Dalam hal penghinaan dan sindiran kepada Jokowi, Jokowi melihat bahwa kemampuan untuk mengendalikan diri (sabar) adalah kunci keberhasilan. Jokowi dalam dirinya berlangsung debat psikologis. Pertimbangan kesabarannya didasari oleh kemampuan dia menghitung dengan cermat terkait pencapresannya sebagai berikut: (1) kesempatan menjadi Presiden RI momentumnya ya tahun 2014, (2) sekali kesempatan hilang tidak akan bisa lagi, (3) belajar dari Amien Rais yang diberi kekuasaan oleh Habibie namun menolak, (4) hasilnya Amien Rais tidak pernah menjadi presiden karena momentum telah hilang, (5) Jokowi bukan Ketum Partai dicalonkan dan didukung PDIP itu suatu hal yang luar biasa.
(Nah, jika Jokowi pada saat itu disebut sebagai petugas partai bereaksi – yang bisa membuat Presiden ke-5 Megawati tersinggung – dipastikan pencalonannya akan kandas. Jokowi memilih tidak berkomentar soal petugas partai. Walaupun secara politik, semua presiden dan perdana menteri adalah petugas partainya masing-masing: representasi partai.)
Jadi, secara psikologis kesabaran yang luar biasa itu menjadi senjata untuk mengamati situasi secara mendalam. Selain kesabaran tentu yang sangat kuat dimiliki oleh Presiden Jokowi adalah kekuatan mental psikologis sebagai petarung. Dalam berbagai kesempatan, pada masa kampanye Pilpres dan Pilgub, Presiden Jokowi menyampaikan: “Saya ini petarung.” Kalau saya sudah maju pantang kalah. Dan saya punya strategi dan kemampuan untuk mewujudkan itu: petarung yang tak pernah kalah.
Oleh sebab itu secara psikologis, Presiden Jokowi sudah sangat terbukti memiliki kekuatan mental spiritual yang tak terpengaruh oleh cacian, makian, ejekan, sindiran semacam Boneka, Raisopopo, petugas partai, sampai Obor Rakyat, sinting lontaran Fahri Hamzah tak mampu membuat kemarahan terbuka. (Presiden Jokowi adalah orang yang cermat dan ingat dengan siapapun yang berbuat sesuatu. Ingatannya luar biasa dan detail.)
Maka, usulan Pemerintah tentang rancangan pasal di KUHPidana tentang pasal Penghinaan Presiden lebih pada (1) menghormati lembaga kepresidenan sebagai kepala pemerintahan dan negara, dan (2) menjaga publik untuk berperilaku santun dan bermartabat sesuai dengan nilai kehidupan bermasyarakat.
Hal ini penting di tengah dunia internet dan media sosial yang cenderung tak memiliki aturan: telah dibuktikan dengan kampanye hitam pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2012 dengan keduanya dimenangi oleh Joko Widodo. Jadi pasal itu bukan untuk kepentingan pribadi Presiden Jokowi yang kuat secara psikologis dan tidak loyo.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H