Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andi, Angelina dan Tukang Gali Tanah (18)

30 Desember 2012   01:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:49 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejenuhan melandaku. Liburan panjang sekolah ini membuat kesibukanku sangat berkurang. Biasanya aku pada pagi hari berangkat ke sekolah membawa daganganganku Siomay ke sekolah. Mengenai kegiatan aku ini banyak yang tak menyangka kalau aku juga punya teman selain di dunia otomotif juga dunia pemerintahan. Aku memang berada di dua lingkungan yang berbeda. Ketika aku di Kantin Sekolah ini yang aku temukan adalah kenyataan hidup yang sesungguhnya. Di sinilah aku mengumpulkan uang sepuluh ribu, tujuh ribu sampai sekitar ratusan ribu per hari. Ini uang yang menurut aku cukup untuk hidup.

Namun yang menjadi masalah saat ini adalah nyatanya aku harus menghidupi diri dan kedua anakku. Dan secara tak sengaja suamiku yang baru beberapa bulan lalu pensiun juga menjadi tanggungan aku. Ikut makan. Aku juga belum bisa keluar dari rumah meskipun suamiku sudah menanyakan kapan aku akan keluar dari rumah. Aku selalu menjawab aku akan keluar rumah nanti kalau uang sudah terkumpul.

Yang paling menjadii pertimbangan aku adalah aku tak bisa hidup tanpa kendaraan. Kendaraan itu yang membawa aku dan mengantarkan aku ke Kantin Sekolah dan membawa dagangan. Aku tak mampu bepergian dengan kendaran umum di Jakarta. Itulah yang menjadi pertimbanganku. Mobil yang aku pakai ini adalah mobil milik kantor perusahaan yang masih harus dibayar cicilannya. Aku tak tahu sampai kapan mobil ini masih bisa aku pakai.

"Hai ngapain kamu Sri...mendingan jalan-jalan yuk ama aku?" begitu bunyi BBM dari Niko.

"Emang kamu lagi ngapain?" tanyaku

Saya diajak Niko iseng melakukan perjalanan sehari hari itu. Mencari jawaban dan pendapat tentang Andi Mallarangeng dan korupsi di mata mereka. Niko sengaja menarik mereka untuk memberi komentar pada koruptor Andi Mallarangeng. Ternyata para tukang yang aku dan Niko temui paham dan melek informasi. Mereka pantas mendapatkan gelar Tanpa Ngeblog Tervaforit dari Kompasiana. Pasalnya tanpa banyak membaca mereka semua sangat mampu mengambil intisari kebenaran yang ditulis para Kompasianers. Luar biasa bukan? Mari kita tengok apa yang mereka sampaikan yang jelas akan membuat kita semua kembali merenung.

Ini yang aku temui di Pulogadung, Tukang Kerak Telur bernama Nazaruddin.

Tak ada jalan yang tidak belok pada akhirnya. Tidak ada kebenaran yang tidak salah pada akhirnya. Tidak ada kesalahan yang tidak benar pada akhirnya. Tidak ada yang halal dan haram pada akhirnya. Tidak ada kebaikan dan keburukan pada akhirnya. Tidak ada kehormatan dan keaiban pada akhirnya. Akhir dari keseluruhan itu hanya: uang. Dan uang bukan segala-galanya.

Kalimat-kalimat itu muncul pada akhir pembicaraan suatu diskusi. Bukan di ILC atau seminar nasional yang dihadiri oleh profesor Komaruddin Hidayat. Atau Quraish Syihab. Bukan. Itu keluar dari mulut Nazaruddin, Tukang Kerak Telur yang biasa mangkal di kios kecil di area parkir sebuah mall di kawasan timur Pulogadung.

Selanjutnya aku pergi ke perumahanku di Rawamangun. Di situ aku bertemu dengan Angelina Sondag.

Semua diukur dengan mobil. Semua diukur dengan rumah mewah. Semua diukur dengan gebyar luar istri cantik. Semua diukur dengan pesta pora. Semua diukur dengan benda yang terlihat di depan mata kita: harta benda adalah tujuan dari hidup. Padahal barang-barang itu tidak dibawa mati. Harta. Dan harta bukan segala-galanya.

Kalimat tadi juga bukan keluar dari mulut yang berbusa-busa dari para penceramah ustadz, pendeta dan pedanda. Kalimat-kalimat tadi keluar dari mulut Angelina, Tukang Sayur langganan di kompleks rumah saya.


Tiga jam di tengah kemacetan mobil yang dikemudikan Niko meluncur di jalanan yang padat ke arah Bintaro Jakarta Selatan. Niko memasuki pasar dan bertemu Hartati Murpaya.

Jabatan adalah amanah. Sumpah yang dibacakan oleh para pejabat dari anggota DPR sampai menteri tidak ada maknanya sama sekali bagi mereka. Dari pejabat di DPR sampai menteri dan polisi mengingkari sumpah dan amanah dengan menganggap sumpah hanya urusan rangkaian upacara pengangkatan jabatan. Yang ada di kepala para pejabat adalah memanfaatkan jabatan unuk mengejar harta dan uang. Padahal harta, jabatan dan uang tidak abadi. Dan jabatan bukan segala-galanya.

Kalimat-kalimat di atas itu bukan keluar dari SBY atau Gamawan Fauzi yang menasihati para pejabat yang dilantik menjadi pejabat dan menteri. Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Hartati Murpaya,Tukang Ayam Kampung langganan saya di Pasar Modern Bintaro.

"Capek ya?" tanya Niko sambil tertawa.

"Iya tapi seru mewancarai orang biasa... Hasilnya seru," sahut aku sambil berjalan di belakang Niko.

Aku selalu ketinggalan dua langkah jika berjalan dengan Niko. Meski Niko bertinggi badan cuma sekitar 168 cm, namun perawakan badannya seksi. Jalannya cepat sekali. Makanya aku selalu ketinggalan kalau berjalan dengannya.

Dari Bintaro kami mengarah ke BSD. Perjalanan dilalui melalui jalan-jalan alternative yang cukup asri di sekitar perumahan-perumahan Bintaro Jaya yang menembus ke Serpong. Tak sengaja kami bertemu dengan Aulia Pohon, Tukang Jahit Bersepeda Keliling.

Penyebab korupsi adalah para pejabat yang korup itu dihukum sangat ringan. Kejahatan korupsi hanya diganjar penjara dua tahun, satu tahun dan paling lama 9 tahun. Koruptor menjadi tidak jera dan menganggap dipenjara adalah masa tenggang menuju pensiun. Uang pensiun dari hasil korupsi sudah ditanamkan dan dicuci dalam bentuk properti dan aneka usaha. Para koruptor menikmati masa tua dengan bahagia dari hasil korupsi itu. Meskipun haram, para koruptor itu tetap saja menjadi warga terhormat. Bahkan koruptor bisa menjadi besan presiden di Indonesia. Korupsi dianggap biasa oleh masyarakat dan para pejabat. Uang hasil korupsi itu akan menurunkan anak-anak dan cucu-cucu yang bejat karena dikasih makan uang haram selama hidupnya.

Kalimat-kalimat itu bukan berasal dari penggiat anti korupsi dan pengamat politik dan penegak hukum, hakim dan politikus. Kalimat-kalimat itu berasal dari Aulia Pohon, Tukang Jahit Bersepeda yang sering keliling di kompleks perumahan di bilangan Graha Raya dan Kompleks Melati, BSD.

Lalu Niko mengarahkan perjalanan ke JORR dan memasuki Tol Jagorawi mendekati Cibubur. Persis di badan jembatan Niko menghentikan kendaraan dan berbicara dengan seorang


"Korupsi tidak bisa dihentikan karena masyarakat mendukung perilaku korup. Misalnya pengurusan KTP dan urusan dengan kepolisian selalu uang berbicara. Jika masyarakat berhenti melakukan dan mendukung korupsi dalam urusan paling sederhana. Itu sumbangan untuk mengikis budaya korupsi di negeri ini," kata Andi Palapeang.

Kalimat-kalimat itu muncul dari mulut Andi Palapeang, Tukang Gali Tanah yang mangkal dan tidur di jembatan yang melintas di atas Jalan Tol Jagorawi di dekat pintu masuk tol dekat Cibubur Junction.

Malam telah merambat naik. Pukul 22:00. Hujan deras melanda dalam perjalanan pulangku. Suasana hujan membuat jiwa nyaman dan tercipta suasana romantis tanpa disengaja. Aku tak berani menyentuh tangan Niko. Aku hanya menyimpan keinginan untuk sekedar tangan Niko memegang telapak tanganku dalam dinginnya malam itu.

"Niko, bagaimana cinta itu? Aku pengin tahu!" kataku pada Niko.

Niko diam tak menjawab. Niko meraih BB di sampingnya dan membuka. Disodorkannya karya puisinya berjudul Aku Cintai Kamu dalam Cinta Kaffah.

***lalu kau bertanya tentang cinta yang kaffah
aku katakan bahwa cinta kaffah cinta terindah
cinta kaffah sempurna dalam makna mawadah
karena dalam cinta itu jiwa begitu sumringah
cinta kaffah menyempurna begitu megah
karena semua rasa di jiwa membuncah
cinta kaffah hadir begitu indah tanpa jengah
karena ia memeluk jiwa raga tubuh meningkah
cinta kaffah selalu hadir bersembah
karena cinta meminta laku menyembah
cinta kaffah selalu mencinta jiwa satu tak terbelah
tajam menghunjam dalam jiwa tanpa lelah
cinta kaffah menghamba begitu mudah
karena cinta saling mencinta dalam rahmah
cinta kaffah tak mengenal gundah
karena semua rasa menjadi begitu mudah
cinta kaffah adalah perayaan pesta cinta meriah
karena cinta itu kenikmatan tanpa kata sudah
cinta kaffah mengaya jiwa menjadi cerah
karena cinta itu hadirkan kemegahan rasa illah
cinta kaffah adalah cinta sebagai berkah
karena semua kenikmatan hidup ada berwadah
dan semua penikmatan tubuh saling meningkah
merayakan kesempurnaan cinta menyembah
yang bersempurna berjalan meningkah melangkah
menyatu dalam persembahan rasa paling indah
yang hanya mampu kau-aku sirnakan rasa gundah
hingga yang tertinggal kenikmatan cinta kaffah
cinta yang kau dan aku sembah

"Thank you Niko!" kataku sehabis membacanya. Mataku menerawang jauh membayangkan cinta yang diucapkan oleh Niko. (To Be Continued)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun