Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

1000 Hari Setelah Kiamat (Part 3)

7 April 2012   03:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:56 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Satu-satu kepala menunduk ke arahku. Mengungkapkan duka. Padahal semua orang itu telah rusak, telah mati. Luar biasa komputer diprogram untuk mengetahui siapa yang sedang berkabung. Aku tak mengenali semua wajah itu. Namun upacara pengucapan perkabungan memakan waktu lebih dari sembilan jam. Belum lagi ucapan belasungkawa dari delapan Pemimpin Koloni lainnya.

"Aku ikut berbelasungkawa atas pulangnya istri kamu, Vrisunda Chip No. 321A4B23. dan anak kamu Rejoice Chip No. 89324A21, Niko Amortal," kata Datuk Kaisar. Tak terkecuali mengucapkan kata-kata penghiburan yang langsung ditujukan kepadaku.

"Terima kasih Datuk Kaisar," jawabku.

Datuk Kaisar hadir secara virtual namun nyata di depanku. Mengelus pundakku dia. Tak kuasa aku meneteskan air mata. Betapa peduli pemimpin bangsa kami. Bagaimana seorang rakyat biasa seperti aku mendapatkan penghormatan tinggi.

Aku jadi teringat hikayat yang pernah aku baca di ColonyLibrary bahwa para presiden dan raja pada zaman purba hanya akan menghadiri pemakaman orang-orang kaya, sesama presiden atau raja dan pangeran. Mereka dipilih oleh rakyat, merayu rakyat dengan penipuan berupa kampanye di televisi dan surat kabar - surat kabar pada waktu itu masih dicetak di atas kertas. Setelah menjadi pemimpin, mereka melupakan rakyat. Mereka hidup di istana yang jauh dari rakyat. Hidup dikelilingi pengawal. Takut bertemu rakyatnya. Aneh. Lebih aneh lagi rakyat yang membiayai semua kenikmatan perlakuan para pemimpin itu. Pemimpin bahkan tidak memikirkan rakyatnya. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Sungguh ajaib hubungan antara rakyat dan pemimpin pada zaman itu: katanya itu disebut demokrasi.

Aku mengusap air mata terakhir di pipi kananku. Aku melangkah menuju panel kontrol di Chamber of Heaven yang ada di depan aku. Satu-satu kakiku melangkah penuh hikmat. Inilah saat-saat terakhir aku berhubungan dengan istri dan anakku. Mereka akan mengarungi angkasa ke langit tingkat ke sembilan dan bertemu dengan Tuhan di sana. Langsung masuk akhirat. Di situlah surga paling dekat dengan dunia berada. Pada zaman dua ribu lima ratus tahun yang lalu juga banyak orang yang yakin bahwa surga ada di langit tingkat 7, luar biasa.

Perlahan aku katupkan kedua tanganku di dadaku, aku tundukkan kepala menghormati istri dan anakku. Aku sentuh tombol panel itu. Perlahan. Seakan aku tak rela bahwa mereka akan pergi selamanya. Namun aku kuatkan hati dan jiwa. Aku alirkan kekuatan agar tanganku mampu dan kuat menyentuh dan menekan timbol itu. Klik! Kutekan tombol itu.

Suara gemuruh dari dalam roket. Muncul wajah istri dan anakku di dinding roket. Tersenyum. Melambaikan tangan ke arahku seolah mengatakan selamat tinggal padaku. Aku terharu. Atap Chamber of Heaven di dalam kompleks gedung AllReligionsPrayerHouse terbuka perlahan. Langit malam bertabur bintang. Terlihat indah menawan. Aku bersimpuh takjub memandangi langit yang begitu bertaburan bintang. Ternyata the Chamber of Heaven adalah teropong bintang dan alam semesta berukuran raksasa yang mampu menjangkau sampai galaksi-galaksi. Begitu nyata alam semesta terbentang. Ke sanalah istri dan anakku menuju. Namun yang aku tahu hanya sampai langit tingkat sembilan. Kata ‘langit' hanya sisa dari peradaban masa lalu yang dipercayai hanya dengan iman. Langit sesungguhnya hanya batas pandangan. Ketika batas pandangan mata diperpanjang ke batas antar galaksi, maka langit menjadi sirna atau terbentang makin luas. Sungguh besar kuasa Tuhan.

"Ten, Nine, Eight, Seven, Six, Five, Four, Three, Two, One ...." Hitungan mundur. Maka pada hitungan Zero melesatlah roket itu bergerak vertikal menuju ketinggian bintang dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Teknologi telah mengurai materi atau benda melebur mendekati materi cahaya sehingga kecepatannya mencapai 298.792 meter per detik, sedikit lebih lambat dari kecepatan cahaya yang 299.792 m per detik.

Delapan menit telah berlalu. Aku masih takjup melihat roket bergerak melesat. Dalam delapan menit jarak 150 juta km telah ditempuh. Roket itu telah mencapai jarak sejauh Bumi-Matahari. Di keheningan itu tampak sekali roket di depan mataku karena teropong raksasa di Chamber of Heaven. Pantas sekali namanya Chamber of Heaven, karena tampak sekali dari ruangan ini keindahan bintang laksana surga di angkasa sana.

Pada menit kesepuluh roket berhenti. Kapsul terbuka. Dua tabung yang aku taruh di dalam roket keluar satu-satu. Tampak istriku tersenyum, demikian pula anakku. Melambaikan tangan mereka dari jarak 187 juta kilometer dari Bumi. Aku lambaikan tanganku. Aku cium tanganku dan aku salutkan ke arah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun