Artinya, dalam politik harus ada prioritas. Dalam hal Presiden Jokowi yang memiliki cita-cita membangun bangsa, dihadapkan pada pilihan (1) menumpas mafia dan koruptor seperti Muhamamad Riza Chalid dan dugaan permufakatan jahat yang juga atau (2) memelihara dan berteman dengan orang yang sakit hati karena dijatuhkan dari posisi mentereng Ketua DPR dan yang satunya kabur sebagai buron. Dua pilihan ini akan menimbulkan konsekuensi berbeda.
Pilihan yang pertama menguatkan Presiden Jokowi di mata semua pendukungnya. Sedangkan pilihan yang kedua mengancam kedudukan Presiden Jokowi sendiri ketika perlawanan dan kelengahan Presiden Jokowi terjadi.
Keempat, keberanian, karakter dan tekad Presiden Jokowi diuji dalam kasus Papa Minta Saham. Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan tentang keberaniannya. Dan itu telah terbukti. Penghentian kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan yang tengah berproses merupakan bukti keberanian Presiden Jokowi dan bukti pengendalian kekuasaan sepenuhnya.
Nah, khusus Papa Minta Saham, karena Presiden Jokowi sendiri pernah mengungkapkan bahwa pencatutan itu tidak bisa diterima, maka secara konsisten the Operators bergerak mengamankan pernyataan Presiden Jokowi secara all-out dan melengeserkan Setya Novanto – meskipun Riza Chalid sudah disuruh kabur oleh para kroni mafia. Kini, secara hukum yang sangat menentukan, Presiden Jokowi jangan sampai menarik ucapan dengan menyatakan menyerahkan kepada hukum dan membiarkan kasus Papa Minta Saham menguap.
Terlebih lagi situasi politik yang mendukung Presiden Jokowi yang tampaknya mengakhiri konsolidasi politik dengan masuknya Golkar, jangan sampai menjadi titik lemah masuknya pengaruh Golkar ke dalam konsistensi, keberanian, dan karakter Presiden Jokowi. Presiden Jokowi harus tegas memenangkan perang dan tidak boleh puas dengan hanya memenangi pertempuran berupa turunnya Setya Novanto dari kursi Ketua DPR.
Khusus terkait soal rayuan dan dukungan Golkar, dan juga sikap Presiden Jokowi terkait Papa Minta Saham, Presiden Jokowi sebainya tidak hanya mendengarkan Jusuf Kalla dan Luhut Pandjaitan, namun harus memertimbangkan pendapat Watimpres dan juga para pendukung termasuk Ki Sabdopanditoratu yang mengawal dan mendukung kebijakan strategis Presiden Jokowi.
Kelima, menghitung kembalinya kekuatan Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid. Presiden Jokowi harus pula memerhitungkan dan memahami sepenuhnya bahwa politik adalah kekuasaan. Bagi politikus, kehormatan adalah segala-galanya. Apalagi mafia dan koruptor adalah makhluk yang mengkhalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya: berkuasa dan merampok serta membunuh.
Dengan pernyataan Presiden Jokowi tidak menerima namanya dicatut jelas Presiden Jokowi sudah mendeklarasikan perang melawan koruptor seperti Riza Chalid dan juga fakta penjatuhan Setya Novanto. Bagi politikus dan koruptor, penjatuhan posisi dan membuat mafia ngumpet adalah penderitaan dan penghinaan.
Bayangkan manusia yang biasa berkibar seperti Setya Novanto yang oleh Donald Trump disebut sebagai orang terkuat di Indonesia jatuh dari kursi Ketua DPR alias the Speaker of the House of Representatives hanya dalam hitungan bulan setelah berselfie dengan Donald Trump. Sangat menyakitkan.
Sementara Riza Chalid yang pada masa rezim SBY malang-melintang sampai sebagian besar menteri diseleksi atas persetujuan Riza Chalid lewat Hatta Rajasa dan malang melintang di semua hotel berbintang dan negara serta dunia bisnis apapun, hotel, lapangan golf, mall, sampai tambang dan minyak di Indonesia, Singapura, Malaysia, Swiss, dll, kini harus ngumpet di hotelnya di Singapura. Menyakitkan jadi pelarian berpelukan dengan buron Djoko S. Tjandra.
Nah, faktor sakit hati dan balasan mafia dan koruptor akan sangat kejam dan target adalah head to head dengan Presiden Jokowi. Cepat atau lambat dengan strategi mereka yang memiliki uang ratusan triliun rupiah mampu berbuat apa saja. Termasuk bahkan pada masa kampanye Riza Chalid membiayai Obor Rakyat yang memfitnah Presiden Jokowi.