"Maaf!" hanya itu ucapan Sri.
Plak. Plak. Tamparan pertama Raden mengenai pipi kiriku. Tamparan keduanya mengenai mulutku. Darah segar mengalir dari belahan bibirku. Kedua anakku lari ke lantai atas demi melihat aku dianiaya oleh Raden Panji.
Kini, dengan tanpa pekerjaan, selepas pensiun Raden Panji hanya menggantungkan sisa-sisa uang yang dia punyai. Jumlahnya pun tak jelas berapa banyak. Kesombongan dan keangkuhannya aku pikir akan sembuh dan berubah menjadi lebih baik. Aku pikir, setelah pensiun, Raden akan mengubah sikapnya kepadaku dan semua orang di sekelilingnya. Harapan tinggal harapan. Sikap sombongnya dan tinggi hatinya semakin mengental. Dalam kasus tadi, apa salahnya dia memasukkan sendiri pakaian ke dalam mesin cuci dan tekan tombol Start. Maka cucian akan kering dalam 30 menit. Semua serba otomatis.
"Kedewasaan itu tak berhubungan dengan umur. Kebijaksanaan tidak berkaitan dengan pengalaman. Buktinya? Raden Panji tidak dewasa dan bijaksana meski umurnya telah mencapai angka 59 tahun!" ucapku dalam hati pada diri sendiri.
Aku semakin kuat kini dan akan segera mengambil keputusan tegas untuk meninggalkan suamiku. Apalagi kini dia telah menamparku. Bagiku seorang laki-laki menampar perempuan adalah tabu. Tindakannya itu telah semakin membuat aku teguh untuk meninggalkan dirinya, di usia pensiunnya. Tegakah aku keluar rumah dan meninggalkan laki-laki itu yang telah memberiku dua anak? (To Be Continued)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H