Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Indah Wanita Jelita (11)

8 Desember 2012   10:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau begitu berarti kamu mengkhianati seni. Kamu tidak menyukuri bakat alam yang diberikan Allah kepadamu!" protes perempuan itu dengan nada tinggi.

Ya bagaimana mau jadi seniman kalau tempat untuk tampil semacam teater saja cuma emperan? Bagaimana mau jadi seniman kalau penghasilan pas-pasan dan pembaca sedikit karena minat baca kecil. Buku puisi praktis tak laku. WS Rendra bertahan menjadi seniman karena masih ada Bengkel Teater, contohnya.

Beberapa temanku menjadi miskin dan bahkan ada yang bunuh diri gara-gara didera kemiskinan. Seniman kok menderita. Jakarta sebagai Kota Besar tak memiliki Gedung Teater sekelas Esplanade di Singapore, atau Sydney Opara House, atau bahkan deretan gedung teater di Broadway. Tempat pertunjukan seni di kota-kota di Indonesia sungguh tak layak. Maka tak heran dunia seni dan kebudayaan mati. Seniman tidak dianggap sebagai manusia penting di Indonesia. Negara tanpa seni ibarat kebun binatang tanpa makanan. Penghuni negara itu kelaparan jiwanya, sehingga bangsa menjadi bangsa yang sakit.

Kesenian, apapun bentuknya adalah pembentuk kehalusan budi manusia, pembentuk peradaban dan kebudayaan umat manusia. Dalam sejarah umat manusia, sejak zaman manusia tinggal di gua-gua, sampai zaman Mesir Kuno, Yunani dan Romawi Kuno, Maya sampai zaman Renaisance, kesenian dan seni menempati level penghargaan yang tinggi. Ketika masyarakat atau negara menafikan dan tidak menghargai seni, maka saat itu pula, masyarakat itu berubah menjadi segerombolan dan kumpulan para manusia yang bisa beringas dan tak berbudaya; bar bar!

Maka, hanya manusia yang memiliki jiwa seni, entah itu ulama, pendeta, kiai, dan penguasa dan para seniman yang sebenarnya yang memiliki kemauan untuk menghargai hidup dan kehidupan. Pemimpin yang tak memiliki jiwa seni akan hancur berkeping. Itulah sebabnya kenapa orang berjiwa seni lebih mampu menampilkan sosok besarnya sebagai pemimpin. Bung Karno meninggalkan jejak sebagai pemimpin-seniman dengan ratusan koleksi lukisan dan barang seni di Istana Cipanas, Istana Bogor, IstanaTampaksiring, Istana Presiden dan istana lainnya di seantero Indonesia. Pemimpin tanpa jiwa seni akan menjadi koruptor - karena seni menghaluskan budi.

"Maka pantaslah kalau aku tak mau mengandalkan diri dari honor menulis di koran. Dijamin puas jiwa tapi sengsara karena miskin harta akibat penghasilan terbatas. Saya membayangkan jika aku menikah dan aku punya anak, anak-anakku lapar dan aku menunggu tulisanku muncul dan mendapat honor dari Kompas Minggu. Wah. Repot!" kata Niko tak mampu membayangkan menjadi penulis miskin.

"Belum lagi para Redaktur yang silau oleh nama-nama yang itu-itu saja yang menulis di Kompas! Tak ada sesuatu yang baru sejak tahun 1988 sampai sekarang. Sungguh aneh. Trend anti perubahan itupun beranak pinak ke kelompok Kompasiana yang anti perubahan dan tak akan mendukung seni dan karya yang keluar dari warna mainstream. Karya yang keluar dari keumuman selera redaktur!" tambah perempuan itu penuh semangat.

*****

Sri dan Vivi tengah menikmati kopi di TIM. Malam semakin gelap. Pukul 19:30 mereka beringsut meninggalkan tempat itu. Kini Sri kembali ke dunianya. Dunia perempuan matang, cerdas, cantik yang diinginkan banyak laki-laki. Namun, bagi Sri yang menjadikannya mengagumi Niko adalah sikapnya yang sangat sederhana. Sikap yang bertolak belakang dengan Raden Panji, suaminya.

Sesampai di rumah, kedua anaknya menyambut. Di pojok ruangan Raden Panji berdiri mematung. Muka masam. Tiba-tiba kedua anak Sri menangis tersedu-sedu dalam pelukannya. Ada apa dengan kedua anak Sri ketika mereka ditinggal pergi oleh Sri mencari nasabah. Sri sekarang menjadi agen asuransi untuk menghidupi diri dan kedua anaknya selain membuka usaha boga, membuat siomay yang dijual di kantin atau dikerjakan saat ada pesanan. Raden Panji telah berubah menjadi manusia yang mulai galau dalam usia 59 tahun.

"Kamu lupa memasukkan baju ke mesin cuci kan?" teriak Raden Panji Budi pada Sri dengan garangnya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun