Sambil makan mereka saling bercerita. Ini berbeda dengan adat dan kebiasaan orang Arab yang cenderung cepat makan dan mengurangi berbicara. Namun ada aturan makan keluarga Alkatiry yang berbeda dengan kebiasaan dengan kebanyakan orang Arab yang senang mengecap dan menggunakan tangan untuk menyantap hidangan. Mereka mengatur cara makan dengan tidak mengecap, tidak berbunyi. Baru setelah menelan, baru berbicara. Begitulah adat kebiasan keluarga Alkatiry.
Kebiasaan lain keluarga Alkatiry adalah mendengarkan Radio SW dari luar negeri dalam berbagai bahasa yang mampu ditangkap di Dili. Dari radio banyak didapatkan ilmu pengetahuan. Yang paling dekat dengan Timor Portugis adalah Radio Australia.
Pembicaraan di meja makan bisa apa saja. Semua topik pembicaraan dari masalah pendidikan, pekerjaan, cerita, dan kejadian-kejadian apapun diceritakan secara terbuka di meja makan. Tak heran jika kadang mereka di meja makan sampai agak larut malam.
"Abah, apa sih esensi agama? Faiz pengin tahu!" tanya Faiz kepada ayahnya.
"Pertanyaan yang bagus!" sahut Alkatiry sambil memandangi Fairuz.
"Aduh pertanyaannya berat. Abby tidur dulu ya, Abah," kata Abduh yang memiliki panggilan Abby.
"Sarah juga ya!" kata Maysarah juga.
Di tempat makan tinggal Fairuz, ibu dan ayahnya.
"Baiklah, Faiz, Abah jawab," kata Alkatiry mulai menjawab. Lanjutnya: " Esensi semua agama adalah pemujaan terhadap Tuhan. Tuhan adalah simbol dari agama. Tuhan adalah tujuan dari adanya agama secara khaliqiah, secara manusiawi dan kemanusiaan, agama adalah alat pengatur peri kehidupan. Agama menjadi sebab terciptanya budaya dan budaya menjadi penyebab berkembangnya agama. Maka agama adalah anak dari keyakinan adanya Tuhan."
"Jadi, esensi kedudukan Tuhan melebihi agama, ya Abah?" tanya Fairuz meyakinkan dirinya.
"Benar!" sahut Alkatiry.