Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pasal KUHP tentang Penghinaan Presiden dan Sisi Psikologis Jokowi

5 Agustus 2015   12:08 Diperbarui: 6 Agustus 2015   02:56 5719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Presiden Jokowi I Dok Pribadi"][/caption]

Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa bagi dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia, diejek, dimaki, dilecehkan sudah makanan sehari-hari: sudah biasa. Lalu apa latar belakang pemerintah mengusulkan pasal Penghinaan Presiden masuk dalam KUHAP lagi setelah MK membredel 2006? Mari kita telaah sisi psikologis Presiden Jokowi dalam menghadapi ejekan dan cercaan dan pasal di rancangan KUHPidana dengan hati riang gembira suka-cita senang sentosa bahagia pesta-pora ria selamanya senantiasa.

Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana telah dibatalkan oleh MK pada 2006. Namun, tiba-tiba dalam rancangan KUHPidana muncul pasal yang mengatur tentang penghinaan kepada presiden. Ada satu hal yang sangat menarik. Masuknya usulan terkait dengan pasal penghinaan presiden dilatarbelakangi oleh beberapa hal yang terkait dengan isu kekinian.

Selepas pilpres yang dimenangkan oleh Presiden Jokowi, yang didahului kemenangan di Solo, dan juga kemenangan di DKI, para pihak yang merasa gagal, kalah tak mau menerima kekalahan. Akibatnya, terjadi reaksi ketidakpuasan yang dilampiaskan secara kebablasan. Presiden Jokowi, Gubernur Jokowi, Walikota Solo menjadi bahan cercaan, makian, dan ejekan.

Kampanye Pilpres 2014 menjadi titik tertinggi penghinaan terhadap pribadi capres Jokowi. Munculnya puisi Boneka adalah picuan pertama. Merasa sukses Fadli Zon melahirkan lagi: Raisopopo. (Padahal tanpa Raisopopo sebenarnya sudah cukup menjatuhkan capres Jokowi. Namun karena keculunan strategi kampanye Fadli Zon – dikira dengan digeber menghina dan menyindir berlebihan akan membuat semakin jatuh reputasi dan elektabilitas capres Jokowi – capres Jokowi bisa membalikkan keadaan. Dengan Raisopopo justru tabiat buruk ditampilkan oleh Tim Kampanye Prabowo yang dituduh berkamanye hitam. Kejumawaan kepastian kemenangan menghantui.

Pada titik tertinggi gelombang meragukan capres Jokowi, tak puas dengan bus karatan, muncul kafir, muncul Tionghoa, muncul yang paling spektakuler: Obor Rakyat. Munculnya Obor Rakyat dianggap legalisasi penghinaan dan fitnah. Kasus Obor Rakyat ini sampai ke Bareskrim Polri namun Presiden Jokowi tidak bersedia mengadukan kasus dan menjadi saksi.)

Media sosial yang liar pun dengan bebasnya sampai saat ini membuat meme, berita, hinaan, bahkan kasus Pasar Rebo yang memosting di Facebook yang tidak senonoh menghina Presiden Jokowi justru Presiden Jokowi memaafkan – bahkan dibela oleh Fadli Zon – dan malah memberi modal usaha Ibu Iriana Jokowi kepada penghinanya.

Lalu kenapa Pemerintah, c.q. Presiden Jokowi memasukkan pasal penghinaan kepada presiden masuk lagi di rancangan KUHPidana? Bukankah Presiden Jokowi memiliki ketegaran dan tidak terpengaruh dengan ejekan dan hinaan? Bukankah Presiden Jokowi menyampaikan hal itu sebagai hal yang biasa? Apa urgensinya? Untuk Presiden Jokowi sendiri, soal penghinaan bukanlah masalah. Namun demikian, yang menjadi perhatian adalah bahwa presiden adalah simbol negara: kepala pemerintahan dan kepala negara. Secara psikoligis, Presiden Jokowi tidak memermasalahkan.

Namun, dari segi etika sosial dan kepribadian bangsa, pasal penghinaan presiden bertujuan menjaga martabat lembaga kepresidenan: simbol negara, kepala negara, simbol kepala pemerintahan. Presiden Jokowi secara pribadi tidak merasa terhina. Itu risiko sebagai pejabat publik.

Secara psikologis Presiden Jokowi sangat kuat dengan landasan kesabaran yang luar biasa. Salah satu contoh kondisi psikologi kekuatan Jokowi adalah kesabaran Jokowi adalah ketika kampanye Gubernur DKI 2012. Cagub Jokowi berpasangan dengan Ahok. Serangan berbau rasis oleh Rhoma Irama lewat pidatonya di Pasar Minggu begitu telak. Namun, Jokowi dan Ahok tak melakukan reaksi berlebihan dan membiarkan kasus itu berlalu. Serangan oleh MUI DKI yang memfatwakan haram memilih Jokowi-Ahok pun ditanggapi dingin.

Karena Jokowi-Ahok diam, justru para pendukung mereka semakin solid. Dikeroyok para partai dengan hanya mengandalkan PDIP-Gerindra sebagai kekuatan utama, Jokowi-Ahok menang. Hal itu diulangi lagi di Pilpres 2014. Lagi-lagi kekuatan mental dan psikologi Jokowi terbukti ketika dia dengan sabar tidak meladeni provokasi pendukung Prahara. Akibat strategi kampanye dan diikuti dengan membaca situasi politik, dengan kekuatan mental psikologi yang terjaga, kampanye hitam berbalik menghantam pasangan Prahara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun