Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Vaksin Palsu, Modus Kejahatan Obat Palsu, dan Sikap Presiden Jokowi

16 Juli 2016   12:42 Diperbarui: 16 Juli 2016   12:52 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: nasional.kompas.com

Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina menghentak publik dengan virus palsunya. Pemerintah, c.q. Kementerian Kesehatan dan BPOM, selama puluhan tahun memberi andil pembiaran terhadap kejahatan terkait obat dan bisnis rumah sakit. Banyak rumah sakit swasta di Indonesia adalah bisnis murni yang dicukongi oleh para pemodal besar. Rumah sakit dan klinik menjadi sarang kejahatan para pemilik modal dengan modus: (1) pelayanan buruk, (2) obat palsu, (3) vaksin palsu. Terdapat 37 rumah sakit dan klinik di berbagai kota di 9 provinsi di Indonesia. Presiden Jokowi dituntut dengan tegas untuk menindak dan membenahi peredaran obat dan makanan.

Mari kita tengok infromasi A1 dari Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina yang mengejutkan dan  keterlibatan kementerian kesehatan dan BPOM yang lalai melakukan pengawasan terhadap peredaran obat palsu dengan hati jauh dari riang gembira senang sentosa bahagia menari menyanyi berdansa sambil mengutuk keterlibatan 7 pihak, termasuk rumah sakit swasta dan pembuat vaksin palsu selamanya senantiasa.

Korban kasus vaksin palsu di Bekasi dan Jawa Barat saja telah mencapai ratusan. Rumah sakit dan klinik kesehatan pun dengan jumawanya tidak bersedia memberikan data apapun terkait vaksin palsu ini. Pemerintah pun tidak berkutik dan membela pemilik rumah sakit yang nota bene adalah para pemodal dan bukan orang sembarangan. Maka pemerintah melindungi dan dipastikan tak akan mengenakan sanksi apapun. Padahal, tanpa kerjasama antara pembuat obat palsu dan vaksin palsu, kasus vaksin palsu tak akan terjadi.

Pembuat vaksin palsu I Sumber Tribunnews.com
Pembuat vaksin palsu I Sumber Tribunnews.com
Berbagai kasus melibatkan rumah sakit dan klinik kesehatan swasta menunjukkan betapa industri kesehatan telah dijadikan ladang bisnis dan jauh dari sifat rumah sakit sebagai lembaga penyedia kesehatan dan pelayanan. Kementerian kesehatan dan badan pengawas obat dan makanan (BPOM) pun gagal berperan dalam melakukan pengawasan. BPOM selama ini sama sekali tidak bertindak terhadap peredaran obat palsu sejak zaman rezim SBY yang lalai  - sejak 2004 praktik obat dan vaksin palsu beredar,

Standard operating procedures (SOP) tentang penyediaan dan distribusi obat, termasuk vaksin, tidak diawasi secara cermat dan ketat. Berbagai penyimpangan ditemukan yang oleh orang tolol pun mudah diindentifikasi. Peran pembiaran kementerian kesehatan yang korup dan BPOM yang tidak bekerja dan selalu membela rumah sakit dan pabrik obat sangat kentara.

Peredaran obat di Indonesia sedemikian liar dan publik susah mengidentifikasi obat asli dan obat palsu. Banyak toko obat dan apotik kurang pengawasan bahkan di pinggir-pinggir jalan menjual obat secara bebas dapat ditemukan di seluruh Indonesia – tanpa pengawasan dari Kementerian Kesehatan dan BPOM. Lihat saja peredaran obat liar di Jakarta – Jatinegara dan Kota misalnya. Di daerah pinggiran lebih mengerikan lagi seperti di Bekasi misalnya.

Berikut ini gambaran peredaran obat palsu dan vaksin palsu. Peredaran obat palsu dimulai dari kerjasama antara (1) rumah sakit, (2) distributor obat, (3) pembuat obat resmi dan palsu, (4) pemulung, (5) perawat dan dokter, (6) petugas kebersihan, dan (7) direktur rumah sakit.

Pertama, rumah sakit dan pemiliknya. Pemilik rumah sakit yang rakus ingin keuntungan dengan membeli obat palsu seperti vaksin palsu yang mahal. Dengan memanfaatkan obat palsu maka keuntungan rumah sakit atau klinik menjadi berlipat. Filsafat mencari untung sebesar-besarnya menjadi jalan mengkhalalkan segala cara. Plus pengawasan yang longgar dan korup kementerian kesehatan sangat mudah disuap baik oleh rumah sakit maupun pabrikan obat.

Berbagai kejahatan termasuk salah kemasan yang menewaskan pasien akibat salah kemasan obat anestasi tidak mendapatkan sanksi apapun. Aman. Nyaman. Nyawa melayang tidak menjadi masalah.

Kedua, distributor obat yang tidak diawasi oleh Kemenkes dan BPOM. Distributor obat mengedarkan obat apapun tanpa pernah mendapatkan pengawasan dari Kemenkes dan BPOM yang tidak bekerja dengan baik. Fungsi pengawasan nol besar. Obat murah tanpa kejelasan diedarkan tanpa melihat produsen dan bahkan sengaja mencari keuntungan.

Pengawasan yang ala kadarnya oleh Kemenkes dan BPOM dimanfaatkan baik oleh pembuat obat palsu maupun distributor serta rumah sakit, apotik, toko obat, kios obat jalanan, sebagai penjual dan pengguna.  Klop semuanya untung.

Ketiga, pembuat obat resmi dan palsu. Pabrik obat resmi membuat obat dengan pengawasan ala kadarnya. SOP tentang pembuatan obat, pengemasan, dan distribusi tidak dilakukan secara ketat dan menyeluruh. Bahkan pabrik dan pembuat obat menjadi pihak penguasa tanpa pengawasan berarti. Bebas memroduksi, mengemas, dan mendistribusikan baik langsung maupun tidak langsung. Akibatnya, peredaran antara obat bener dan obat palsu sulit dideteksi.

Pengemasan yang buruk telah memakan korban pasien yang menjalani pembiusan atau anestasi. Kematian akibat salah mengemas obat oleh pabrikan besar menjadi bukti rawannya bahaya obat di Indonesia. Kematian pasien adalah taruhan dari kejahatan ini.

Keempat, pemulung dan pengumpul. Para pemulung dimanfaatkan untuk mengumpulkan botol, ampul, kemasan,plastik, alat suntik, dan berbagai alat kesehatan yang telah terpakai. Pemulung menjadi ujung tombak pengumpulan kemasan bagi produsen obat palsu yang tidak dimusnahkan secara prosedural. Justru limbah dan kemasan menjadi bisnis para pemulung dan petugas kebersihan di rumah sakit atau klinik – bahkan perawat atau petugas kebersihan rumah sakit atau klinik mengumpulkan kemasan bekas obat dan label untuk dijual kepada pemulung.

Kelima, petugas kebersihan rumah sakit atau klinik. Akibat gaji kecil kelas UMP para petugas kebersihan memanfaatkan limbah kemasan obat untuk dikumpulkan – bukan dihancurkan atau dibakar sesuai aturan dan SOP – yang lagi-lagi karena pengawasan Kemenkes dan BPOM yang lalai. Kemasan bekas itu dijual kepada pembuat obat palsu dengan harga menggiurkan yang bisa melebihi penghasilan bulanan mereka.

Keenam, perawat dan dokter. Sebagai perawat dan dokter yang hanya menjalankan tugas, mereka sama sekali tidak memiliki niat baik menjadi pengontrol penggunaan obat. Para perawat dan dokter membutakan mata dan hati dan hanya menjadi kacung pemilik rumah sakit.

Mereka tidak dibekali dengan kemampuan mendeteksi dan memelajari kemasan yang mencurigakan karena sistem di rumah sakit membuat mereka hanya menjadi pekerja tanpa tanggung jawab kemanusiaan. Buktinya dokter dan perawat menyuntikkan obat dan juga virus palsu diberikan kepada pasien.

Ketujuh, direktur rumah sakit. Para direktur rumah sakit kebanyakan memiliki kedekatan dengan para pejabat Kemenkes dan BPOM serta pabrikan obat. Obat sebagai unsur penting layanan kesehatan telah dikuasai oleh sistem tertutup yang sulit dibongkar. Pengawasan buruk Kemenkes dan BPOM telah membuat para rumah sakit yang jahat mengangkat direktur rumah sakit yang tidak bermoral.

Berbagai penyimpangan malpraktek yang tidak mendapatka sanksi telah menyebabkan para direktur rumah sakit mencari keuntungan dengan menjual obat apapun dengan pengawasan ala kadarnya. Kejahatan para direktur rumah sakit yang korop dan menyampingkan pelayanan tidak tersentuh oleh hukum apapun.

Melihat masalah peredaran obat dan pemakaian serta peran ketujuh pihak di atas jelas membuat peredaran obat palsu – termasuk vaksin palsu hanya satu dari dugaan banyak pemalsuan lainnya – marak di rumah sakit swasta dan klinik. Kejadian vaksin palsu menjadi titik dan terbongkarnya fenomena gunung es peredaran obat palsu tanpa pengawasan.

Kiranya data awal 197 anak korban vaksin palsu dalam tahun 2015 saja – padahal perederan obat palsu dan khusus vaksin palsu sudah berlangsung dari tahun 2004 sejak zaman trondolo rezim SBY. Korban dipastikan akan semakin banyak ketika rumah sakit dipaksa untuk memberitahukan daftar pemakai vaksin palsu. Bahkan sampai detik ini terungkap peredaran vaksin palsu telah merambah di 37 kota di 9 provinsi.

Untuk itu Presiden Jokowi harus bertindak tegas dan menindak indsutri rumah sakit dan klinik yang melakukan kejahatan dalam sistem peredaran obat palsu – termasuk vaksin palsu. Beranikan Presiden Jokowi menindak para pemilik rumah sakit dan pemodal.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun