Putri Fadli Zon tak layak dibantengi – kata lema baru banteng untuk padanan bully. Sama halnya Yusril yang tak punya sikap juga jangan dibantengi. Dilihat dari perspektif psikologi politik dan kekuasaan, apa yang dilakukan oleh Putri Fadli Zon dan juga sikap plin-plan tanpa urat malu Yusril, adalah hal yang sangat wajar.  Reaksi publik yang membantengi anak perempuan paling cantik dunia akhirat - menurut saya - milik Fadli Zon dan reaksi media kuno, koran, dan media sosial terhadap Yusril adalah gambaran gap atau jurang pemisah antara keumuman publik dan sikap mental para politikus dari dua perspektif yang berbeda.
Mari kita telaah kasus pembantengan terhadap Putri Fadli Zon dan juga pembantengan terhadap Yusril Ihza Mahendra dan para politikus aneh, dengan menertawai perpektif politik dan kekuasaan mereka dengan menari menyanyi berdansa pesta-pora jungkir balik koprol selamanya senantiasa.
Publik melakukan pembantengan terhadap seseorang disebabkan oleh hanya karena alasan: tidak benar sesuai dengan norma (1) hukum, (2) agama, (3) adat, (4) etika dan estetika, (5) kebudayaan, dan (6) keumuman. Tanpa adanya pelanggaran terhadap salah satu dari enam hal di atas, niscaya pembantengan tak akan terjadi.
Publik secara umum adalah para manusia yang memegang kebenaran umum. Publik adalah penjaga pranata sosial dalam konteks hubungan manusia sebagai makhluk sosial. Maka seluruh peradaban dan kebudayaan manusia mengacu pada status: kemanusiaan secara universal.
Kemanusian universal ini memercayai dan melahirkan nilai-nilai sosial dalam suatu kelompok tertentu berdasarkan etnik, suku bangsa, bangsa, agama, wilayah, yang mengatur kepentingan bersama, kepentinngan sosial kemanusiaan universal. Kemanusiaan universal ini mengatur seluruh kepentingan kehidupan untuk menjalankan fungsi sosial seperti bekerja, beribadah, berpendapat, dan hidup secara adil proporsional.
Para orang yang menjadi korban pembantengan adalah selalu individu atau golongan yang melanggar keumuman dan kemanusiaan yang universal tersebut. Melihat sikap pembantengan terhadap anak perempuan Fadli Zon dan juga terhadap Yusril, pasti ada masalah yang dilanggar oleh anak perempuan Fadli Zon dan Yusrl. Publik menerapkan dan memercayai aturan sosial yang secara universal dipercayai.
Fadli Zon dan geng-nya di DPR termasuk Saiful Islam adalah para manusia yang melakukan abuse of power – menyalahgunakan kekuasaan. Hanya anak perempuan Fadli Zon saja bisa memerintahkan KBRI dan KJRI di AS untuk memberikan fasilitas bagi anak Fadli Zon.
Apaan anak Fadli Zon? Emang apa hebatnya anak Fadli Zon? Cuma anak perempuan paling cantik dunia akhirat, menurut saya, anak milik Fadli Zon kayak gitu saja dibantu oleh KBRI dan KJRI di AS, apa istimewanya? KBRI dan KJRI lebih baik membantu warga terlantar daripada membantu satu manusia anak politikus tak tahu malu seperti itu. Itu kegeraman publik yang makin marak menjadi bentuk lanjutan: pembantengan.
Demikian pula kepada Yusril. Sikap politik Yusril yang memusuhi Ahok seperti yang disampaikan juga oleh Lulung, M. Taufik – yang akan segera masuk ke bui lagi, setelah dua anggota DPRD DKI Jakarta – dan M. Sanusi yang sudah masuk bui, menimbulkan tanda tanya besar di pubik.
Apa prestasi Yusril: nol. Apa kontribusi Yusril bagi negara ini? Semuanya diarahkan untuk kepentingan pribadi dan partai. PBB sebagai partai dan Yusril sebagai individu berjuang di antara perbedaan yang tak umum. PBB memerjuangkan kembalinya 7 kata dalam Pembuakaan UUD Dasar 45 dan Pancasila dalam konsep Piagam Jakarta. Yusrillah dengan PBB-nya yang ingin agar Sila 1 Ketuhanan Yang Mahaesa ditambah dan menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ Itu keluar dari keumuman hukum dan konstitusi bahwa Dasar Negara Pancasila yang pluralis akan digiring ke sektarianisme.
Yusril jadi menteri pun malah membantu pencairan uang Om Tommy Soeharto yang bahkan dipecat dari kursi menteri. Menjadi pengacara pun juga bersedia membela para koruptor dan kasus yang melawan keumuman, seperti kasus di MK membela kekalahan capres Prabowo. Pun, kini ketika Yusril melawan Ahok, makin tampak sikap politiknya, lagi-lagi menggunakan hukum seolah kekuasan bagi dirinya. Hukum bagi Yusril seolah senjata untuk memenangi kasus dan meraih popularitas. Namun, catatannya justru di bidang hukum Yusril ketika menjadi menteri tidak melakukan pembenahan apapun di bidang hukum. Nol besar.
Apapan prestasi Yusril dibandingkan dengan Ahok? Yusril belum memberikan apapun kepada negara Indonesia, termasuk ke DKI Jakarta. Semua sepak terjangnya untuk dirinya, istrinya, kroninya, partainya: titik. Pun sikap rakus kekuasaan dengan mengemis-emis ke PPP Romy –padahal pendukung Djan Faridj menunjukkan kepribadian menggunakan cara apapun tanpa malu. Itu karakter utama politukus. Tak tahu malu dan seperti bercermin dalam bentuk muka badak sepert misalnya Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Dari dua kasus anak perempuan Fadli Zon yang memerbudak KBRI dan KJRI New York dan sikap politikus kampungan semacam Yusril, M. Sanusi yang korup, M. Taufik yang bekas napi korupsi, tampak adanya benang merah. Publik bereaksi bahkan melakukan pembantengan. Kenapa? Jawabannya adalah adanya gap atau jurang pemisah antara norma publik dan pola pikir para politikus.
Penyalahgunaan kekuasaan ini dalam diri politikus justru disebut sebagai hak khusus dan istimewa – privilege. Nah. Timbul gap. Fadli Zon menganggap surat ke KJRI New York adalah hak istimewa dan Fadli Zon menganggap dirinya adalah kekuasaan, bahwa semua bisa diatur. Pola pikir ini menular di dalam konteks organisasi dan lembaga: DPR. DPR dengan seluruh jajaran kesekretariatan dan badan penyelenggara DPR menganggap politikus adalah dewa yang harus dilayani.
Pola pikir para politikus yang memang memandang kekuasaan adalah uang dan uang adalah kekuasan. Moralitas, norma, aturan, hukum, ada di bawah ketiak mereka. Kekuasaan politik dianggap senjata dan privilege, maka kecenderungan itu dipraktikkan dalam bentuk abuse of power oleh Sekjen DPR, dan Badan RT DPR yang melayani para politikus yang identik dengan abuse of power.
Maka tak mengherankan karena politik adalah uang, uang adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah uang, dengan enaknya Fadli Zon menitipkan uang US $ 200 yang dianggap setara dengan Rp 2 juta, untuk membayar KJRI yang dikerjain oleh anak perempuan cuma kayak gitu saja belagu milik Fadli Zon. Fadli Zon menganggap masalah selesai begitu uang dibayar. Kementerian Luar Negeri jika membantu mengirimkan uang lewat jalur diplomatik juga melanggar aturan membantu orang yang nggak jelas seperti anak Fadli Zon yang bukan diplomat juga abuse of power.
Gap yang muncul antara kepatutan norma dan aturan publik dengan cara pandang dan pola pikir politikus dalam psikologi politik dan politkus yang menganggap kekuasaan dan uang adalah privilege. Keyakinan dan sikap politik dan cara pandang politikus seperti ini menjadi penyebab pembantengan. Itu terjadi seperti kasus pembantengan terhadap anak perempuan Fadli Zon dan juga sikap politik melawan keumuman Yusril menghasilkan tertawaan dan bahkan pembantengan oleh publik.
Catatan: Saya menciptakan padanan kata bully dengan lema baru kata kerja banteng agar memerkaya kosa kata bahasa Indonesia.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H