Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perspektif Psikologi Politik: Jangan “Bantengi” Putri Fadli Zon dan Yusril

2 Juli 2016   12:37 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:52 3753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Kompasiana.com/axtea99

Apapan prestasi Yusril dibandingkan dengan Ahok? Yusril belum memberikan apapun kepada negara Indonesia, termasuk ke DKI Jakarta. Semua sepak terjangnya untuk dirinya, istrinya, kroninya, partainya: titik. Pun sikap rakus kekuasaan dengan mengemis-emis ke PPP Romy –padahal pendukung Djan Faridj menunjukkan kepribadian menggunakan cara apapun tanpa malu. Itu karakter utama politukus. Tak tahu malu dan seperti bercermin dalam bentuk muka badak sepert misalnya Fadli Zon dan Fahri Hamzah.

Dari dua kasus anak perempuan Fadli Zon yang memerbudak KBRI dan KJRI New York dan sikap politikus kampungan semacam Yusril, M. Sanusi yang korup, M. Taufik yang bekas napi korupsi, tampak adanya benang merah. Publik bereaksi bahkan melakukan pembantengan. Kenapa? Jawabannya adalah adanya gap atau jurang pemisah antara norma publik dan pola pikir para politikus.

Penyalahgunaan kekuasaan ini dalam diri politikus justru disebut sebagai hak khusus dan istimewa – privilege. Nah. Timbul gap. Fadli Zon menganggap surat ke KJRI New York adalah hak istimewa dan Fadli Zon menganggap dirinya adalah kekuasaan, bahwa semua bisa diatur. Pola pikir ini menular di dalam konteks organisasi dan lembaga: DPR. DPR dengan seluruh jajaran kesekretariatan dan badan penyelenggara DPR menganggap politikus adalah dewa yang harus dilayani.

Pola pikir para politikus yang memang memandang kekuasaan adalah uang dan uang adalah kekuasan. Moralitas, norma, aturan, hukum, ada di bawah ketiak mereka. Kekuasaan politik dianggap senjata dan privilege, maka kecenderungan itu dipraktikkan dalam bentuk abuse of power oleh Sekjen DPR, dan Badan RT DPR yang melayani para politikus yang identik dengan abuse of power.

Maka tak mengherankan karena politik adalah uang, uang adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah uang, dengan enaknya Fadli Zon menitipkan uang US $ 200 yang dianggap setara dengan Rp 2 juta, untuk membayar KJRI yang dikerjain oleh anak perempuan cuma kayak gitu saja belagu milik Fadli Zon. Fadli Zon menganggap masalah selesai begitu uang dibayar. Kementerian Luar Negeri jika membantu mengirimkan uang lewat jalur diplomatik juga melanggar aturan membantu orang yang nggak jelas seperti anak Fadli Zon yang bukan diplomat juga abuse of power.

Gap yang muncul antara kepatutan norma dan aturan publik dengan cara pandang dan pola pikir politikus dalam psikologi politik dan politkus yang menganggap kekuasaan dan uang adalah privilege. Keyakinan dan sikap politik dan cara pandang politikus seperti ini menjadi penyebab pembantengan. Itu terjadi seperti kasus pembantengan terhadap anak perempuan Fadli Zon dan juga sikap politik melawan keumuman Yusril menghasilkan tertawaan dan bahkan pembantengan oleh publik.

Catatan: Saya menciptakan padanan kata bully dengan lema baru kata kerja banteng agar memerkaya kosa kata bahasa Indonesia.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun