Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ndoro Fahri, Tetangga Abu yang Sabar, Arti Kebahagiaan

22 Juli 2015   09:43 Diperbarui: 22 Juli 2015   09:43 2041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Keindahan alam / dok Pribadi"][/caption]

Di tengah hedonisme yang merajalela di Indonesia, kekayaan materi dianggap sebagai lambang kehormatan. Kehormatan seseorang banyak diukur dari jawaban pertanyaan kepemilikan: berapa rumah megah, berapa banyak anak, berapa mobil mewah, berapa banyak bidang tanah. Kebahagiaan dianggap paralel dengan kekayaan materi. Tak terkecuali, Ndoro Fahri, tetangga Abu melihat gebyar kehidupan dan berusaha meraih kekayaan materi. Mari kita tengok kisah kehidupan, Ndoro Fahri, tetangga Abu yang sabar dalam upaya meraih kekayaan, kehormatan, dan kebahagiaan dalam ulasan Ki Sabdopanditoratu dengan hati riang gembira senang sentosa pesta pora senantiasa selamanya.

“Ndoro Fahri, ini kopinya!” kata Nina, pembantunya sambil meletakkan secangkir kopi.

“Taruh di meja dekat tangan kiri saya, ya,” perintah Ndoro Fahri tanpa menatap Nina.

“Iya, Ndoro Fahri,” sahut Nina.

Kini Ndoro Fahri menyadari sepenuhnya kisah hidupnya – yang dia dulu ingin meniru keberhasilan Fahri Hamzah si anggota DPR. Bahwa hidup bukan hanya persoalan makan dan minum. Hidup lebih dari itu. Ki Sabdopanditoratu menguraikan kisah hidup Ndoro Fahri. Ndoro Fahri ingin memaknai hidupnya. Ingin memaknai kembali arti kebahagiaan. Termasuk gelar yang dia sematkan sendiri berupa sebutan Ndoro untuk meninggikan derajatnya – meskipun Fahri bukan berasal dari Jawa. Namun, bagi Fahri sebutan Ndoro membanggakan dan membahagiakan dirinya.

Ndoro Fahri kini memiliki segalanya. Berkat partisipasi politik dan bisnis, Ndoro Fahri menjadi lambang keberhasilan. Punya kedudukan. Muda. Kaya. Dan orang penting di kalangannya. Tak ada lagi waktu buat menengok kampung halamannya. Bahkan ketika ayahnya meninggal dunia, Ndoro Fahri tidak sempat melihat jasadnya. Fahri tengah berkunjung ke Uzbekistan dan Turki – tempat favorit para pengikut partai agama itu.

Ketenaran dan kekayaan telah membuat Ndoro Fahri yang sederhana menjadi lupa daratan di kampungnya. Lupa asal dan usulnya. Kini Fahri berubah menjadi usil dan tengil sebagai kompensasi balas dendam terhadap kemiskinan yang dia alami selama ini.

Kini, Ndoro Fahri mengingat masa lalunya. Ndoro Fahri telah menjadi tokoh yang dianggap penting di Indonesia. Kaya. Muda. Istri pertama biasa, tak secantik istri Yusril Ihza Mahendra misalnya, karena dari kampungnya. Ndoro Fahri berencana menikah lagi jika keadaan memungkinkan. Entah kapan. Karena kematian istri atau kewajiban di partainya untuk berbagi kebahagiaan dengan menikah lagi: poligami. Semua itu kini menjadi kenangan.

Ndoro Fahri duduk di teras rumahnya yang menghadap taman luas. Udara segar berhembus mengelus kulit tubuh Ndoro Fahri. Tangan kanan Ndoro Fahri memegang tongkat. Tangan kiri Ndoro Fahri memegang secangkir kopi yang disediakan oleh pembantunya: Nina. Hawa sejuk pagi itu membuat air mata Ndoro Fahri meleleh.

Ndoro fahri ingat kampung halamannya nan jauh di sana. Fahri – dulu tanpa gelar Ndoro, tetangga Abu, lahir di sebuah desa kecil bernama Utan di perbukitan Dompu NTB. Fahri kecil terbiasa bermain di ladang t jagung atau kedelai yang tumbuh sesuai dengan musim. Hijaunya pemandangan menghiasi keriangan Fahri kecil. Kebun ladang kecil orang tua Fahri berada di perbukitan punggung perbukitan Dompu dan Maluk di kejauhan.

Di pagi hari, Fahri ingat ketika memandangi matahari terbit di ufuk timur arah pantai pasir kekuningan yang menakjubkan. Itu waktu Fahri terbiasa bangun dari tidur. Dingin menusuk tulang di dini dan pagi hari di musim panas – namun panas menyengat di siang hari . Namun keindahan terbitnya matahari yang menyemburatkan warna kuning, jingga, dan kemerahan menakjubkan Fahri. Fahri pun ingat, di pagi hari, burung-burung membangunkannya dari tidur di pagi hari yang dingin dengan nyanyian yang menakjubkan. Burung kutilang, burung cucak rowo, burung gelatik, burung tok-tok, burung gagak, bahkan burung manyar, burung tekukur dan burung emprit atau pipit pun bersahutan membangunkannya.

Fahri kecil sangat menikmatinya walau tanpa kesadaran penuh karena sudah menjadi bagian hidupnya. Bahkan Fahri kecil sering pergi ke kebun kopi mencari anakan burung kutilang jambul kuning yang tampak cantik. Di tengah mentari yang bersinar hangat, Fahri kecil menyusuri pematang ladang tembakau. Fahri berangkat sekolah di SD Inpres di perkampungan. Rumah orang tua Fahri terletak di tengah ladang tembakau. SD Inpres banyak dibangun pada tahun 70-80-an oleh eyang saya Presiden Soeharto untuk membangun sarana pendidikan.

Fahri kecil pergi ke sekolah tanpa mengenakan sepatu – sepatunya dia tenteng dan diikatkan di lehernya. Fahri baru mengenakan sepatunya ketika sampai di sekolah. Dia mencuci kakinya yang kotor dan berjinjit keluar dari WC sekolah dan mengenakan sepatu di pojok sekolah. Baru dia masuk ke dalam sekolah. (Ada alasan Fahri menenteng sepatunya: takut cepat rusak.

Pulang sekolah, matahari terik di atas kepala. Fahri kecil selalu menenteng sepatunya, berikut tas sekolah berbahan denim bertuliskan College Bag: tas sekolah. Tas itu pemberian kakek Abu ketika dia berkunjung ke Jakarta menemui keluarganya di bilangan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Kakek Abu mendapatkan tas bekas itu di tempat sampah di Perumahan Menteng. Tas College Bag itu sudah Fahri tenteng selama lima tahun – sejak kelas 1 SD.

Ndoro Fahri tersenyum kecil.

“Kok tersenyum sendiri Ndoro?” tanya Nina melihat tingkah aneh tuannya.

“Ah, enggak, Nina. Cuma ingat masa lalu aja,” sahut Ndoro Fahri sambil tersenyum.

Sebenarnya Ndoro Fahri tengah mencoba membuat jembatan ingatan 35 tahun lalu. Kehidupan yang berbeda. Kini kehidupan telah berubah. Semenjak lulus dari Universitas Mataram, di Fakultas Pertanian, Fahri melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia, mengambil jurusan Ilmu Nujum dan Tarbiah. Itulah ilmu yang akan menjadikannya memahami hukum dan politik.

Kini, Ndoro Fahri adalah lambang keberhasilan. Ndoro Fahri telah memiliki segalanya. Ketenaran. Kemasyhuran. Kekayaan. Itu semua dia dapatkan karena Ndoro Fahri bergabung dengan para politikus. Sebagai anggota partai, maka kehidupannya menjadi berubah 180 derajat. Mulailah gaya hidup Fahri berubah. Dari mahasiswa butut di kampus, dia belajar berorganisasi dan menikmati mark-up kegiatan kampus – dengan membuat stempel palsu di Pramuka atau di Jalan Margonda – Fahri berubah menjadi orang kaya baru. Sebagai orang kaya, gelar penting.

Tak lupa gelar Raden Kanjeng Bendoro Fahri pun disematkan di depannya dengan membeli dari Kraton Surakarta. Bahkan untuk mendongkrak kehebatannya, Fahri menambahkan di depan dan belakang namanya yang hanya Fahri menjadi RKB Haji Muhammad Ali Fahri Damzah bin Haji Lulung Alamsyah Ratu Perwiranegarakertagama.

Dari badan kerempeng karena kekurangan uang saku dan mengandalkan kegiatan kampus untuk makan, Ndoro Fahri kini menjadi tambun. Gemuk. Ndoro Fahri masih ingat di kampungnya, bahwa badan gemuk dan tambun adalah lambang kemakmuran. Lambang kebahagiaan dan kekayaan – selain sepeda motor dan mobil. Maka Ndoro Fahri mulai mengonsumsi semua jenis makanan yang ketika kecil tak pernah dirasakan. Steak dan aneka daging menjadi santapannya setiap hari sejak dia masuk politik.

Kini, di usia 43-an, Ndoro Fahri telah berhasil meningkatkan berat badannya mendekati 80 kg lebih mendekati 90 kg. Pencapaian yang luar biasa

“Ndoro? Kok diam!” tanya Nina melihat Ndoro Fahri diam saja dengan tatapan kosong.

“Iya. Aku sekarang sadar bahwa semua yang aku lakukan tak bermakna tanpa mata. Bahwa kesehatan itu penting. Bahwa menjaga konsumsi makanan juga penting. Bahwa kebahagiaan juga bukan terletak pada gelar akademis dan gelar anggota keluarga kerajaan. Mata penting. Kesehatan penting. Melihat penting. Baik dengan hati maupun dengan mata. Melihat adalah kebahagiaan. Tidak melihat adalah kesengsaraan. Buta mata dan buta hati adalah kesengsaraan. Dulu saya buta hati. Kini aku buta mata.” Kata Ndoro Fahri sesenggukan.

Nina hanya terdiam.

“Mulai sekarang, jangan panggil aku Ndoro. Nama asliku Fahri pemberian orang tuaki!” kata Ndoro Fahri lirih.

“Baik, Ndoro! Eh, maaf. Baik Fahri! Eh, maaf. Baik, Pak Fahri,” sahut Nina kaku sambil bertolak ke belakang.

“Aku hanya ingat keindahan kampungku Nina!” kata Ndoro Fahri lirih.

Ndoro Fahri alias Raden Kanjeng Bendoro Haji Muhammad Ali Fahri Damzah bin Haji Lulung Alamsyah Ratu Perwiranegarakertagama kini tak bisa melihat lagi. Kebutaan itu akibat terkena stroke yang menghajarnya dua tahun lalu – setelah jagoannya mengalami kekalahan Pilpres 2019 oleh Presiden Jokowi untuk kedua kalinya. Istrinya menikah lagi dengan teman separtainya.

Kini Ndoro Fahri hanya tinggal di rumhnya yang mewah dengan ditemani pembantunya yang telah berusia 60 tahun: Nina. Kegelapan mata membuka mata hati Fahri terbuka. Fahri kini menyadari bahwa kehidupan bukan hanya terletak pada kekayaan materi dan ketenaran. Kini, Fahri membenarkan ajaran Ki Sabdopanditoratu, bahwa kebahagiaan memang selalu dicari.Namun, kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan akibat.

Kebahagiaan adalah akibat dari perbuatan dan sikap hidup. Selain itu mind-set: pola pikir. Kemampuan mengelola pikiran, perbuatan dan sikap hidup akan menentukan kebahagiaan. Dan esensi terpenting dari kebahagiaan adalah mampu menikmati hidup dengan mata sehat dan mata hati lembut. Bukan melulu ketenaran, juga bukan hanya kekayaan materi.

“Ndoro. Ndoro! Pak Fahri!” teriak Nina sambil menggoyangkan tubuh Ndoro Fahri yang lunglai ketika mendapatinya terkulai di kursi.

Tak ada napas dalam tubuh Ndoro Fahri. Mati.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun