Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Heboh Tuhan dari Banyuwangi, Osing, dan Kerajaan Blambangan

22 Agustus 2015   11:09 Diperbarui: 22 Agustus 2015   11:09 7868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="KTP Tuhan I Sumber Kompas.com"][/caption]

Media sosial heboh. Seorang dari Banyuwangi bernama Tuhan. Para pejabat desa menginginkan nama ‘Tuhan’ diganti. Namun Tuhan tetap bersikeras namanya tetap Tuhan. Bagi Tuhan nama itu adalah nama dirinya, seorang manusia. Secara kultural, justru yang menarik adalah orang tua Tuhan yang memberi nama anak bayinya Tuhan. Terdapat kemenarikan sosiologis-kultural dan politik kebahasaan dalam penamaan Tuhan oleh orang tua Tuhan. Mari kita telaah fakta tentang lelaki bernama Tuhan dengan eksistensi kata, kisah Kerajaan Blambangan dan bangsa Osing dengan hati riang gembira senang sentosa pesta-pora menemukan pencerahan dari Tuhan selamanya senantiasa.

Jumhar dan Dawiyah – kedua orang tua Tuhan – memberi nama Tuhan sebagai simbol. Mereka menguasai bahasa Osing. Penamaan Tuhan mengingatkan keyakinan Kaweruhan sebagai keyakinan bangsa Osing. Mereka adalah bangsa yang merdeka di tengah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Blambangan tempat masyarakat bangsa Osing hidup adalah bukti kemerdekaan bangsa Osing yang memilliki jatidiri.

Bagi Jumhar dan Dawiyah – bangsa Osing – menamai anak adalah tentang memberi tanda dan identitas kepada seseorang. Bangsa Osing selalu hidup dalam kehidupan politik-sosial ekonomi yang unik sejak zaman Mataram Kuno, Majapahit, Kediri, Jenggala, Singasari, dan persentuhan kehidupan dengan bangsa Madura pada abad ke-17 dan 18 yang mulai mendiami Banyuwangi, sampai zaman Republik Indonesia.

Bangsa Osing tetap berusaha memertahankan keyakinan Kaweruhan – di bangsa Badui Banten menyebut sebagai keyakinan Sunda Wiwitan – dan bahasa Osing yang merupakan varian bahasa Jawa Kuno yang keasliannya masih tampak. Bahasa Osing adalah salah satu varian basaha Jawa Kuno menyisakan bahasa Banyumasan, Tegal, Indramayu, dan akar bahasa Sunda.

Jumhar dan Dawiyah, dengan memberi nama anak mereka dengan kata ‘Tuhan’, mereka tidak berpikir bahwa anaknya akan menyaingi ‘Tuhan’ atau dewa atau tuhan yang selalu disebut oleh para manusia teman-teman Tuhan. Jumhar dan Dawiyah, dengan anak lelaki mereka bernama Tuhan dari Banyuwangi mengajari kita semua tentang makna kata.

Kata bagi diri anak lelaki Jumhar dan Dawiyah bernama Tuhan dari Banyuwangi dan kebudayaan Osing hanyalah kata. Tak lebih dan tak kurang. Dia merasa namanya hanyalah sebuah kata. Tak ada yang salah tentang nama dirnya: Tuhan. Bagi Tuhan lelaki dari Banyuwangi, kata yang melekat pada namanya adalah simbol pengenal dan kode untuk menyebut dirinya. Bagi Tuhan lelaki dari Banyuwangi, tidak ada larangan menyebut dan memberi nama dirinya dengan nama apapun.

Maka dengan kesadaran itu, Tuhan lelaki dari Banyuwangi menamai anak-anaknya dengan nama-nama elok bunyi: Novita Sari dan Dwi Lestari. Fakta bahwa Jumhar dan Dawiyah sebagai pemercaya kebudayaan Osing adalah mereka menamai anak-anaknya yang lain dengan nama Juni, Aisyah, Halifah, Ainan, Nasiah, dan Isroli, selain nama Tuhan bagi anak bungsunya.

Nama-nama tersebut adalah gambaran percampuran keyakinan Osing dengan pengaruh Islam. Nama-nama itu khas gambaran kebudayaan Osing sejak kerajaan Blambangan. Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Menak Jinggo, Raja Kerajaan Blambangan, selalu digambarkan oleh penguasa Majapahit sebagai serakah, buruk, jahat, pembunuh. Kampanye memojokkan dan mendiskreditkan Menak Jinggo. Itu adalah kampanye politik.

Sejak zaman itu maka Blambangan – dan modern Banyuwangi – selalu mencari identitas, di tengah kehadiran budaya dan agama bangsa asing Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katholik dan lainnya. Namun demikian identitas ke-Osing-an tetap hidup sampai sekarang – dengan terengah-engah dan terkikis oleh kebudayaan baru. Osing dan Blambangan tak pernah ditaklukkan oleh Majapahit dan bahkan Belanda menghancurkan seluruh pasukan Kerajaan Blambangan dengan perang puputan di Blambangan. Mereka tidak menyerah.

Maka, ketika Jumhar dan Dawiyah memberi nama Tuhan kepada anak bungsunya, sesungguhnya ada kesadaran keyakinan Osing. Bagi kepercayaan Osing, ketika manusia hidup, ada kembaran lain yang transcendental yang hidup berbarengan. Manusia Osing lebih melihat diri mereka sebagai orang yang berasal dari ‘sangkaraning dumadi’ atau berasal dari dan pergi ke ‘nowhere’. Kata tuhan, god, sering harus dibesarkan huruf tulisnya dengan T-besar, dengan huruf T-kapital.

Jika kata ‘tuhan’ ditulis dengan huruf kecil t-kecil’ maka orang terheran-heran. Kata ‘Tuhan’ atau ‘tuhan’ sering menjadi bahan perdebatan, bahkan membela kata ‘tuhan’ ‘Tuhan’ dengan nama lain dan kata lain telah menghasilkan Perang Salib selama ratusan tahun. Berdirinya Kerajaan-kerajaan dan imperium alias kekasisaran juga dipicu oleh keyakinan pada nama-nama tuhan yang bangsa-bangsa yakini.

Keyakinan kepada Amaterasu-omikami bagi bangsa Jepang telah menghasilkan penjajahan atas Korea, juga Perang Dunia II. Tuhan yang dibungkus dengan nama-nama khusus dan disertai dengan temuan sosiologis kultural bernama agama, telah menjadi saksi berdiri dan berjatuhannya kebudayaan dan peradaban: Maya, Mesir Kuno, Romawi dan Yunani Kuno, Eropa, Andalusia, Persia, Islam, Yahudi, Buddha, Hindu, Majusi, Zoroaster, dan sebagainya.

Maka pemberian nama Tuhan terhadap anak bungsu Jumhar dan Dawiyah sungguh merupakan pencerahan tentang makna kata sebagai simbol, makna kata sebagai kode, makna kata sebagai identitas penggambar terhadap esensi sesuatu: konsep dan benda atau materi atau matter. Jumhar dan Dawiyah telah menjalankan konsep bahwa kata hanyalah alat untuk berpikir manusia. Itulah esensi ajaran filsafat ‘I am the mother of words’ atau ‘Aku adalah induk kata-kata’.

Maka dengan penuh keyakinan yang dipengaruhi kebudayaan dan peradaban Osing, Jumhur dan Dawiwah pun menamai anak mereka dengan kata-kata apapun yang mereka inginkan. Toh nama hanyalah kata. Kata ‘tuhan’ pun bagi mereka hanyalah ‘kata’ seperti halnya nama anak-anak mereka lainnya seperti Juni, Aisyah, Halifah, Ainan, Nasiah, dan Isroli . Maka anak bungsu mereka dinamai: Tuhan dengan T-besar karena nama orang.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun