Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Poligami, Arisan Brondong, dan Fenomena Poliandri Sosialita

28 Juli 2015   10:28 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:42 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baik aku sudah paham kalau demikian. Ada alasan yang membolehkan aku untuk berpoliandri. Dan, ini sesuai dengan keadaan dan keyakinanku. Persamaan hak antara wanita dan pria!" kata Maya.

"Oke!" timpal Ki.

Maya saat itu menjalani kehidupan berpoliandri. Itulah penyebabnya sehinggga Maya memilih jalan berpoliandri. Sebab itulah yang dijadikan alasan oleh kalangan soslialita untuk membiarkan tindakan Maya - dan kalangan sosialita - melakukan poliandri. Bahkan ada penghulu liar, kyai, dan saksi, yang menikahkannya.

"Lalu selain itu, apa ada rasa cinta dengan suamimu?" tanya Ki.

"Cinta ada. Tapi saya tak bisa menyebut apakah itu cinta?" sahut Maya.

"Cinta itu harus ada dalam jiwa. Jangan cinta hanya dalam hati. Cinta dalam hati hanyalah perasaan belaka!"

"Lalu apa beda hati dan jiwa?" tanya Maya lebih lanjut.

Sebelum menjelaskan tentang hati dan jiwa, justru Ki menjelaskan panjang lebar tentang jiwa. Maya mendengarkan saja.

Setiap manusia bisa panjang lebar bercerita atau bertanya tentang jiwa manusia. Yang bertanya tentang jiwa memulai pertanyaan dengan tanpa tahu sedikitpun tentang jiwa. Atau justru mulai menanyakan tentang jiwa karena merasa mengetahui sedikit tentang jiwa. Atau bertanya tentang jiwa karena merasa paling banyak tahu tentang jiwa. Itulah tiga kelompok penanya tentang jiwa.

Menjelaskan tentang jiwa kepada kelompok pertama tentu ibarat menuangkan air ke dalam gelas kosong sampai penuh. Apapun yang disampaikan akan memenuhi pemahamannya dan keyakinannya tentang jiwa. Yang belajar pun akan dengan mudah menerimanya. Apalagi jika pihak yang berbicara mengatasnamakan sesuatu bahkan tuhan, sehingga apa yang disampaikan menjadi kepercayaan.

Menjelaskan kepada kelompok kedua ini akan mengalami kesulitan. Pemahaman dan pengetahuan yang sedikit itu menimbulkan masalah. Pertama keyakinan yang tidak sempurna itu memenuhi selera keingintahuan dan rasa skeptis awal tentang apa yang telah diketahui, dipahami dan bahkan diyakini dan dipercayai. Di satu sisi ada keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang jiwa, namun tak tahu batasan seberapa banyak pengetahuan yang hendak dia reguk. Tak jelas batasan dan akhirnya tetap sama pemahaman meskipun seluruh waktu kehidupan dihabiskan dalam diskusi dan pencarian tentang jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun