[caption caption="Tuhan dari Banyuwangi I Sumber Kompas.com"][/caption]
Kontroversial sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terkait nama Tuhan dari Banyuwangi. Konyol. Lucu. MUI Jawa Timur – lewat Abdusshomad Bukhori – menyuruh hak sipil Tuhan seorang lelaki dari Banyuwangi dicabut dan tidak dilayani. Pasalnya nama Tuhan dianggap menimbulkan masalah. Padahal selama ini Tuhan tidak bermasalah dengan siapapun dan tidak merugikan siapapun. Tindakan MUI agar mengganti nama atau menambahkan nama pun justru menjadi kontroversi. Mari kita telaah 4 kesalahan MUI terkait nama Tuhan dari Banyuwangi dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita suka-suka riang pesta-pora selamanya senantiasa.
MUI Jawa Timur merekomendasikan untuk mengganti nama Tuhan dari Banyuwangi, atau ditambahi, atau diganti. Rekomendasi dan perintah MUI itu berlebihan dan tidak berdasar. Kata ‘Tuhan’ tidak memiliki kaitan dengan agama Islam secera spesifik. Maka perintah MUI untuk mencabut KTP seorang lelaki asal Banyuwangi bernama Tuhan tidak berdasar dan berlebihan.
Pertama, usulan MUI untuk mencabut, membekukan, dan menahan KTP atas nama Tuhan bertentangan dengan HAM. Nama Tuhan tidak ada hubungannya dengan hak-hak sipil Tuhan sebagai warga negara. Selama ini aparat Kelurahan dan Kecamatan tidak memermasalahkan penggunaan nama Tuhan bagi lelaki dari Banyuwangi itu. Sikap MUI itu hanyalah sikap kekanak-kanakan yang ingin mengurusi hal yang tidak perlu dan remeh-temeh.
Kedua, kata ‘tuhan’ berasal dari bahasa Melayu ‘tuan’ yang berubah menjadi ‘Tuhan’ akibat penerjemahan Al Kitab dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Melayu. Kata ‘tuhan’ digunakan untuk mengganti kata ‘lord’. Kata ‘tuhan’ atau ‘Tuhan’ bukan dipergunakan untuk menyebut ‘tuhan yang maha pencipta’ pada mulanya. Hanya ‘lord’ atau ‘tuan’.
Kebudayaan Indonesia mengenal kata ‘gusti’ yang sepadan dengan kata ‘tuan’. Gusti digunakan untuk menyebut Raja atau Ratu. Kanjeng Gusti. Hanya sekedar penghormatan. Namun, pada saat yang sama kata Gusti juga dapat digunakan untuk menyebut Sang Pencipta.
Dalam khasanah budaya Jawa Islam yang diajarkan oleh Walisongo, untuk menghormati Allah sebagai Tuhan Pencipta, Walisongo menambahkan kata Gusti di depan Allah. Jadi Gusti Allah untuk menyebut Sang Pencipta dalam khasanah akulturasi budaya Jawa-Islam.
Personifikasi nama Gusti tetap lestari karena faktor pemahaman local genius teologi asli Jawa yang memang menggunakan kata ‘gusti’ sebagai penghormatan. Hal ini dibuktikan untuk menyebut nama atau memanggil ‘Raja’ ‘Ratu’. Maka muncul Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Gusti Kanjeng Pangeran Mangkubumi.
MUI tidak memahami sejarah kata dan mengadopsi kata tuhan dikira terjemahan langsung dari kata ‘robb’ dalam bahasa Arab. Bukan sama sekali.
Ketiga, secara ilmu tauhid, usualan MUI Jawa Timur yang menyatakan nama Tuhan dari Jawa Timur menimbulkan masalah juga tak beralasan. Usulan MUI menambahkan nama di depan atau belakang dan tidak hanya satu kata ‘Tuhan’, juga tak beralasan.
Contoh yang menghubungkan nama Tuhan ala bangsa Osing dengan bahasa bangsa Arab juga tidak berdasar. Analogi dan tamsil serta contoh memberi nama-nama untuk menyebut Sang Pencipta Allah SWT seperti ‘Ghofur’ dll., pun tidak nyambung. Abdul Ghofur menjadi benar. Abdullah juga benar. Namun jika lantas muncul nama Abdul Tuhan, alias Abdi Ilah justru akan menjadi cair. Ilah dianggap padanan kata Tuhan ( dalam pemahaman baru tentang makna kata Tuhan yang diadopsi temuan penerjemah Al Kitab). Yang benar, Abdullah – dari gabungan Abdul Allah menjadi Abdullah. Abdul Haaq. Bukan Abdul Ilah – yang diterjemahkan Abdi Tuhan. Juga nama Abdusshomad sudah bener.
Keempat, MUI Jawa Timur tidak memahami esensi kata secara ilmu taukhid dan sufisme. Filsafat ketauhidan tentang makna kata harus dipelajari. MUI Jawa Timur masih terjebak ke dalam pemahaman kata sebagai penguasa bagi manusia. MUI Jawa Timur masih gagal memahami esensi keilahian yang seharusnya terbebas dari belenggu kata-kata seperti kasus kata ‘tuhan’ atau ‘Tuhan’ nama lelaki dari Banyuwangi.
MUI Jatim seharusnya paham bahwa kata-kata hanyalah alat dan sarana mengenali Maha Pencipta. Jebakan terhadap kata-kata menimbulkan personifikasi Sang Pencipta jelas menjadi syirik. Karena Allah tidak menyerupai apapun juga, termasuk kata-kata yang merupakan hasil akal budi peradaban manusia.
MUI Jatim harus belajar filsafat ‘I am the mother of words’ atau ‘Aku induk kata-kata’ agar terbebas dan tidak salah tafsir dalam memahami kata sebagai alat kodefikasi dan penggambar esensi.
Jadi, MUI Jatim membuat kesalahan mendasar yakni (1) MUI Jatim tak memahami sejarah kata ‘tuhan’, (2) MUI gagal paham tentang hubungan nama Tuhan dengan HAM dan hak sipil Tuhan dari Banyuwangi, (3) usulan MUI agar nama Tuhan jangan berdiri sendiri dengan analogi Abdul Ghofur justru akan membuat rancu dan salah.
Maka, Tuhan dari Banyuwangi tetaplah memakai nama itu dan aparat pemerintahan tak perlu menuruti omongan MUI karena kesalahan empat hal disebut di atas.
 Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H