Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berita Myranda Gultom dan Jokowi di Tengah Cinta Segitiga

29 September 2012   17:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:29 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Sayang aku serius. Aku adalah seducer buat kamu. Nikmatilah aku sebagai madu cintamu. Karena pada kamu aku juga menikmati cinta yang menggelegak ini," jelasnya.

"Ya seperti katamu karena kita mencuri-curi!" kataku sambil menggenggam tangannya.

Kami sepakat bahwa poliandri adalah hak azasi. Sama dengan poligami. Hak perempuan dikebiri dengan alasan nasab dan keturunan yang harus dijaga.Padahal hukum di seluruh dunia dibuat atas nama perspektif laki-laki.

"Kita membohongi diri, Mas!" kataku padanya.

"Yang namanya bohong itu apa? Bohong adalah perbuatan yang dilakukan merugikan orang lain. Membohongi diri itu tidak ada. Bagaimana mungkin kita bisa membohongi diri sendiri, sementara semua perbuatan dan pikiran kita sendiri tahu. Tak mungkin orang bisa membohongi dirinya. Membohongi orang pun tidak ada kecuali orang tersebut tahu dan menyadari telah dibohongi. Syarat adanya bohong adalah ketika ada perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu. Dan salah satu orang melanggar perjanjian itu. Cinta kita tak merugikan siapa pun!"

Mobil berhenti mendadak. Boneka lucu Jokowi-Ahok di dashboard mobil terjatuh. Boneka itu mengingatkanku pada Jokowi-Ahok yang dua tahun tiga bulan lalu terpilih sebagai Gubernur dan Wagub DKI Jakarta. Aku dan lelaki itu turun. Kami melangkah ke sebuah rumah berpagar biru di perumahan elite itu. Kami memasuki rumah itu dengan leluasa.

Ada tiga orang yang telah disumpal mulutnya di sana. Dua orang petugas security mereka. Tiga temanku telah mengikat mereka. Satu di antaranya yang tadi aku telepon. Satu lagi seorang perempuan berambut ungu dan mengenakan pakaian ala selibritas dan sosialita Jakarta. Perempuan itu mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Zaman dulu BI adalah ladang dan lumbung partai dengan kekuasaan mengatur keuangan bebas tanpa pengawasan. Pengelolaan moneter menjadi wewenang merdeka BI. Tak heran BI sebagai regulator keuangan memiliki hak mengatur rumah tangga layaknya sebuah Negara berdaulat.

Pejabat BI selalu bisa memengaruhi pasar dengan kebijakannya. Bahkan bailout terhadap bank pun bisa dilakukan dengan semena-mena. Padahal uang itu uang rakyat pembayar pajak. Gaji pejabat BI dan karyawannya sungguh fantastis. Maka jika perempuan itu mengincar posisi dengan menyuap bersama Nunun Nurbaeti sungguh pantas.

"Mas, ayo!" kataku memerintahkannya menyuntik perempuan itu.

Mendengar kataku perempuan itu beringsut dari duduknya di lantai. Kakinya bergerak-gerak dan dia menjatuhkan diri dengan memutar badannya. Dia menelungkup. Ditariknya perempuan itu. Mulutnya masih tersumpal. Aku buka!

"Tolong aku jangan diapa-apakan. Aku akan berikan uang 100 milyar rupiah tapi tolong aku jangan dibunuh!" katanya memohon dengan suara bergetar. Matanya menampakkan ketakutan luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun