Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Indah Wanita Jelita (11)

8 Desember 2012   10:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sri dan Vivi tengah berada di salah satu Café di Taman Ismail Marzuki. Suasana sore itu sungguh nyaman. Udara sore itu tak menyengat. Kali ini aku hanya memesan es jeruk. Cenderung sejuk untuk ukuran Jakarta. Di café itu tempat aku sering bertemu dengan Niko. Aku jadi ingat Niko. Di tempat ini Niko pernah bercerita dia juga berkunjung ke TIM dengan teman wanitanya, namanya tidak pernah Niko beritahukan kepadaku. Namun ceritanya tentang makanan membekas dalam jiwaku.

"Biasa sop buntut goreng saja! Nasi satu. Teh tawar panas," kata Niko ketika memesan makanan di tempat aku duduk.

Seingat aku Niko di mana pun selalu memesan makanan dengan teh tawar panas. Di mana pun dia berada dan makan dia hanya meminum air mineral atau teh tawar panas. Niko tak pernah menyantap makanan junk food dan aneka masakan sampah lainnya seperti ayam broiler, ayam suntik. Begitu jeroan apapun jug sangat dihindari oleh Niko.

"Makan adalah perayaan akan kehidupan. Dalam makan terkandung nilai ketuhanan dan rasa kerdil manusia. Makan adalah symbol kepasrahan manusia kepada alam. Tanpa makan, manusia akan mati. Namun kadang manusia berbuat salah dengan menjadikan makan sebagai penyaluran nafsu belaka. Makan yang telah berubah menjadi kerakusan mengarah pada sifat buruk dan meminta korban berupa kesehatan kita!" kata Niko saat itu.

"Iya sebagian besar penyakit, kata Rasullullah SAW juga disebabkan oleh isi perut manusia. Makanan secara langsung memengaruhi ketahanan dan pula hadirnya penyakit untuk tubuh manusia!" timpal teman wanita Niko.

"Maka hal yang paling nikmat adalah ketika aku menikmati makanan. Aku sangat menghindari makanan yang aku sendiri tak mau makan. Bagiku makanan adalah karunia kehidupan dari Tuhan yang luar biasa!" kata Niko.

Ya. Sejak itu aku tahu kebiasaan Niko yang selalu mengonsumsi makanan sehat. Makanan sederhana. Hobi makannya ya makanan Sunda yang banyak sayur dan aneka lalapan. Makanan dianggap sebagai suatu keindahan hidup: makan adalah perayaan kehidupan.

"Selain makan dan makanan. Seks. Pekerjaan. Ibadah. Jalan-jalan. Dalam hidup ini hanya itulah esensi kehidupan. Maka ketika kita memiliki kesempatan untuk makan, maka makanlah! Ada kesempatan untuk melakukan hubungan seks, maka lakukanlah dengan tanggung jawab. Demikian pula, bekerjalah agar kita bisa mendapatkan uang untuk memberi nafkah bagi diri sendiri dan keluarga!" kata Niko menjelaskan filosofi hidupnya.
"Trus kalau sudah ada uang buat jalan-jalan ke mana saja sesuai keuangan yang ada!" lanjut teman wanita Niko.

"Iya. Itulah sebabnya aku tak mau menjadi penulis dan penyair dulu. Aku berbakat sungguh dalam dunia kepenyairan. Aku salah satu Juara Menulis Puisi Universitas Muhammadiyah Magelang ketika aku kelas 3 SMP. Kelas satu SMA muncul tulisan aku kali pertama di Majalah Pelajar MOP. Justru karena bakatku yang luar biasa itu yang menyebabkan aku memutuskan menjauh menjadi penyair. Menjadi penulis!" kata Niko menjelaskan.

"Aneh kamu!" kata teman wanita Niko menimpali keputusan aneh Niko. Berbakat di dunia seni malahan dijauhi.

"Iya. Aku takut miskin dan tak mau miskin. Memang aku aneh. Seniman kok takut miskin. Makanya aku campakkan bakatku menulis puisi. Baru sekitar lima tahun ini aku kembali menulis. Menulis puisi dan mengambil-alih posisi sebagai pembaru puisi Nusantara!" jelas Niko.

"Kalau begitu berarti kamu mengkhianati seni. Kamu tidak menyukuri bakat alam yang diberikan Allah kepadamu!" protes perempuan itu dengan nada tinggi.

Ya bagaimana mau jadi seniman kalau tempat untuk tampil semacam teater saja cuma emperan? Bagaimana mau jadi seniman kalau penghasilan pas-pasan dan pembaca sedikit karena minat baca kecil. Buku puisi praktis tak laku. WS Rendra bertahan menjadi seniman karena masih ada Bengkel Teater, contohnya.

Beberapa temanku menjadi miskin dan bahkan ada yang bunuh diri gara-gara didera kemiskinan. Seniman kok menderita. Jakarta sebagai Kota Besar tak memiliki Gedung Teater sekelas Esplanade di Singapore, atau Sydney Opara House, atau bahkan deretan gedung teater di Broadway. Tempat pertunjukan seni di kota-kota di Indonesia sungguh tak layak. Maka tak heran dunia seni dan kebudayaan mati. Seniman tidak dianggap sebagai manusia penting di Indonesia. Negara tanpa seni ibarat kebun binatang tanpa makanan. Penghuni negara itu kelaparan jiwanya, sehingga bangsa menjadi bangsa yang sakit.

Kesenian, apapun bentuknya adalah pembentuk kehalusan budi manusia, pembentuk peradaban dan kebudayaan umat manusia. Dalam sejarah umat manusia, sejak zaman manusia tinggal di gua-gua, sampai zaman Mesir Kuno, Yunani dan Romawi Kuno, Maya sampai zaman Renaisance, kesenian dan seni menempati level penghargaan yang tinggi. Ketika masyarakat atau negara menafikan dan tidak menghargai seni, maka saat itu pula, masyarakat itu berubah menjadi segerombolan dan kumpulan para manusia yang bisa beringas dan tak berbudaya; bar bar!

Maka, hanya manusia yang memiliki jiwa seni, entah itu ulama, pendeta, kiai, dan penguasa dan para seniman yang sebenarnya yang memiliki kemauan untuk menghargai hidup dan kehidupan. Pemimpin yang tak memiliki jiwa seni akan hancur berkeping. Itulah sebabnya kenapa orang berjiwa seni lebih mampu menampilkan sosok besarnya sebagai pemimpin. Bung Karno meninggalkan jejak sebagai pemimpin-seniman dengan ratusan koleksi lukisan dan barang seni di Istana Cipanas, Istana Bogor, IstanaTampaksiring, Istana Presiden dan istana lainnya di seantero Indonesia. Pemimpin tanpa jiwa seni akan menjadi koruptor - karena seni menghaluskan budi.

"Maka pantaslah kalau aku tak mau mengandalkan diri dari honor menulis di koran. Dijamin puas jiwa tapi sengsara karena miskin harta akibat penghasilan terbatas. Saya membayangkan jika aku menikah dan aku punya anak, anak-anakku lapar dan aku menunggu tulisanku muncul dan mendapat honor dari Kompas Minggu. Wah. Repot!" kata Niko tak mampu membayangkan menjadi penulis miskin.

"Belum lagi para Redaktur yang silau oleh nama-nama yang itu-itu saja yang menulis di Kompas! Tak ada sesuatu yang baru sejak tahun 1988 sampai sekarang. Sungguh aneh. Trend anti perubahan itupun beranak pinak ke kelompok Kompasiana yang anti perubahan dan tak akan mendukung seni dan karya yang keluar dari warna mainstream. Karya yang keluar dari keumuman selera redaktur!" tambah perempuan itu penuh semangat.

*****

Sri dan Vivi tengah menikmati kopi di TIM. Malam semakin gelap. Pukul 19:30 mereka beringsut meninggalkan tempat itu. Kini Sri kembali ke dunianya. Dunia perempuan matang, cerdas, cantik yang diinginkan banyak laki-laki. Namun, bagi Sri yang menjadikannya mengagumi Niko adalah sikapnya yang sangat sederhana. Sikap yang bertolak belakang dengan Raden Panji, suaminya.

Sesampai di rumah, kedua anaknya menyambut. Di pojok ruangan Raden Panji berdiri mematung. Muka masam. Tiba-tiba kedua anak Sri menangis tersedu-sedu dalam pelukannya. Ada apa dengan kedua anak Sri ketika mereka ditinggal pergi oleh Sri mencari nasabah. Sri sekarang menjadi agen asuransi untuk menghidupi diri dan kedua anaknya selain membuka usaha boga, membuat siomay yang dijual di kantin atau dikerjakan saat ada pesanan. Raden Panji telah berubah menjadi manusia yang mulai galau dalam usia 59 tahun.

"Kamu lupa memasukkan baju ke mesin cuci kan?" teriak Raden Panji Budi pada Sri dengan garangnya,

"Maaf!" hanya itu ucapan Sri.

Plak. Plak. Tamparan pertama Raden mengenai pipi kiriku. Tamparan keduanya mengenai mulutku. Darah segar mengalir dari belahan bibirku. Kedua anakku lari ke lantai atas demi melihat aku dianiaya oleh Raden Panji.

Kini, dengan tanpa pekerjaan, selepas pensiun Raden Panji hanya menggantungkan sisa-sisa uang yang dia punyai. Jumlahnya pun tak jelas berapa banyak. Kesombongan dan keangkuhannya aku pikir akan sembuh dan berubah menjadi lebih baik. Aku pikir, setelah pensiun, Raden akan mengubah sikapnya kepadaku dan semua orang di sekelilingnya. Harapan tinggal harapan. Sikap sombongnya dan tinggi hatinya semakin mengental. Dalam kasus tadi, apa salahnya dia memasukkan sendiri pakaian ke dalam mesin cuci dan tekan tombol Start. Maka cucian akan kering dalam 30 menit. Semua serba otomatis.

"Kedewasaan itu tak berhubungan dengan umur. Kebijaksanaan tidak berkaitan dengan pengalaman. Buktinya? Raden Panji tidak dewasa dan bijaksana meski umurnya telah mencapai angka 59 tahun!" ucapku dalam hati pada diri sendiri.

Aku semakin kuat kini dan akan segera mengambil keputusan tegas untuk meninggalkan suamiku. Apalagi kini dia telah menamparku. Bagiku seorang laki-laki menampar perempuan adalah tabu. Tindakannya itu telah semakin membuat aku teguh untuk meninggalkan dirinya, di usia pensiunnya. Tegakah aku keluar rumah dan meninggalkan laki-laki itu yang telah memberiku dua anak? (To Be Continued)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun