[caption caption="KTP Tuhan I Sumber Kompas.com"][/caption]
Media sosial heboh. Seorang dari Banyuwangi bernama Tuhan. Para pejabat desa menginginkan nama ‘Tuhan’ diganti. Namun Tuhan tetap bersikeras namanya tetap Tuhan. Bagi Tuhan nama itu adalah nama dirinya, seorang manusia. Secara kultural, justru yang menarik adalah orang tua Tuhan yang memberi nama anak bayinya Tuhan. Terdapat kemenarikan sosiologis-kultural dan politik kebahasaan dalam penamaan Tuhan oleh orang tua Tuhan. Mari kita telaah fakta tentang lelaki bernama Tuhan dengan eksistensi kata, kisah Kerajaan Blambangan dan bangsa Osing dengan hati riang gembira senang sentosa pesta-pora menemukan pencerahan dari Tuhan selamanya senantiasa.
Jumhar dan Dawiyah – kedua orang tua Tuhan – memberi nama Tuhan sebagai simbol. Mereka menguasai bahasa Osing. Penamaan Tuhan mengingatkan keyakinan Kaweruhan sebagai keyakinan bangsa Osing. Mereka adalah bangsa yang merdeka di tengah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Blambangan tempat masyarakat bangsa Osing hidup adalah bukti kemerdekaan bangsa Osing yang memilliki jatidiri.
Bagi Jumhar dan Dawiyah – bangsa Osing – menamai anak adalah tentang memberi tanda dan identitas kepada seseorang. Bangsa Osing selalu hidup dalam kehidupan politik-sosial ekonomi yang unik sejak zaman Mataram Kuno, Majapahit, Kediri, Jenggala, Singasari, dan persentuhan kehidupan dengan bangsa Madura pada abad ke-17 dan 18 yang mulai mendiami Banyuwangi, sampai zaman Republik Indonesia.
Bangsa Osing tetap berusaha memertahankan keyakinan Kaweruhan – di bangsa Badui Banten menyebut sebagai keyakinan Sunda Wiwitan – dan bahasa Osing yang merupakan varian bahasa Jawa Kuno yang keasliannya masih tampak. Bahasa Osing adalah salah satu varian basaha Jawa Kuno menyisakan bahasa Banyumasan, Tegal, Indramayu, dan akar bahasa Sunda.
Jumhar dan Dawiyah, dengan memberi nama anak mereka dengan kata ‘Tuhan’, mereka tidak berpikir bahwa anaknya akan menyaingi ‘Tuhan’ atau dewa atau tuhan yang selalu disebut oleh para manusia teman-teman Tuhan. Jumhar dan Dawiyah, dengan anak lelaki mereka bernama Tuhan dari Banyuwangi mengajari kita semua tentang makna kata.
Kata bagi diri anak lelaki Jumhar dan Dawiyah bernama Tuhan dari Banyuwangi dan kebudayaan Osing hanyalah kata. Tak lebih dan tak kurang. Dia merasa namanya hanyalah sebuah kata. Tak ada yang salah tentang nama dirnya: Tuhan. Bagi Tuhan lelaki dari Banyuwangi, kata yang melekat pada namanya adalah simbol pengenal dan kode untuk menyebut dirinya. Bagi Tuhan lelaki dari Banyuwangi, tidak ada larangan menyebut dan memberi nama dirinya dengan nama apapun.
Maka dengan kesadaran itu, Tuhan lelaki dari Banyuwangi menamai anak-anaknya dengan nama-nama elok bunyi: Novita Sari dan Dwi Lestari. Fakta bahwa Jumhar dan Dawiyah sebagai pemercaya kebudayaan Osing adalah mereka menamai anak-anaknya yang lain dengan nama Juni, Aisyah, Halifah, Ainan, Nasiah, dan Isroli, selain nama Tuhan bagi anak bungsunya.
Nama-nama tersebut adalah gambaran percampuran keyakinan Osing dengan pengaruh Islam. Nama-nama itu khas gambaran kebudayaan Osing sejak kerajaan Blambangan. Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Menak Jinggo, Raja Kerajaan Blambangan, selalu digambarkan oleh penguasa Majapahit sebagai serakah, buruk, jahat, pembunuh. Kampanye memojokkan dan mendiskreditkan Menak Jinggo. Itu adalah kampanye politik.
Sejak zaman itu maka Blambangan – dan modern Banyuwangi – selalu mencari identitas, di tengah kehadiran budaya dan agama bangsa asing Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katholik dan lainnya. Namun demikian identitas ke-Osing-an tetap hidup sampai sekarang – dengan terengah-engah dan terkikis oleh kebudayaan baru. Osing dan Blambangan tak pernah ditaklukkan oleh Majapahit dan bahkan Belanda menghancurkan seluruh pasukan Kerajaan Blambangan dengan perang puputan di Blambangan. Mereka tidak menyerah.
Maka, ketika Jumhar dan Dawiyah memberi nama Tuhan kepada anak bungsunya, sesungguhnya ada kesadaran keyakinan Osing. Bagi kepercayaan Osing, ketika manusia hidup, ada kembaran lain yang transcendental yang hidup berbarengan. Manusia Osing lebih melihat diri mereka sebagai orang yang berasal dari ‘sangkaraning dumadi’ atau berasal dari dan pergi ke ‘nowhere’. Kata tuhan, god, sering harus dibesarkan huruf tulisnya dengan T-besar, dengan huruf T-kapital.