Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hadapi Papa Minta Saham, Ini 5 Pertimbangan Presiden Jokowi

5 Februari 2016   15:51 Diperbarui: 5 Februari 2016   16:30 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Mafia Petral dan Migas Muhammad Riza Chalid I Sumber Tribunnews.com"][/caption]

 

Kasus Setya Novanto kembali bergulir. Namun kini perimbangan kekuatan antara Presiden Jokowi dan Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid kembali seperti semula. Penyebabnya adalah justru ada di pihak Presiden Jokowi dan juga maneuver Golkar. Tak pelak kasus Papa Minta Saham ini menjadi ajang unjuk kekuatan antara Presiden Jokowi dengan kedua pesuara dalam rekaman yang melibatkan Ma’roef Sjamsoeddin, mafia migas dan Petral Riza Chalid dan tentu Setya Novanto.

Mari kita telaah beberapa hal terkait perang antara Presiden Jokowi – yang tak terima namanya dicatut dalam kasus Papa Minta Saham – dengan the mighty, the untouchable and the unstoppable Setya Novanto dan mafia dan koordinator korupsi terbesar Indonesia selama puluhan tahun Muhammad Riza Chalid yang kini buron dengan hati gembira suka-cita pesta-pora menari menyanyi senang bahagia riang girang selamanya senantiasa.

Pertama, pengorbanan dan keberanian Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin. Presiden Jokowi tentu memahami dengan seksama sejak awal kasus, bahwa kasus Setya Novanto ini harus diselesaikan secara hukum. Makna selesai adalah Presiden Jokowi harus menang melawan mafia. Dukungan dan pengorbanan keberanian Sudirman Said dan peran penting Maroef Sjamsoeddin tak bisa dianggap sebelah mata.

Keberanian kedua orang itu tak bisa dianggap sepele  dan harus dihargai oleh Presiden Jokowi karena yang dilawan adalah mafia semacam Muhammad Riza Chalid dan orang kuat Indonesia Setya Novanto. Pun Maroef Sjamsoeddin adalah anggota BIN yang 100% mendukung Presiden Jokowi dengan keberanian muncul di muka publik – karena memang dia pejabat tinggi BIN, kalau anggota biasa jelas tak diketahui publik, maka test kasus Banyu Biru membuktikannya. Maroef dan juga Sudirman Said jelas telah mengorbankan diri menjadi incaran mafia dan koruptor yang menyerang balik. 

Kedua, kekuatan konsolidatif Presiden Jokowi. Dalam politik, kekuatan adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah kekuatan. Presiden Jokowi harus mengeksekusi keputusan penting untuk membangun kepentingan politik dengan kecerdasan tinggi seperti selama ini. Kemampuan melakukan keputusan senyap oleh Presiden Jokowi dalam berbagai kasus sensitif berisiko politik tinggi seperti pencalonan Budi Gunawan sebagaimana dipraktikkan secara sempurna.

Presiden Jokowi, demi untuk menguatkan konsolidasi politik dan untuk kelancaran pembangunan selain tentu keselamatan dari gangguan politik, harus membuat keputusan politik dengan berpedoman pada tujuan politik: memenangi kekuatan dan kekuasaan.

Ketiga, mencontoh ketegasan sikap politik seperti eyang saya Presiden Soeharto terhadap lawan politik. Presiden Jokowi harus mencontoh eyang saya Presiden Soeharto ketika kekuasaan telah digenggam, eyang saya dengan tegas menyingkirkan siapa pun yang tidak sejalan secara politik. Apalagi Presiden Jokowi memiliki tujuan Nawa Cita yang begitu bermanfaat bagi rakyat. Sedangkan eyang saya Presiden Soeharto menggunakan kekuatan politik untuk menghantam dan meredam siapapun yang akan mengancam kekuasaannya.

Bahkan pendukung eyang saya Presiden Sooekarno sendiri yang bermanfaat menumpas dan berperan ikut membunuhi orang-orang yang dituduh anggota PKI seperti Sarwo Edhie Wibowo. Juga pesaing berat politik AH Nasution pun disingkirkan secara politik. Pun dengan kekuasaannya, anak keturunan Presiden Soekarno pun diasingkan secara politik selama puluhan tahun, hingga muncul kasus 27 Juli 1996, yang membuat salah satu teman saya Sony hilang sampai sekarang.

Artinya, dalam politik harus ada prioritas. Dalam hal Presiden Jokowi yang memiliki cita-cita membangun bangsa, dihadapkan pada pilihan (1) menumpas mafia dan koruptor seperti Muhamamad Riza Chalid dan dugaan permufakatan jahat yang juga atau (2) memelihara dan berteman dengan orang yang sakit hati karena dijatuhkan dari posisi mentereng Ketua DPR dan yang satunya kabur sebagai buron. Dua pilihan ini akan menimbulkan konsekuensi berbeda.

Pilihan yang pertama menguatkan Presiden Jokowi di mata semua pendukungnya. Sedangkan pilihan yang kedua mengancam kedudukan Presiden Jokowi sendiri ketika perlawanan dan kelengahan Presiden Jokowi terjadi.

Keempat, keberanian, karakter dan tekad Presiden Jokowi diuji dalam kasus Papa Minta Saham. Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan tentang keberaniannya. Dan itu telah terbukti. Penghentian kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan yang tengah berproses merupakan bukti keberanian Presiden Jokowi dan bukti pengendalian kekuasaan sepenuhnya.

Nah, khusus Papa Minta Saham, karena Presiden Jokowi sendiri pernah mengungkapkan bahwa pencatutan itu tidak bisa diterima, maka secara konsisten the Operators bergerak mengamankan pernyataan Presiden Jokowi secara all-out dan melengeserkan Setya Novanto – meskipun Riza Chalid sudah disuruh kabur oleh para kroni mafia. Kini, secara hukum yang sangat menentukan, Presiden Jokowi jangan sampai menarik ucapan dengan menyatakan menyerahkan kepada hukum dan membiarkan kasus Papa Minta Saham menguap.

Terlebih lagi situasi politik yang mendukung Presiden Jokowi yang tampaknya mengakhiri konsolidasi politik dengan masuknya Golkar, jangan sampai menjadi titik lemah masuknya pengaruh Golkar ke dalam konsistensi, keberanian, dan karakter Presiden Jokowi. Presiden Jokowi harus tegas memenangkan perang dan tidak boleh puas dengan hanya memenangi pertempuran berupa turunnya Setya Novanto dari kursi Ketua DPR.

Khusus terkait soal rayuan dan dukungan Golkar, dan juga sikap Presiden Jokowi terkait Papa Minta Saham, Presiden Jokowi sebainya tidak hanya mendengarkan Jusuf Kalla dan Luhut Pandjaitan, namun harus memertimbangkan pendapat Watimpres dan juga para pendukung termasuk Ki Sabdopanditoratu yang mengawal dan mendukung kebijakan strategis Presiden Jokowi.

Kelima, menghitung kembalinya kekuatan Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid. Presiden Jokowi harus pula memerhitungkan dan memahami sepenuhnya bahwa politik adalah kekuasaan. Bagi politikus, kehormatan adalah segala-galanya. Apalagi mafia dan koruptor adalah makhluk yang mengkhalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya: berkuasa dan merampok serta membunuh.

Dengan pernyataan Presiden Jokowi tidak menerima namanya dicatut jelas Presiden Jokowi sudah mendeklarasikan perang melawan koruptor seperti Riza Chalid dan juga fakta penjatuhan Setya Novanto. Bagi politikus dan koruptor, penjatuhan posisi dan membuat mafia ngumpet adalah penderitaan dan penghinaan.

Bayangkan manusia yang biasa berkibar seperti Setya Novanto yang oleh Donald Trump disebut sebagai orang terkuat di Indonesia jatuh dari kursi Ketua DPR alias the Speaker of the House of Representatives hanya dalam hitungan bulan setelah berselfie dengan Donald Trump. Sangat menyakitkan.

Sementara Riza Chalid yang pada masa rezim SBY malang-melintang sampai sebagian besar menteri diseleksi atas persetujuan Riza Chalid lewat Hatta Rajasa dan malang melintang di semua hotel berbintang dan negara serta dunia bisnis apapun, hotel, lapangan golf, mall, sampai tambang dan minyak di Indonesia, Singapura, Malaysia, Swiss, dll, kini harus ngumpet di hotelnya di Singapura. Menyakitkan jadi pelarian berpelukan dengan buron Djoko S. Tjandra.

Nah, faktor sakit hati dan balasan mafia dan koruptor akan sangat kejam dan target adalah head to head dengan Presiden Jokowi. Cepat atau lambat dengan strategi mereka yang memiliki uang ratusan triliun rupiah mampu berbuat apa saja. Termasuk bahkan pada masa kampanye Riza Chalid membiayai Obor Rakyat yang memfitnah Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi pun harus awas bahwa dukungan politik terhadap mafia dan juga Setya Novanto di DPR masih sangat kuat: terbukti aka nada Panja Papa Minta Saham yang akan menghalangi tindak lanjut hukum oleh Kejaksaan Agung untuk jelas membela Setya Novanto. Jadi tak bisa dianggap remeh Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid.

Jadi, dari kelima hal di atas, Presiden Jokowi harus menyelesaikan kasus Papa Minta Saham once for all. Rakyat menghendaki Presiden Jokowi menang perang melawan pemburu rente. Presiden Jokowi harus waspada dan tidak terbujuk oleh rayuan Golkar untuk mengendorkan tekanan dan keinginan untuk memenangi perang melawan mafia Papa Minta Saham, bukan kompromi. Gagal melokalisir dan kalah melawan Setya Novanto dan Riza Chalid akan mengurangi dukungan semua stake holders pendukung Presiden Jokowi dan publik. Pun Presiden Jokowi dianggap lemah baik oleh musuh politik atau pun pendukung Presiden Jokowi. Pertimbangan dan mencontoh keteguhan dalam berpolitik eyang saya Presiden Soeharto pun boleh untuk tujuan kesejahteraan rakyat. Karenanya, signal Presiden Jokow harus dikeluarkan agar the Operators bergerak untuk mendukung kemenangan Presiden Jokowi dalam kasus Papa MInta Saham.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun