Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mampukah Jokowi Emban Peran Psydo-Demokrasi Seperti Soekarno dan Soeharto?

1 Januari 2014   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13885481791080577642

[caption id="attachment_302792" align="aligncenter" width="300" caption="Keprihatinan Terhadap Kebebasan Beragama"][/caption]

Apakah Jokowi sebagai orang kuat yang akan mampu menciptakan psydo-demokrasi di negara berkembang seperti di Indonesia? Psydo-demokrasi yang mengandung otokrasi dibutuhkan di dunia sebagai penyeimbang demokrasi. Orang kuat dibutuhkan untuk menjalankan demokrasi. Kegagalan menunjuk orang kuat dalam demokrasi akan menimbulkan demokrasi menjadi sarana kerusuhan sosial. Sejarah di Pakistan, India, dan belahan dunia lainnya menunjukkan hal tersebut. Di negara dengan kekuatan otoriter-demokratis pada zaman Fidel Castro di Kuba, Hugo Chavez di Venezuela dan Eyang saya Soeharto dengan psydo-demokrasi Pancasila telah membuat Venezuela dan Indonesia makmur.

Sejarah tentang demokrasi adalah sejarah tentang chaos, kerusuhan. Demokrasi di Indonesia telah melahirkan kekerasan di masyarakat yang mengarah pada ektrimisme, militansi, radikalisme dalam masyarakat. Tesis yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara pluralis dengan aneka keragaman budaya, agama, (suku) bangsa, semakin mendapatkan pembenaran. Kasus FPI yang melarang - dan dituruti dan diikuti oleh Negara - pertunjukan musik Lady Gaga dan pelaksanaan Miss Universe di Jakarta adalah bukti lemahnya presiden selaku penguasa.

Kisah kerusuhan berbau SARA pada 1999-2001 di Sambas, Poso, Ambon, Ternate dan beberapa belahan Indonesia lainnya menjadi bukti bahwa dibukanya keran demokrasi telah membuat rakyat Indonesia tenggelam dalam euphoria kebebasan yang kebablasan. Demokrasi dianggap sebagai kebebasan untuk memaksakan kehendak kelompok dan golongan.

Secara politis legal, partai politik gurem PBB pada tahun 1999-2004 ketika duduk di Senayan milik Yusril Ihza Mahendra mengusung upaya penerapan dan pengembalian ‘tujuh kata dalam Pembukaan UUD ‘45'. Upaya ini gagal. Bahkan sejak 2004 PBB tak memiliki wakil di Senayan. Tindakan secara legal formal seperti ini masih bisa diterima dan secara hukum sah.

Yang menjadi masalah adalah ketika ormas dan kelompok masyarakat yang merasa bebas - karena demokrasi adalah tirani mayoritas terhadap minoritas dan tak menghargai kelompok masyarakat minoritas atau kecil - melakukan penekanan terhadap kebebasan lainnya. Standard kebebasan ditentukan oleh mayoritas kelompok. Di dalam negara otokrasi bahkan teokrasi, semua kelompok dipenuhi dan diperhatikan. Demokrasi yang benar adalah demokrasi yang memiliki sifat teokrasi atau otokrasi dengan tangan besi sebagai penyeimbang.

Vladirmir Putin menjadi contoh demokrasi dengan tangan besi. Masa dua kali jabatan tak cukup sehingga jabatan periode ketiga dan keempat dijalankan karena kehebatan Putin - setelah melalui perubahan konstitusi untuk melapangkan jalan bagi kembalinya Putin setelah selama satu periode Dymitri Medvedev menjadi presiden dan Putin tetap berkuasa sebagai Perdana Menteri Russia. Russia menjadi negara yang disegani. Pemberontakan di Chechnya dihancurkan dan separatisme di dalam Federasi Russia ditumpas. Contoh lainnya adalah kekuasaan Moammar Qaddafi berhasil membuat Libya aman selama lebih dari 30 tahun. Kini Libya menjadi negara terbelakang akibat demokrasi yang tidak disertai oleh kekuatan semacam orang kuat otoriter.

Bahkan dulu Iraq, Libya, Mesir dikuasai oleh demokrasi dengan orang kuatnya. Iraq di bawah Saddam Hussein melindungi Sunni dan Syi'ah dengan baik secara seimbang. Libya dikuasai oleh Qaddafi dan Mesir di bawah kekuasaan Mubaraq. Arab Saudi dikuasai oleh kekuasaan psydo-demokrasi Raja Dinasti Saudi yang otoriter. Keadaan ini mampu membangun kekuasaan yang damai dan jauh dari kerusuhan. Turki pun demikian dengan psydo-demokrasi dengan orang kuat militer di belakang Erdogan.

Indonesia dengan psydo-demokrasi dengan orang kuat telah berakhir. Indonesia dalam demokrasinya - dengan kemampuan untuk melakukan tindakan tegas mengatur kebenaran dan membela seluruh tumpah darah Indonesia - memerlukan orang kuat. Pada zaman Soeharto kebebasan beragama sangat dijamin. Tidak ada organisasi massa yang berani bertindak memaksakan kehendak terkait kebebasan beragama dan politik - dengan menciptakan psydo-demokrasi berupa demokrasi Pancasila.

Kini ketika demokrasi liberal diterapkan, maka teori bahwa demokrasi adalah tirani mayoritas atas minoritas menemukan pembenarannya. Kelompok mayoritas langsung menekan seluruh sendi kehidupan minoritas. Contohnya, berbagai kasus seperti larangan terhadap kebebasan beragama terhadap Ahmadiyah, Syiah yang melahirkan kerusuhan di berbagai kota dan di Sampang adalah petunjuk nyata Negara lemah dan tak mampu melindungi warganya. Kenapa? Karena demokrasi dipandang sebagai legitimasi menguasai dan pemahaman tentang pihak pemenang dan pihak pengalah.

Akibatnya, mayoritas akan melakukan apapun semaunya - bahkan mampu mengubah Konstitusi atau melahirkan legislasi atau UU dan peraturan untuk kepentingan penjajahan terhadap kelompok minoritas. Contohnya adalah SKB Tiga Menteri yang mengarah pada diskriminasi terhadap kelompok minoritas di dalam kelompok mayoritas di suatu wilayah tertentu. Oleh karena itu maka kasus Gereja Yasmin, HKBP Filadelfia Bekasi, hanya dua dari banyak kejadian yang tak terungkap ke publik untuk menghindari perselisihan. Semua itu akibat adanya demokrasi tanpa orang kuat. Hukum tak dianggap sebagai panglima karena demokrasi membutuhkan guidance dan ketetapan hati dan jiwa seorang pemimpin. Contoh nyata selain Indonesia di bawah Eyang saya Soeharto adalah Afrika Selatan di bawah Nelson Mandela.

Akibat tak adanya orang kuat dalam demokrasi di Indonesia pasca Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami kemunduran dan demokrasi menjadi alat tirani mayoritas terhadap minoritas suku, agama dan antar golongan. Kesempatan hanya diberikan pada pemenang. Contoh, pencalonan presiden hanya dikuasai oleh partai politik pemenang pemilu. Jelas pemenang pemilu adalah kelompok mayoritas. Contoh lainnya yang mengarah pada keadaan yang tidak membangun Indonesia sebagai negara pluralis adalah adanya banyak kelompok keagamaan yang melarang peribadahan dan pendirian tempat ibadah. Padahal, agama manapun tak ada yang melarang peribadatan dan pelarangan beribadah.

Jadi, demokrasi selamanya hanya menjadi alat tirani mayoritas terhadap minoritas dan akan melahirkan ekstrimisme, radikalisme, dan militanisme kelompok, jika tanpa adanya orang kuat. Dengan adanya orang kuat, maka demokrasi berubah menjadi psydo-demokrasi dengan kekuatan otokrasi yang diwakili oleh orang kuat. Apakah Jokowi mampu mengemban menjadi orang kuat yang akan menciptakan psydo-demokrasi? Kita tunggu Pilpres 2014.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun