Ketiga, faktor Kemenkumham. Keraguan mengambil keputusan Muladi dan Akbar Tandjung yang gagal membaca arah politik dimanfaatkan oleh kubu Jokowi. Upaya intervensi politik sebagai bagian dari upaya: devide et impera justru dilakukan oleh kubu Jokowi dengan segera.
Kemenkumham pun mengesahkan kepengurusan Agung Laksono. Alasan keputusan tidak bulat yakni 2:2, hanya dilihat sebagai dissenting opinion oleh kubu Agung, yang tidak mengaburkan pokok masalah. Pendapat hukum ini dianggap oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai manipulasi. Maka ke PUTN-lah arahnya.
Keempat, faktor, dampak dan indikasi kegerahan di DPR. Kemenangan Agung Laksono jelas menjadi berdampak kepada DPR. Selain Setya Novanto yang tenang dan Bamsoet yang pasrah. Di DPR, orang yang paling gerah justru Fadli Zon yang menyebut pemerintahan Jokowi otoriter. Jokowi dianggap mencampuri partai. Memang, Jokowi mencampuri urusan partai untuk memerkuat posisi. Itu pentingnya kekuasaan yang dilupakan oleh Fadli Zon.
Fadli Zon lupa bahwa hukum adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum. Contoh: koalisi Prabowo dengan entengnya membuat undang-undang MD3 yang merebut semua kekuasaan dan pimpinan DPR dan MPR. Itu tirani dan otoritarianisme demokrasi. Dan itu sah. Maka menjadi sah pula ketika Menkumham yang berkuasa menetapkan Agung Laksono yang menguntungkan Jokowi sebagai Golkar yang sah.
Maka teriakan Idrus Marham dan Ical soal hak angket di DPR serta digaungkan oleh Fadli Zon - yang Setya Novanto dengan cerdas diam mengamati politik Ical dan Agung - sebenarnya hanya mimpi. Kenapa? DPP Golkar Agung sebagai pengendali Fraksi Golkar tak akan mengarahkan hak angket di DPR.
Kelima, faktor Yusril Ihza Mahendra atas tuduhan manipulasi keputusan Mahkamah Partai Golkar oleh Menteri Hukum dan HAM. Yusril yang tersingkir dari dunia politik justru akan membebani Ical secara psikologis bagi hakim di PTUN. Dalam dunia politik dan hukum, persaingan memenangi hukum sangat tergantung dari subyektivitas hakim. Dan subyektivitas hakim ditentukan oleh aleniasi atau kecondongan ke kekuasaan.
Maka, dengan pembelaan apapun terhadap kubu Ical, secara psikologis, masa keemasan dan kejayaan Yusril Ihza Mahendra sudah berakhir. Hal itu ditandai oleh kekalahan di Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres. Pendapat Yusril sudah tak dianggap oleh MK. Dan, sebagai ahli hukum tana negara Yusril memilih bergabung dengan Margarito Kamis dan Siti Yusro. Klop.
Keenam, faktor organisasi pendukung Golkar. MKGR, Kosgoro, AMPG, Soksi. Empat organisasi ini mendukung Agung Laksono. Dengan demikian, kekuatan organisasi ini mampu membuat nilai tawar yang lebih dibandingkan dengan Ical.
Ketujuh, dukungan koalisi Jokowi kepada Agung Laksono, sementara Ical kurang didukung oleh Prabowo. Prabowo semakin menunjukkan kematangannya setelah Suryadharma Ali tidak dekat-dekat dengan beliau. Faktor lainnya adalah pertemuan Jokowi dan Prabowo di istana Bogor dan Istana Negara. Deal yang dihasilkan adalah Presiden Jokowi secara pribadi menyampaikan penghormatan kepada Prabowo dan mengajak Prabowo untuk membangun bangsa. Presiden Jokowi bersama Prabowo pun ingin meredakan dan menghangatkan hubungan dengan Megawati.
Kompensasi secara politis adalah Ical dibiarkan bertarung. Juga SBY menjadi lola-lali dan ontrang-antring dalam dunia politik alias terkucil dengan Demokratnya - apalagi PAN jelas menjadi menjauh dari koalisi Prabowo.
Kenegarawanan Prabowo ini sangat kental dan sejak dua pertemuan itu tak ada lagi komentar miring Prabowo terhadap Presiden Jokowi. Itu perubahan yang sangat luar biasa dan bisa menjadi investasi politik 2019.