Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kritik SBY ke Jokowi, Bukti Kenegarawanan?

30 Agustus 2015   14:35 Diperbarui: 30 Agustus 2015   14:35 5749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Prabowo, SBY, dan Presiden Jokowi I Sumber wordpress.com"][/caption]

Jangan alergi pada kritik. Belakangan SBY rajin melontarkan kritik pada Presiden Jokowi. Apakah itu bukti SBY seorang negarawan? Kenapa? Ada apa? Apa urgensinya dan makna di balik sikap kritis SBY? Itu pertanyaan yang musti dijawab dalam menelaah di balik kekuatan dan kelemahan politik antara Presiden Jokowi, kritik SBY, dengan para oposan baik di parlemen atau di kelompok partai politik. Mari kita telaah peta kekuatan baru politik dan kekuatan Presiden Jokowi dilihat dari fenomena konsolidasi politik dengan fenomena yang antara lain ditunjukkan oleh SBY, dan faktor psikologis SBY, sesuai uraian Ki Sabdopanditoratu dengan hati gembira riang sentosa bahagia suka-cita pesta-pora riang ria selamanya senantiasa.

Ada fenomena menarik yang merupakan kelanjutan strategi menggalang kekuatan politik Presiden Jokowi. Sesungguhnya yang dihadapi oleh Presiden Jokowi adalah struktur birokrasi politik di DPR yang dominan oposisi. Gangguan politik ini menjadi tantangan paling krusial dalam 6 bulan pertama pemerintahan. Pada awal 3 bulan pertama bahkan Presiden Jokowi dijebak dengan kasus Budi Gunawan. Trio kwek-kwek Paloh, Mega, JK pun mendorong hal yang sama dengan oposan.

Euforia gambaran penjatuhan Presiden Jokowi begitu tampak dan utuh terlihat: Presiden Jokowi akan jatuh. Ini pemikiran dangkal yang meremehkan kecerdasan politik Presiden Jokowi. (Saat bersamaan dengan upaya DPR merecoki dan berusaha memakzulkan Presiden Jokowi yang sitematis, Presiden Jokowi langsung merangkul Jenderal Moeldoko dan Jenderal Sutarman serta Kepala BIN Marciano Norman. DPR meremehkan kekuatan real nyata yakni TNI-Polri-BIN.)

Saking tergambarkan begitu fragile dan lemah-nya Presiden Jokowi, maka usulan Budi Gunawan pun mendapatkan restu Ibu Mega – yang dijebak oleh para oportunis lingkaran 1 Ibu Mega. Hanya rem kuat politisi senior Pramono Anung dan Tjahjo Kumolo saja yang mampu menghentikan ambisi lingkaran 1 Mega. Sementara politikus semacam Effendi Simbolon dan Rieke Dyah Pitaloka yang culun politik malah meneriaki Presiden Jokowi dan mengancam interpelasi dan pemakzulan dalam koor dengan Bambang Soesatyo dan tentu Nurul Arifin dan Tantowi Yahya.

Maka, Presiden Jokowi perlu mengambil langkah politis dan sabar dengan mengangkat Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan untuk menyeimbangkan Istana. Hasilnya JK melunak. Internal PDIP pun dijinakkan dengan membungkam Effendi Simbolon dan Rieke Dyah Pitaloka. Ahmad Basarah dilepaskan untuk membuat seolah-olah eksistensi pengeritik dalam PDIP masih eksis.

Di luar itu BIN berperan ‘memberi nasihat kepada para garis keras seperti Tantowi Yahya dan Nurul Arifin. Hasilnya: mereka bungkam. Yang lainnya dilepaskan seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon untuk membangun politik seolah-olah masih ada. (Namun, Fahri Hamzah menanggapi dikira Presiden Jokowi lemah, maka dia melonjak mengusulkan 7 Proyek DPR yang tak jelas itu. Yang pasti akan ditolak oleh Presiden Jokowi tanpa melalui pengkajian pendahuluan. Presiden Jokowi tak mau dijebak oleh politikus culun macam Fahri Hamzah.)

Maka strategi Presiden Jokowi adalah untuk melakukan konsolidasi politik. Tahapan pendekatan strategi politik (1) melemahkan Golkar dan PPP, (2) melakukan transisi kekuasaan di TNI dan Polri, (3) menguasi Kejaksaan dan Mahkamah Agung, (4) menyatukan kekuatan politik dengan pilar koalisi Jokowi dan PAN – dengan hanya menyisakan PKS dan Gerindra – berjalan dengan mulus.

Indikasi penggalangan kekuatan itu menjadi sempurna ketika BIN pun diambil alih dengan sempurna dengan pengangkatan Bang Yos Sutiyoso. Tak ada lagi kekuatan tersisa. Maka dengan jelas 7 Proyek DPR pun ditolak mentah-mentah oleh Presiden Jokowi.

Di tengah terbentuknya kekuatan Presiden Jokowi itu, ada politikus yang ketinggalan kereta malam: SBY. SBY yang kesepian secara politis karena strategi politik Presiden Jokowi yang menggalang kekuatan membuat Partai Demokrat lumpuh tak berfungsi. Di benak kekunoan politik culun, SBY membayangkan berada di tengah-tengah: dua kaki. Di kala ada kisruh koalisi Prabowo dan koalisi Jokowi, maka Demokrat akan menjadi pahlawan. Suatu perhitungan politik SBY anak bayi yang ingin menyusu di dua puting susu dua perempuan berbeda.

SBY kehilangan fungsi sama sekali. Makin hari publik makin melihat SBY sebagai politikus sesungguhnya. SBY sama sekali bukan seorang negarawan. SBY hanyalah seorang politikus yang haus kekuasaan – makanya mengalami post-power syndrome akut yang hanya bisa disembuhkan dengan mengembalikan kekuasaan. Untuk penghiburan SBY tetap menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan demikian masih bisa ngomong sak karepe udele dewe. SBY menunjukkan dirinya sebagai seorang politikus – bukan negarawan.

Politikus akan melihat pencapaian tertinggi adalah kekuasaan seumur hidup di partai. Poltikus melihat kekuasan sebagai tujuan, bukan pengabdian kepada negara. Hanya sedikit yang bisa menjadi negarawan.

Bung Karno, eyang saya Presiden Soeharto adalah contoh negarawan sekaligus politikus. Presiden ke-3 BJ Habibie murni negarawan. Presiden ke-4 Gus Dur 2,000% negarawan. Ibu Presiden ke-5 Megawati jelas negarawan dan politikus. Nah, SBY cuma berhenti di politikus doang.

Prabowo Subianto justru dalam pandangan Ki Sabdopanditoratu adalah negarawan. Tak ada manusia yang meragukan gelagak rasa kebangsaan dan kenegarawanan Prabowo. Prabowo kalah dari Presiden Jokowi hanyalah karena faktor kekalahan yakni Ical, Suryadharma Ali, Jero Wacik, Hatta Rajasa, SBY, Amien Rais, Anis Matta, Fadli Zon dan Fahri Hamzah dan para orang yang publik melihat berlawanan dengan idealisme kebangsaan dan kenegarawanan Prabowo.

Maka publik bukannya tidak respek kepada Prabowo, namun kepada kesalahan memilih teman saja. Karena faktor psikologisnya sendiri, SBY hanya berhenti menjadi seorang politikus. Jiwa kenegarawanannya tak muncul sama sekali karena memang bukan keturunan kalangan kerajaan dan hanya berasal dari orang kebanyakan.

SBY ini sangat berbeda dengan Prabowo – dan juga Presiden Jokowi – yang keturunan Mataram dan Majapahit. Bahkan juga SBY berbeda jauh dengan eyang saya Presiden Soeharto yang terdongkrak kebangsawanan eyang Uti Ibu Raden Ajeng Siti ‘Tien’ Hartinah Soeharto. SBY tak punya akar keturunan kebangsawanan Jawa dan Majapahit.

Jadi karena faktor psikologis dan keturunan maka SBY menjadi politikus sejati. Bukan negarawan sama sekali. Maka biarkan saja SBY berteriak dan bercuit-cuit dan pidato di Facebook atau Twitter sak karepa dewe alias semaunya sendiri untuk sekedar pemuasan sisi psikologisnya yang mengalami post-power syndrome akut. Dan Presiden Jokowi tak perlu menanggapi orang macam SBY ini. Cukup Ki Sabdopanditoratu yang menjawab, bukan level Presiden Jokowi. Jarno ae omongane wong politikus culum kayak SBY itu.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun