Ketiga, pembuat obat resmi dan palsu. Pabrik obat resmi membuat obat dengan pengawasan ala kadarnya. SOP tentang pembuatan obat, pengemasan, dan distribusi tidak dilakukan secara ketat dan menyeluruh. Bahkan pabrik dan pembuat obat menjadi pihak penguasa tanpa pengawasan berarti. Bebas memroduksi, mengemas, dan mendistribusikan baik langsung maupun tidak langsung. Akibatnya, peredaran antara obat bener dan obat palsu sulit dideteksi.
Pengemasan yang buruk telah memakan korban pasien yang menjalani pembiusan atau anestasi. Kematian akibat salah mengemas obat oleh pabrikan besar menjadi bukti rawannya bahaya obat di Indonesia. Kematian pasien adalah taruhan dari kejahatan ini.
Keempat, pemulung dan pengumpul. Para pemulung dimanfaatkan untuk mengumpulkan botol, ampul, kemasan,plastik, alat suntik, dan berbagai alat kesehatan yang telah terpakai. Pemulung menjadi ujung tombak pengumpulan kemasan bagi produsen obat palsu yang tidak dimusnahkan secara prosedural. Justru limbah dan kemasan menjadi bisnis para pemulung dan petugas kebersihan di rumah sakit atau klinik – bahkan perawat atau petugas kebersihan rumah sakit atau klinik mengumpulkan kemasan bekas obat dan label untuk dijual kepada pemulung.
Kelima, petugas kebersihan rumah sakit atau klinik. Akibat gaji kecil kelas UMP para petugas kebersihan memanfaatkan limbah kemasan obat untuk dikumpulkan – bukan dihancurkan atau dibakar sesuai aturan dan SOP – yang lagi-lagi karena pengawasan Kemenkes dan BPOM yang lalai. Kemasan bekas itu dijual kepada pembuat obat palsu dengan harga menggiurkan yang bisa melebihi penghasilan bulanan mereka.
Keenam, perawat dan dokter. Sebagai perawat dan dokter yang hanya menjalankan tugas, mereka sama sekali tidak memiliki niat baik menjadi pengontrol penggunaan obat. Para perawat dan dokter membutakan mata dan hati dan hanya menjadi kacung pemilik rumah sakit.
Mereka tidak dibekali dengan kemampuan mendeteksi dan memelajari kemasan yang mencurigakan karena sistem di rumah sakit membuat mereka hanya menjadi pekerja tanpa tanggung jawab kemanusiaan. Buktinya dokter dan perawat menyuntikkan obat dan juga virus palsu diberikan kepada pasien.
Ketujuh, direktur rumah sakit. Para direktur rumah sakit kebanyakan memiliki kedekatan dengan para pejabat Kemenkes dan BPOM serta pabrikan obat. Obat sebagai unsur penting layanan kesehatan telah dikuasai oleh sistem tertutup yang sulit dibongkar. Pengawasan buruk Kemenkes dan BPOM telah membuat para rumah sakit yang jahat mengangkat direktur rumah sakit yang tidak bermoral.
Berbagai penyimpangan malpraktek yang tidak mendapatka sanksi telah menyebabkan para direktur rumah sakit mencari keuntungan dengan menjual obat apapun dengan pengawasan ala kadarnya. Kejahatan para direktur rumah sakit yang korop dan menyampingkan pelayanan tidak tersentuh oleh hukum apapun.
Melihat masalah peredaran obat dan pemakaian serta peran ketujuh pihak di atas jelas membuat peredaran obat palsu – termasuk vaksin palsu hanya satu dari dugaan banyak pemalsuan lainnya – marak di rumah sakit swasta dan klinik. Kejadian vaksin palsu menjadi titik dan terbongkarnya fenomena gunung es peredaran obat palsu tanpa pengawasan.
Kiranya data awal 197 anak korban vaksin palsu dalam tahun 2015 saja – padahal perederan obat palsu dan khusus vaksin palsu sudah berlangsung dari tahun 2004 sejak zaman trondolo rezim SBY. Korban dipastikan akan semakin banyak ketika rumah sakit dipaksa untuk memberitahukan daftar pemakai vaksin palsu. Bahkan sampai detik ini terungkap peredaran vaksin palsu telah merambah di 37 kota di 9 provinsi.
Untuk itu Presiden Jokowi harus bertindak tegas dan menindak indsutri rumah sakit dan klinik yang melakukan kejahatan dalam sistem peredaran obat palsu – termasuk vaksin palsu. Beranikan Presiden Jokowi menindak para pemilik rumah sakit dan pemodal.