Keempat, MUI Jawa Timur tidak memahami esensi kata secara ilmu taukhid dan sufisme. Filsafat ketauhidan tentang makna kata harus dipelajari. MUI Jawa Timur masih terjebak ke dalam pemahaman kata sebagai penguasa bagi manusia. MUI Jawa Timur masih gagal memahami esensi keilahian yang seharusnya terbebas dari belenggu kata-kata seperti kasus kata ‘tuhan’ atau ‘Tuhan’ nama lelaki dari Banyuwangi.
MUI Jatim seharusnya paham bahwa kata-kata hanyalah alat dan sarana mengenali Maha Pencipta. Jebakan terhadap kata-kata menimbulkan personifikasi Sang Pencipta jelas menjadi syirik. Karena Allah tidak menyerupai apapun juga, termasuk kata-kata yang merupakan hasil akal budi peradaban manusia.
MUI Jatim harus belajar filsafat ‘I am the mother of words’ atau ‘Aku induk kata-kata’ agar terbebas dan tidak salah tafsir dalam memahami kata sebagai alat kodefikasi dan penggambar esensi.
Jadi, MUI Jatim membuat kesalahan mendasar yakni (1) MUI Jatim tak memahami sejarah kata ‘tuhan’, (2) MUI gagal paham tentang hubungan nama Tuhan dengan HAM dan hak sipil Tuhan dari Banyuwangi, (3) usulan MUI agar nama Tuhan jangan berdiri sendiri dengan analogi Abdul Ghofur justru akan membuat rancu dan salah.
Maka, Tuhan dari Banyuwangi tetaplah memakai nama itu dan aparat pemerintahan tak perlu menuruti omongan MUI karena kesalahan empat hal disebut di atas.
 Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H