Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Poligami, Arisan Brondong, dan Fenomena Poliandri Sosialita

28 Juli 2015   10:28 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:42 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Kuda kasihan I dok Pribadi"][/caption]

Poligami adalah hal biasa yang luar biasa. Namun, fenomena poliandri di kalangan sosialita adalah hal luar biasa yang luar biasa. Poligami adalah pengabsahan pria menikmati dan menikahi lebih dari satu perempuan. Sementara poliandri adalah pemenuhan penikmatan wanita dengan menikahi lebih dari satu lelaki. Sejarah poliandri melebihi kepanjangan sejarah poligami. Zaman Mesir Kuno, peradaban India dan bangsa Maya, mengenal poliandri sebagai hal yang biasa, di samping poligami yang pada 3,000 tahun belakangan marak. Mari kita tengok poliandri dari kaca mata peradaban manusia dengan hati riang gembira senang sentosa bahagia suka-cita pesta pora ria selamanya senantiasa.

Maya - begitu saja disebut si sosialita - tengah menikmati kopi dan tentu saja rokok. Sudah hampir setengah bungkus rokok Maya habiskan. Maya tengah menunggu Ki di Kedai Kopi Hitam. Jam 11:30 pagi hari Selasa.

Tepat pukul 11:34 Ki datang sendirian. Dia mengambil tempat duduk persis di kursi yang berhadapan dengan Maya.

"Kalian mau tanya tentang cinta?" tanya Ki.

Maya berpikir dari mana Ki tahu bahwa Maya akan menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan cinta. Maya semakin ingin tahu tentang apa itu cinta. Di tengah sumpeknya pikiranku dan kegalauannya maya mulai senang bertemu dengan Ki. Maya senang dengan pola pikirnya tentang hidup dan kehidupan yang tidak ada batas. Penghargaan akan perbedaan dan cara pandangnya tentang berbagai masalah sungguh sering berbeda dengan orang umum.

"Ki, apa menurut kamu poliandri itu diperbolehkan?" tanya Maya suatu ketika pada Ki.

"Setiap masalah tidak bisa dijawab ya atau tidak. Boleh atau dilarang. Halal atau haram. Barang haram dalam keadaan darurat bisa menjadi halal jika syarat penghalalannya terpenuhi. Misalnya, daging babi itu haram, namun jika daging babi itu satu-satunya makanan yang jika tidak dimakan menyebabkan kematian, maka daging babi itu menjadi halal. Itu contohnnya!" jelas Ki.

"Sebaliknya barang halal bisa menjadi haram jika syarat halalnya tidak terpenuhi. Misalnya makanan yang bukan miliknya dimakan oleh seseorang, maka makanan itu menjadi haram jika dimakan," kata Ki meyakinkan.

"Jadi makanan tetap halal, namun perbuatan memakan makanan itu menjadi haram, ya, Ki!" tanya Maya meyakinkan dirinya.

"Iya!" sahut Ki pendek.

"Baik aku sudah paham kalau demikian. Ada alasan yang membolehkan aku untuk berpoliandri. Dan, ini sesuai dengan keadaan dan keyakinanku. Persamaan hak antara wanita dan pria!" kata Maya.

"Oke!" timpal Ki.

Maya saat itu menjalani kehidupan berpoliandri. Itulah penyebabnya sehinggga Maya memilih jalan berpoliandri. Sebab itulah yang dijadikan alasan oleh kalangan soslialita untuk membiarkan tindakan Maya - dan kalangan sosialita - melakukan poliandri. Bahkan ada penghulu liar, kyai, dan saksi, yang menikahkannya.

"Lalu selain itu, apa ada rasa cinta dengan suamimu?" tanya Ki.

"Cinta ada. Tapi saya tak bisa menyebut apakah itu cinta?" sahut Maya.

"Cinta itu harus ada dalam jiwa. Jangan cinta hanya dalam hati. Cinta dalam hati hanyalah perasaan belaka!"

"Lalu apa beda hati dan jiwa?" tanya Maya lebih lanjut.

Sebelum menjelaskan tentang hati dan jiwa, justru Ki menjelaskan panjang lebar tentang jiwa. Maya mendengarkan saja.

Setiap manusia bisa panjang lebar bercerita atau bertanya tentang jiwa manusia. Yang bertanya tentang jiwa memulai pertanyaan dengan tanpa tahu sedikitpun tentang jiwa. Atau justru mulai menanyakan tentang jiwa karena merasa mengetahui sedikit tentang jiwa. Atau bertanya tentang jiwa karena merasa paling banyak tahu tentang jiwa. Itulah tiga kelompok penanya tentang jiwa.

Menjelaskan tentang jiwa kepada kelompok pertama tentu ibarat menuangkan air ke dalam gelas kosong sampai penuh. Apapun yang disampaikan akan memenuhi pemahamannya dan keyakinannya tentang jiwa. Yang belajar pun akan dengan mudah menerimanya. Apalagi jika pihak yang berbicara mengatasnamakan sesuatu bahkan tuhan, sehingga apa yang disampaikan menjadi kepercayaan.

Menjelaskan kepada kelompok kedua ini akan mengalami kesulitan. Pemahaman dan pengetahuan yang sedikit itu menimbulkan masalah. Pertama keyakinan yang tidak sempurna itu memenuhi selera keingintahuan dan rasa skeptis awal tentang apa yang telah diketahui, dipahami dan bahkan diyakini dan dipercayai. Di satu sisi ada keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang jiwa, namun tak tahu batasan seberapa banyak pengetahuan yang hendak dia reguk. Tak jelas batasan dan akhirnya tetap sama pemahaman meskipun seluruh waktu kehidupan dihabiskan dalam diskusi dan pencarian tentang jiwa.

Menjelaskan kepada kelompok yang ketiga yang merasa paling banyak tahu tentang jiwa kemungkinannya ada dua. Kemungkinan pertama penanya hanya akan membandingkan keyakinannya dan tak akan terpengaruh pada ucapan dan penjelasan orang lain. Apalagi jika menganggap pemahaman dirinya paling benar. Bagi orang yang termasuk kelompok ini akan dengan sangat mudah menganggap pendapat dirinya dan orang lain sama-sama benar. Atau justru hanya menganggap pendapat dan keyakinan sendiri yang paling benar.

"Ya, jiwa itu apa?" tanya Maya penasaran.

"Jiwa adalah unsur kehidupan dalam diri manusia yang kekal. Dia tidak berwujud namun ada!" jelasnya.

"Jiwa bisa dikenali dengan cara memahami berlangsungnya perasaan, perasaan adalah hasil karya kerja hati!" jelas Ki makin rumit.

"Terus jiwa itu abadi atau bisa mati?" tanya Maya.

"Jiwa abadi! Sejak jiwa diciptakan jiwa hidup terus dan tak akan mati!" sahut Ki.

"Apakah jiwa bersemayam pada manusia?" tanya Maya.

"Iya dan tidak. Iya jika dipahami dari sisi manusia. Manusia selalu berpikir bahwa di dalam dirinyalah jiwa itu bersemayam. Unsur jiwa dianggap sebagai bagian dari jasad manusia. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jiwa bergantung dengan raga atau badan wadag ini. Tidak jika jiwa dipahami sebagai penciptaan abadi oleh Allah!" jelas Ki tandas.

"Ulangi Ki! Gak paham aku!" kata Maya.

"Iya kalau dari pandangan manusia yang dangkal. Seolah badan dia ditinggali oleh jiwa sampai manusia mati! Padahal jiwa itu adalah dzat yang tercipta secara abadi sejak zaman penciptaan di lauhkul mahfudz sana. Jadi jiwa tidak tergantung badan manusia! Ada badan manusia atau tidak jiwa telah tercipta!" jelas Ki.

"Oh jadi yang kita pikir sebagai jiwa kita itu hanya ‘kopian' atau ‘bayangan' atau ‘kembaran' atau ‘refleksi' jiwa yang bersemayam di dunia jiwa laukhul mahfudz sana ya?" tanyaku mencoba mencerna penjelasan Ki.

"Persis!" sahut Ki gembira.

"Apa bedanya jiwa yang di ‘sana' dengan jiwa ‘jiplakan' di ‘sini' yang ‘berdiam pada manusia'?" tanya Maya.

"Jiwa di sana tidak memiliki nama. Jiwa di dunia kita ini seolah memiliki nama. Jiwa diidentifikasi tanpa nama, tapi perbuatan. Jika pun ada nama, nama itu diberikan oleh Allah. Sementara nama di dunia manusia yang menamai. Tidak sinkron sama sekali! Jiwa tak memiliki jenis kelamin," jelas Ki.

"Lalu apa itu hati dan perasaan?" tanya Maya.

"Hati adalah tempat perasaan bersemayam. Hati adalah tempat berlangsungnya seluruh rasa seperti cinta, sayang, marah, kesal, sabar, kecut, geram, benci, rindu dan sebagianya!" sahut Ki.

"Fungsi dan peranan hati untuk jiwa?" tanya Maya.

"Hati melayani jiwa. Atur dan manage hati agar melayani jiwa. Agar jiwa tetap netral dan bebas!" sahut Ki.

"Apa keuntungan jiwa bebas?" tanya Maya.

"Jiwa yang bebas sama dengan esensi jiwa aslinya! Jiwa akan mengendalikan hati. Maka ketika mencinta harus dalam jiwa. Berikan kesempatan hati melayani jiwa!" sahut Ki.

"Oh. Apa hubungan cinta dengan jiwa?" tanya Maya.

"Cinta cuma perasaan yang berlangsung dalam hati!" sahut Maya.

"Jadi cinta tak penting?" tanya Maya lagi.

"Cinta yang benar adalah cinta yang luruh menyatu dalam jiwa!" jelas Ki lebih lanjut.

"Katanya cinta berlangsung di hati?" tanya Maya menyangkal agar paham.

"Ya. Cinta yang ada dalam hati, dan hati itu adalah hati yang melayani jiwa, maka cinta seperti itu akan menghasilkan cinta dalam jiwa pula!" jelas Ki sabar.

"Oh. Iman dan keyakinan juga harusnya dalam jiwa ya?" tanya Maya.

"Iya!"

"Tapi kebanyakan dibilang iman ada di hati. Bahkan ada yang bilang iman di dada!" komentar Maya mencoba lebih dalam.

"Oh. Jadi aku harus membebaskan jiwaku agar aku bahagia. Jiwa manusia aslinya tak bernama. Jiwa tak tersentuh perbuatan manusia. Apapun yang dilakukan manusia atas nama jiwa akan selalu benar dan tak akan pernah salah!" kata Maya.

"Poliandri?" tanya Maya yang poliandri.

"Apa kata jiwamu. Jika jiwamu membenarkan itu maka tak akan ada yang mampu menyalahkan!" sahut Ki.

"Ya makasih. Yang penting tak saling tahu kedua suamiku itu ya!" kata Maya.

"Cinta dalam jiwa menghapus dosa manusia!" kata Ki.

Ki dan Maya terdiam.

Maya adalah salah satu manusia yang tengah menghadapi kenyataan hidup harus menjalani kehidupan dengan dua laki-laki sekaligus. Maya yang sudah bersuami itu jatuh cinta dengan orang lain. Namun Maya tak mampu memilih salah satunya. Keduanya saling melengkapi. Maya secara sadar tak bisa menolak gejolak hatinya. Salah satu sebabnya adalah suaminya berpoligami dengan tiga perempuan. Benarkah yang dilakukan Maya dan para sosialita yang menyelenggarakan arisan berhadiah brondong?

Salam bahagia ala saya.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun