Secara strategis, keluarnya Ahok dari Teman Ahok akan membuat Ahok kehilangan banyak dukungan yakni 1 juta KTP dukungan nyata. Hal ini senyatanya menakutkan bagi pesaing mana pun. Ini pula yang menyebabkan manusia politik wani piro semacam Hidayat Nur Wahid dari partai agama PKS tetap berkoar-koar menggalang dukungan melawan Ahok seperti yang dilakukan oleh M. Sanusi – yang sudah masuk ke bui – dan M. Taufik. Di luar sosok ngawur politik dan gagal move on seperti Yusril, Dhani dan Sarumpaet.  Â
Dengan dukungan 1 juta KTP dari Teman Ahok dan dukungan lainnya, Ahok dipastikan akan masuk dalam perang play off dengan calon gubernur lain termasuk Risma dan Gandjar Prabowo – yang tentu akan dipermalukan seperti para pesaing dalam 2012 – karena ada suasana batin yakni melawan pemimpin yang dikehendaki rakyat seperti Jokowi dan Ahok. Risma yang culun dan Gandjar Pranowo yang santun hanya akan menjadi korban politik nafsu politik para trondolo politik – temasuk di PDIP.
Lalu apa sebab sesungguhnya Ahok harus kalah dan disingkirkan baik oleh politikus maupun koruptor?
Pertama, Ahok adalah etalase bagi Jakarta dan Indonesia dan Presiden Jokowi. Para pembenci Jokowi yang kalah berbaris melampiaskan lanjutan pelampiasan setelah gagal menjatuhkan dan memakzulkan Presiden Jokowi, sebelumnya Gubernur Jokowi, maka Gubernur Ahok yang sangat dekat dengan Presiden Jokowi harus disingkirkan. Oleh karena itu, musuh Ahok ya itu-itu saja, bekas pendukung Prabowo.
Kedua, Ahok merugikan para anggota DPRD DKI Jakarta yang korup. Sifat memakan anggaran dan menyelewengkannya secara berjamaah telah membuat para anggota DPRD berang, marah, kesal, jengkel, benci, dan sewot terhadap Ahok. Indikasi korup dibuktikan oleh dua orang M. Sanusi dan lainnya yang ditangkap oleh KPK dan Kejaksaan. Para anggota DPRD DKI sungguh dirugikan karena berbagai tunjangan uang makan lobster gagal diraih karena ditolak oleh Ahok. Pun uang pakaian, uang rapat semunya dipangkas. Nah, menyakitkan.
Ketiga, rekanan para koruptor yang kongkalikong dengan para pejabat SKPD DKI Jakarta kehilangan kesempatan untuk merampok. Perusahaan palsu pemasok barang mulai tidak laku. Penipuan yayasan untuk minta hibah menjadi mandul; bisnis mendirikan yayasan dan perusahaan bermodal hibah DKI Jakarta menjadi sulit. Jelas mereka para koruptor membenci.
Keempat, yayasan dan organisasi yang tidak jelas aktivitasnya seperti FPI dicabut dan tidak diberi sumbangan dana hibah dari Pemprov DKI, sementara organisasi yang jelas dan bertanggung jawab seperti masjid, gereja, kuil, sekolah, yayasan yatim piatu, mendapatkan sumbangan dana dari Pemprov. Betapa kesalnya FPI melihat kelakuan Ahok yang tidak menyumbang duit milliaran bagi FPI sementara FPI pun diawasi dan diatur sampai menuruti semua permintaan Ahok lewat tekanan dari TNI dan Polri serta BIN. Selesai. FPI pun tak berani merazia warung dan diskotik dan bar seperti masa rezim SBY yang melakukan pembiaran dan tak berani melawan tingkah-polah FPI.
Kelima, Ahok tidak mau berkompromi dengan pengusaha, politikus, koruptor, dan para perampok yang melakukan black mail dan pemerasan politik. Ahok bahkan membuang Gerindra yang membesarkannya karena Gerindra menginisiasi UU Pilkada DPRD bersama SBY yang tujuannya menjungkalkan demokrasi; merusak demokrasi menjadi lebih korup.
Ahok pun menjadi simbol ketidakpercayaan rakyat terhadap institusi DPR, DPRD, para parpol dan politikus. Ahok sebagai simbol perlawanan ini menyakitkan para politikus kepo tak pementing diri sendiri dan partai seperti Lulung, Taufik, Sanusi, Uno, Yusril, dan lebih menertawakan Dhani dan Sarumpaet wkwkwkw.
Upaya kriminalisasi terhadap Ahok lewat Sumber Waras dengan audit abal-abal politikus BPK yang ketuanya tersangkut Panama Papers gagal. Pun kejaran berikutnya pembelokan keterlibatan M. Sanusi yang akan menyeret banyak anggota DPRD DKI Jakarta – atau political dan financial deal dilakukan – yang akan terseret kasus M. Sanusi, dengan mengarahkan ke Ahok gagal total. Demo ngawur dan ditertawakan rakyat oleh DPRD DKI – yang justru menangkap calon gubernur DKI Jakarta M. Sanusi – dilakukan juga oleh Dhani dan pasangan setianya Sarumpaet. Gagal. Ahok tetap tak terlibat.
Bagi partai, sikap Ahok maju menggunakanTeman Ahok dengan jalur independen sangat-sangat menyakitkan hati, politik,, pikir, rasa, semangat korup bagi para koruptor, serta sakit hati politik para partai politik. Kemarahan memuncak itu dilampiaskan dengan akan menggerek Risma yang lembek dari Surabaya, atau Gandjar Pranowo yang akan dijerumuskan dan kalah melawan calon independen yang 100% didukung oleh Presiden Jokowi, rakyat, TNI dan Polri. Sementara lawan Ahok dipersepsikan akan membawa Jakarta menjadi kota tanpa pembangunan yang disukai oleh koruptor.