[caption caption="Kombes Krishna Murti dan Aziz I Sumber www.vidio.com"][/caption]
Â
Daeng Aziz pasti akan masuk bui. Daeng Aziz seharusnya belajar dari Setya Novanto. Aziz melawan Kombes Krishna Murti alias aparat dan menyewa pangacara hebat tanpa keberhasilan selain omongan doang: Razman. Hasilnya malah menjadi tersangka. Mari kita telaah perbedaan Daeng Aziz dan Setya Novanto dengan hati gembira ria riang senang sentosa bahagia senantiasa selamanya menari menyanyi jungkir balik pesta pora suka-suka girang.
Perlawanan preman Kalijodo Daeng Aziz, yang dihaluskan menjadi tokoh masyarakat kawasan pelacuran Kalijodo, berakhir Daeng masuk bui. Daeng Aziz yang selama ini memanfaatkan korupsi aparat dari terendah sampai tertinggi, merasa bahwa teman-teman lama akan membelanya. Pasalnya sepak terjang Daeng Aziz sudah puluhan tahun menjalankan bisnis di kawasan esek-esek itu plus minuman keras, dan tentu (dulu) perjudian dan narkoba, Daeng Aziz merasa akan mampu memojokkan para aparat. Publik tahu bahwa kawasan kumuh adalah sarang gembong narkoba selain kawasan elitnya.
Perhitunga Aziz adalah perhitungan orang awam plus mimpi bisa mencontoh kasus besar Papa Minta Saham. Kalau kasus Setya Novanto dan mafia migas dan Petral Muhammad Riza Chalid bisa lolos padahal yang dicatut adalah Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, kenapa dalam skala kecil Daeng Aziz tak bisa sama seperti mereka? Itu yang terpikir oleh Daeng Aziz.
Plus Daeng Aziz mendapatkan komporan dari media yang melambungkan kekuatan Daeng Aziz. Daeng Aziz digambarkan memiliki kekuatan hebat. Plus Daeng Aziz mendapatkan komporan seolah Aziz didukung oleh kekuatan Ahmad Dhani, Lulung, M Taufik, Farhat Abbas dan sebagainya. Padahal mereka ngomong soal Kalijodo dengan kekuatan hukum dan politik hampir nol. Plus Daeng Aziz diajak membela diri oleh pengacara top tanpa hasil kemenangan besar: Razman.
Sebagai kuasa hukum – dan kepanjangan Daeng Aziz – Daeng melalui mulut Razman menantang Krishna Murti. Aziz masih percaya bahwa dirinya memiliki rahasia terkait keterlibatan aparat di Kalijodo selama puluhan tahun membiarkan keberadaan Kalijodo. Rahasia itu jika diungkap akan menjadi berita hot dan panas. Ini menurut pemahaman lokal dan gaya informasi mafia lokal yang membesarkan diri pentolan mafia dan dibesar-besarkan oleh para pengikutnya. Padahal keterlibatan aparat itu tak akan bisa dibuktikan karena tidak ada bukti.
Aziz tidak belajar dari Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid. Setya Novanto yang memiliki kekuatan tiada tanding tiada banding di Indonesia benar-benar membuktikannya. MKD DPR tidak menghukum Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham. Pun kasus Donald Trump pun tidak secara jelas menghukum Setya Novanto – sehingga menjadi alat penekan tentang keberadaan MKD – yang menjadikan Setya Novanto dan MKD saling menyelamatkan. Bayangkan keputusan MKD tidak dibacakan. Wow. Caranya?
Cara Setya Novanto untuk lolos dari jeratan hukum dan mengalahkan Presiden Jokowi adalah dengan (1) tidak banyak mulut, padahal mulutnya bersama Muhammad Riza Chalid sangat keras dan sengak (2) menyerahkan kepada hukum, padahal berupaya berkelit dari hukum, (3) merayu dan menekan Presiden Jokowi dengan menjadikan diri Ketum Golkar yang baru, dengan mengajukan kompromi dan Golkar di bawah Setya Novanto dan Nurdin Halid tetap akan mendukung pemerintahan Presiden Jokowi – sementara the Operators menghendaki Ade Komaruddin sebagai Ketum Golkar.
Kini, the Operators tengah menunggu momentum dan signal kuat setelah reshuffle kabinet akhir bulan ini atau paling lambat bulan depan. Catat ini. The Operators akan melakukan langkah-langkah terkait (1) melanjutkan kasus Papa Minta Saham, dan mendudukkan Ade Komaruddin sebagai Ketum Golkar dalam rangka TO untuk asal bukan Setya Novanto. Itu, the Operators saja melakukan wait and see dalam operasinya.
Lain lagi Daeng Aziz yang sudah merasa kaya-raya tak tersentuh hukum, bertindak melawan aparat dan menantang. Pasti masuk bui. Pun kepemilikan sertifikat sebagai barang bukt bukan berarti tanah negara itu sah miliknya. Itu jelas jalur hijau milik negara. Keberadaan sertifikat itu pun tak akan diperpanjang keterlibatan lurah dan lain-lain karena tidak memiliki urgensi memelihara dan melindungi Aziz yang sudah terusir dari Kalijodo dan kalah. Aparat hukum, kelurahan, keamanan, dan ketertiban tidak lagi melihat Aziz sebagai kekuatan yang harus dibela sama sekali.Habis.
Itulah beda Aziz dan Setya Novanto dan mafia migas dan Petral Muhammad Riza Chalid – yangdisuruh ngumpet dan lari ke Singapura untuk menyelamatkan diri dan Setya Novanto, dengan Presiden Jokowi terpojok dipermalukan karena namanya dicatut plus kalah pula melawan Setya Novanto. Pernyataan tentang tidak terima namanya dicatut pun hanya menjadi bahan tertawaan Kejaksaan, Setya Novanto, Muhammad Riza Chalid dan para mafia. Wah ternyata Presiden Jokowi kalah sama mereka.
Pun posisi Presiden Jokowi akan sama dengan Aziz, sama-sama kalah. Namun kekalahahan Presiden Jokowi oleh kekuatan hukum-politik dan politik-hukum yang seharusnya dimenangkan karena kelihaian Setya Novanto dan para mafia berpengaruh di Kejaksaan Agung, dan sikap Presiden Jokowi yang diimimingi oleh dukungan dan tekanan bahwa Setya Novanto akan menguasai Golkar, meskipun diyakinkan oleh the Operators, bahwa mereka sedeng bekerja memenangkan Ade Komaruddin dalam rangka Ketum Golkar asal bukan Setya Novanto dan antek Ical.
Jadi kita menunggu Presiden Jokowi yang memiliki kekuatan politik-hukum dan hukum-politik akan seperti Aziz. Aziz memang harus kalah melawan aparat dan Presiden Jokowi seharusnya menang, namun akhirnya kalah melawan Setya Novanto dan mafia migas dan Petral Muhammad Riza Chalid. Demikian Ki Sabdopanditoratu.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H