Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ndoro Fahri, Tetangga Abu yang Sabar, Arti Kebahagiaan

22 Juli 2015   09:43 Diperbarui: 22 Juli 2015   09:43 2041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di pagi hari, Fahri ingat ketika memandangi matahari terbit di ufuk timur arah pantai pasir kekuningan yang menakjubkan. Itu waktu Fahri terbiasa bangun dari tidur. Dingin menusuk tulang di dini dan pagi hari di musim panas – namun panas menyengat di siang hari . Namun keindahan terbitnya matahari yang menyemburatkan warna kuning, jingga, dan kemerahan menakjubkan Fahri. Fahri pun ingat, di pagi hari, burung-burung membangunkannya dari tidur di pagi hari yang dingin dengan nyanyian yang menakjubkan. Burung kutilang, burung cucak rowo, burung gelatik, burung tok-tok, burung gagak, bahkan burung manyar, burung tekukur dan burung emprit atau pipit pun bersahutan membangunkannya.

Fahri kecil sangat menikmatinya walau tanpa kesadaran penuh karena sudah menjadi bagian hidupnya. Bahkan Fahri kecil sering pergi ke kebun kopi mencari anakan burung kutilang jambul kuning yang tampak cantik. Di tengah mentari yang bersinar hangat, Fahri kecil menyusuri pematang ladang tembakau. Fahri berangkat sekolah di SD Inpres di perkampungan. Rumah orang tua Fahri terletak di tengah ladang tembakau. SD Inpres banyak dibangun pada tahun 70-80-an oleh eyang saya Presiden Soeharto untuk membangun sarana pendidikan.

Fahri kecil pergi ke sekolah tanpa mengenakan sepatu – sepatunya dia tenteng dan diikatkan di lehernya. Fahri baru mengenakan sepatunya ketika sampai di sekolah. Dia mencuci kakinya yang kotor dan berjinjit keluar dari WC sekolah dan mengenakan sepatu di pojok sekolah. Baru dia masuk ke dalam sekolah. (Ada alasan Fahri menenteng sepatunya: takut cepat rusak.

Pulang sekolah, matahari terik di atas kepala. Fahri kecil selalu menenteng sepatunya, berikut tas sekolah berbahan denim bertuliskan College Bag: tas sekolah. Tas itu pemberian kakek Abu ketika dia berkunjung ke Jakarta menemui keluarganya di bilangan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Kakek Abu mendapatkan tas bekas itu di tempat sampah di Perumahan Menteng. Tas College Bag itu sudah Fahri tenteng selama lima tahun – sejak kelas 1 SD.

Ndoro Fahri tersenyum kecil.

“Kok tersenyum sendiri Ndoro?” tanya Nina melihat tingkah aneh tuannya.

“Ah, enggak, Nina. Cuma ingat masa lalu aja,” sahut Ndoro Fahri sambil tersenyum.

Sebenarnya Ndoro Fahri tengah mencoba membuat jembatan ingatan 35 tahun lalu. Kehidupan yang berbeda. Kini kehidupan telah berubah. Semenjak lulus dari Universitas Mataram, di Fakultas Pertanian, Fahri melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia, mengambil jurusan Ilmu Nujum dan Tarbiah. Itulah ilmu yang akan menjadikannya memahami hukum dan politik.

Kini, Ndoro Fahri adalah lambang keberhasilan. Ndoro Fahri telah memiliki segalanya. Ketenaran. Kemasyhuran. Kekayaan. Itu semua dia dapatkan karena Ndoro Fahri bergabung dengan para politikus. Sebagai anggota partai, maka kehidupannya menjadi berubah 180 derajat. Mulailah gaya hidup Fahri berubah. Dari mahasiswa butut di kampus, dia belajar berorganisasi dan menikmati mark-up kegiatan kampus – dengan membuat stempel palsu di Pramuka atau di Jalan Margonda – Fahri berubah menjadi orang kaya baru. Sebagai orang kaya, gelar penting.

Tak lupa gelar Raden Kanjeng Bendoro Fahri pun disematkan di depannya dengan membeli dari Kraton Surakarta. Bahkan untuk mendongkrak kehebatannya, Fahri menambahkan di depan dan belakang namanya yang hanya Fahri menjadi RKB Haji Muhammad Ali Fahri Damzah bin Haji Lulung Alamsyah Ratu Perwiranegarakertagama.

Dari badan kerempeng karena kekurangan uang saku dan mengandalkan kegiatan kampus untuk makan, Ndoro Fahri kini menjadi tambun. Gemuk. Ndoro Fahri masih ingat di kampungnya, bahwa badan gemuk dan tambun adalah lambang kemakmuran. Lambang kebahagiaan dan kekayaan – selain sepeda motor dan mobil. Maka Ndoro Fahri mulai mengonsumsi semua jenis makanan yang ketika kecil tak pernah dirasakan. Steak dan aneka daging menjadi santapannya setiap hari sejak dia masuk politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun