Santoso berhasil ditewaskan. Tewasnya pentolan teroris Santoso alias Abu Wardah oleh operasi gabungan TNI-Densus 88 mendorong efektivitas kerja sama TNI-Polri dalam memberantas korupsi. Kini penguatan dilakukan dengan kewenangan TNI untuk melakukan tindakan. Namun, isu kerja sama ini berhasil menutupi pasal krusial, yakni prinsip actus reus dan mens rea (menindak dengan tanpa kecukupan alat bukti) dalam revisi UU Terorisme. Indonesia dan Presiden Jokowi dalam hal UU Terorisme musti belajar dari Internal Security Act (ISA) Singapura dan the Security Offences (Special Measures) Act Malaysia. Tanpa prinsip tersebut, revisi menjadi tidak bermakna, tidak bergigi.
Mari kita telaah upaya DPR yang lalai – dan unsur di bawah tanah terorisme – sekaligus peringatan kepada Presiden Jokowi dan DPR, yang terkecoh dan hanya mengarahkan pada upaya standar kerja sama TNI-Polri dengan hati jauh dari gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita menari menyanyi berdansa karena jauh dari harapan revisi UU Terorisme ala SOSMA dan ISA di Malaysia dan di Singapura selamanya senantiasa.
Tantangan terorisme di Malaysia, Singapura – Filipina dan Thailand – dan Indonesia sama: radikalisme Islam dan eksklusivisme ideologi. Kelima negara ini menghadapi ancaman terorisme dari unsur Jamaah Islamiyah, cabang Al Qaeda sejak berakhirnya Perang Afghanistan, plus ISIS yang melancarkan gerakan radikal terorisme di Asia Tenggara. Dari kelima negara itu Indonesia mengalami serangan terorisme paling banyak: lebih dari 100 serangan dan ancaman sejak 1999, diawali dengan rangkaian serangan Bom Natal. Terdapat ratusan penggagalan serangan oleh Densus 88 yang berhasil menyelamatkan ratusan potensi korban.
Puncak terorisme di Indonesia terjadi dengan serangan Bom Bali I dan Bom Bali II serta Bom JW Marriot, Kedutaan Besar Australia, dan tentu serangan terhadap BEJ, kini Bursa Efek Indonesia. Semua pelakunya adalah tiga kelompok dengan embrio: eks esktrimis Afghanistan dengan home ground kalangan pesantren radikal semacam Ponpes Ngruki, Jawa Tengah pimpinan teroris Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.
Tewasnya Santoso dimanfaatkan oleh kalangan pendukung khilafah – dalam hati dan bersembunyi di balik HAM dan teknik strategi meminjam sentiment SARA – untuk menjauhkan Revisi UU Terorisme dari doktrin pre-emptive measures . Pasal untuk melakukan tindakan ketika embrio terorisme muncul untuk ditindak tidak dimasukkan dalam UU Terorisme. Artinya revisi hanya mengatur pasal-pasal kerja sama, pengawasan, koordinasi, dan bukan tindakan untuk menumpas akar dan bibit terorisme. Indonesia seharusnya belajar dari Singapura dan Malaysia.
Internal Security Act (ISA) alias Undang-undang Keamanan Dalam Negeri di Malaysia dan Singapura telah terbukti mampu menghancurkan bibit dan niatan terorisme yang mengancam Negara. Catatan tentang aksi terorisme di Singapura dan Malaysia menunjukkan angka jauh rendah dibandingkan dengan di Indonesia.
Singapura dalam sejarahnya hanya mengalami 3 kali serangan sejak 1965. Serangan pertama terjadi pada pemboman McDonald House, lalu pada 1974 serangan oleh Tentara Merah epang dan PLO, serta pada 1991 berupa pembajakan pesawat Singapore Airlines SIA 117 yang dilakukan oleh pendukung PPP Pakistan.
Berdasarkan ISA, Singapura melakukan penangkapan dan penggagalan terhadap rencana serangan teror pada 2001 dengan menangkap 15 orang. Rancangan serangan menargetkan kepentingan Amerika, Konsulat Jenderal, Komisi Tinggi Australia di Singapura, konvoi pasukan mariner Amerika, dan kapal perang Amerika di Singapura. Pada 2002, 21 anggota Jamaah Islamiyah juga ditangkap sebelum tindakan teror dilakukan.
ISA di Singapura berdasarkan informasi Kementerian Dalam Negeri Singapura didapatkan berbagai informasi dari teroris. ISA membolehkan penangkapan dan penahanan tanpa bukti awal yang cukup. Hasilnya, SIA mampu menghentikan gerakan teroris Jamaah Islamiyah di Singapura. Kutipan data intelejen dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan data menarik.
Di Singapura, para anggota Jamaah Islamiyah yang ditangkap pada Desember 2001 membeberkan bahwa visi awal mereka adalah Indonesia Islam yang belakangan diperluas menjadi visi Daulah Islamiyah Nusantara yang meliputi Malaysia, Indonesia, dan Mindanao, dengan Singapura dan Brunei tak terelakkan masuk ke dalamnya.
Dalam perang melawan terorisme, Singapura menerapkan strategi dengan program Total Defense alias Pertahanan Semesta. Pertahanan Total ini melibatkan sistem pertahanan (1) militer, (2) sipil, (3) ekonomi, (4) sosial, (5) psikologi. Kelima hal ini dijalankan secara komprehensif.
Secara khusus Pertahanan Sosial digariskan oleh mendiang Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, yang secara tegas menyebutkan ancaman sosial sebagai hal yang harus diperhatikan.
In keeping with a world-wide trend, over the last three decades many Muslims in Singapore and the region are becoming stricter in their dress, diet, religious observances, and even social interaction, especially with non-Muslims. Increasingly Muslim women will not shake hands with men. The generation of convivial and easy-to-get-along-with Muslim leaders in the region has given way to successors who observe a stricter Islamic code of conduct. My original concern was over the growing separateness of our Muslim community, as Singaporean Muslims tended to congregate for their social and extra-mural activities in their mosques, instead of in multi-racial community clubs. What came as a shock was that this heightened religiosity facilitated Muslim terror groups linked to Al-Qaeda to recruit Singapore Muslims into their network.
Dalam menyikapi kecenderungan global, selama tiga dekade belakangan banyak Muslim di Singapura dan ASEAN menjadi semakin ketat menerapkan pakaian, makanan, dan cara menjalankan agama, bahkan interaksi sosial, khususnya dengan non-Muslim, semakin banyak perempuan tidak berjabat tangan dengan lelaki. Generasi yang lebih terbuka dalam berinteraksi dengan pemimpin Muslim di ASEAN telah memberi peluang kepada para pengganti yang melaksanakan ajaran Islam lebih ketat. Keprihatinan saya terkait tumbuhnya pemisahan komunitas Muslim kita, karena kecenderungan Muslim Singapura untuk berinteraksi dan berkumpul sosial dan aktivitas lainnya di masjid mereka, bukannya di kelompok komunitas multi-rasial. Yang mengejutkan adalah relijiositas yang menguat didukung oleh kelompok teroris seperti Al-Qaeda yang merekrut Muslim Singapura ke dalam jaringan mereka.
Perdana Menteri kedua Goh Chok Tong pun menyampaikan hal yang penting yang mendorong komunitas Muslim Singapura untuk mencegah terorisme. Katanya: “I strongly urge our Muslims to…speak up against developments which threaten the harmony of our multiracial, multi-religious society. They must stand up against those who advocate intolerance and extremism. They should not allow the extremists and militants to set the Islamic agenda. They should not accept extremist views propagated in some other Muslim societies, as those are aimed at achieving political goals.
“Saya mendorong Muslims kita untuk … menentang perkembangan yang mengancam keselarasan masyarakat multi-agama dan multi-ras. Mereka harus harus menghadapi dan menentang mereka yang menyuarakan intoleransi dan ekstrimisme. Mereka harus mencegah para ekstrimis dan militant untuk menerapkan agenda Islamis. Mereka harus menolak pandangan ekstrimis yang didakwahkan dalam masyarakat Muslim selain kelompok mereka, sebagai sarana mencapai tujuan politik mereka.”
Tidak seperti MUI di Indonesia yang suka aneh-aneh mengeluarkan fatwa – sampai Gus Mus dari Rembang suka menafikan keberadaan organisasi yang digunakan oleh eyang saya Presiden Soeharto untuk tujuan politik – MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) menyuarakan Islam yang rahmatan lil-alamin.
MUIS- Mjelis Ugama Islam Singapura pun menyambut dengan baik. Pernyataan MUIS sebagai berikut: “We condemn terrorism and will not allow Islam to be misused by any individuals or groups for their violent and destructive agendas. The Muslim community has always and will continue to stand united with other fellow Singaporeans to protect this nation against terrorism.”
“Kami mengecam terorisme dan tak akan membiarkan Islam disalahgunakan oleh individu atau kelompok untuk menjalankan agenda kekerasan dan merusak. Komunitas Islam sudah dan selalu akan melanjutkan dukungan bersama dengan warga Singapura yang lain untuk melindungi negara ini melawwan terorisme.”
Dengan kerja sama antarnegara, seperti Inggris yang memberikan informasi sel teror di Singapura yang mengarah pada penangkapan para teroris. Berbagai faktor lain yakni (1) kerja sama internasional memberantas terorisme, (2) pengawasan komunikasi elektronik dan internet, (3) adanya kewenangan menindak dengan ISA, (4) melibatkan komunitas Muslim sendiri dalam program yang disebut RRA (Regulations and Religious Anxieties) yang mengatur kehidupan publik dalam beragama.
Dari ketiga hal tersebut, Indonesia sudah melakukan tiga dari empat poin tersebut yakni (1) kerja sama internasional, (2) pengawasan komunikasi, (3) keterlibatan organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah dalam melawan kecenderungan Islam yang tidak Nusantara seperti kalangan wahabiah di Indonesia. Satu yang belum diatur dan merupakan kunci: kewenangan menindak embrio terorisme yakni prinsip seperti dalam ISA, actus reus dan mens rea (tindakan pre-emptive untuk menindak dengan sedikit bukti awal.)
Seperti Singapura, Malaysia pun menerapkan ISA yang bernama the Security Offences (Special Measures) Act. yang membuat para teroris kabur ke Indonesia. Noordin Mohammad Top, DR Azahari, Muhammad bin Wahab, Jaelani bin Ahmad Abdullah Zayid, dan para teroris kabur ke Indonesia dan Mindanao. Malaysia berkat kesigapan dan UU Teroris SOSMA alias ISA versi Malaysia berhasil meredam aksi teror dengan baik.
Serangan teroris ISIS terakhir berupa lemparan granat di klub malam Movida pada pekan terakhir bulan Juni 2016. Serangan ini atas perintah Muhammad Wanndy Mohamed Jedi seorang recruiter ISIS. Serangan melukai 8 orang. Pemerintah Malaysia cepat bertindak dan menangkap 15 orang teroris yang berusia antara 15 sampai 30 tahun, dan mengejar tersangka, yakni Muhammad Saifuddin bin Muji (28 tahun) dan Jasanizam Rosni (33) tahun.
Melihat keberhasilan undang-undang ISA di Singapura dan SOSMA yang diberlakukan di Malaysia yang terbukti ampuh dalam menangangi terorisme, dan belajar dari penanganan komprehensif Singapura dalam menangani teorisme, maka Indonesia harus menerapkan model ISA dan SOSMA di dalam Revisi UU Terorisme yang baru. Tentangan dan kelitan serta agenda tersembunyi teroris, koruptor dan bandar narkoba yang spesifik tantangan keamanan dan ketertiban Indonesia menjadi taruhan.
Dengan adanya adopsi cara penanganan teroris di Singapura dan Malaysia dalam revisi UU Terorisme, dipastikan akan membuat penanganan dan perang melawan Santoso dan Santoso yang lain serta pentolan sel-sel teroris di Jawa akan semakin efektif. Apalagi keterlibatan militer seperti di Singapura pun dipastikan akan diterapkan yang akan menguatkan perang melawan terorisme di Indonesia.
Untuk itu, dalam menyikapi revisi UU Terorisme, Presiden Jokowi dan DPR jangan sampai kelolosan untuk memasukkan prinsip actus reus dan mens rea seperti dalam ISA di Singapura dan Malaysia. Presiden Jokowi jangan sampai terkecoh dan hanya menekankan peran TNI namun lolos dan terkecoh oleh sebagian kalangan pro-teroris dan agen-agen teroris yang bekerja sama dengan para koruptor dan bandar narkoba, karena hanya dengan kondisi negara tidak kondusif peredaran narkoba dan para koruptor bisa leluasa merusak negara.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H