainan politik tingkat tinggi itu Risma, Yusril, Ridwan Kamil, dan bahkan si culun politik Sandiaga Uno dikerek untuk kepentingan melawan Ahok. Apa sesungguhnya yang terjadi dalam drama itu selain memaknai esensi politik yang sesungguhnya yang kebanyakan publik dan bahkan para politikus tak memahaminya?
Mari kita urai aneka berita gempita nan fenomenal tentang pilkada DKI dengan terberita Risma, Ahok, PDIP dan berbagai rangkaian yang membuat publik kebingungan dengan hati bahagia senang suka-cita girang gembira ria riang menertawai PDIP dan Megawati yang bisa jadi tengah belajar berpolitik cerdas atau sedang menjadi korban politik esensial sebagaimana biasanya sambil menyanyi menari salto koprol jungkir balik selamanya senantiasa.
Pemberitaan tentang Risma, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan bahkan Yusril hanyalah berita semata untuk tujuan tertentu dalam politik, yakni menghilangkan esensi politik yang sesungguhnya. Namun, sesungguhnya dalam politik berita atau yang diberitakan memiliki makna tertentu.
Dalam pemberitaan dan suguhan berita selalu ada nama yang mewakili pihak pembela kebaikan dan pelawan kebaikan dari perspektif kepentingan partai dan esensi politik. Celakanya publik hanya melihat sebagai perang kebenaran dan ketidakbenaran. Padahal berita-berita itu semu dan cara mengecoh dan mengelabuhi publik semata oleh para parpol.
(Apalagi setingkat the Operators – yang benar-benar memahami makna politik dan kebaikan untuk rakyat – nilai semua kepentingan hanyalah soal angka-angka belaka. Tidak ada catatan tentang apa pun selain manusia sebagai angka: menang dan kalah hanyalah kepentingan politik parpol semata. Untuk itu kekuatan the Operators yang berdiri untuk kepentingan bangsa dan negara mampu mengatur arah politik para partai yang menjadi bagian kecil dari obyek yang harus diasuh, untuk kepentingan rakyat.)
Publik hanya melihat gebyar di permukaan, bukan esensi politik, persis sama dengan serangkaian pemilihan Pilgub DKI 207, 2012, dan Pilpres 2014 sebagai gambaran politik.
Pilgub 2007 di DKI Jakarta adalah gambaran perang kepentingan politik nasionalis melawan politik yang mengatasnamakan agama: partai agama PKS. Para partai politik semuanya sama tujuannya: uang untuk kekuasaan dan kekuasaan untuk uang, termasuk tentu partai agama PKS. Yang tampak di permukaan adalah perang antara partai agama PKS dengan para parpol.
Dalam Pilgub DKI 2007, para parpol nasionalis melihat bahaya Wahabi dan Ikhwanul Muslimin beranak-pinak dengan etalase pengusungnya partai agama PKS. Ideologi yang membawa-bawa agama sebagai kendaraan partai dipandang oleh para partai lainnya sebagai bahaya yang mengancam para parpol. Menyatukan ideologi partai dengan ideologi agama bertentangan dengan roh kehidupan sekuler-religius dan religius-sekuler bangsa Indonesia.
Dengan latar belakang tersebut, maka para partai sepakat menyingkirkan kandidat partai agama PKS Adang Daradjatun dari etalase DKI Jakarta. Adang Daradjatun sang suami koruptor selebritas Nunun Nurbaeti harus kalah. Maka semua partai berbahu-membahu menyingirkan kepentingan besar ideologi partai agama PKS yang menyatukan ideologi agama dengan kedok idiom agama Islam.
Fakta nyata bahwa rakyat Indonesia adalah pencinta kebangsaan yang pluralis dan mencintai Indonesia raya yang berbhineka. Upaya menggunakan agama sebagai kendaraan politik tidak laku.
Selepas kekuasaan eyang saya Presiden Soeharto, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), berbagai parpol berideologi dasar agama seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), gagal merebut suara masyarakat Kristen dan Katholik Indonesia berjumlah sekitar 15% dari penduduk Indonesia.