Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hashim, Prabowo Pamer Kekuatan dan Strategi Politik Klasik Tanpa Contingency Plan

10 Oktober 2014   17:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:36 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernyataan Hashim adik pentolan Gerindra Prabowo sungguh menarik. Juga Ical dan Fadli Zon. Mereka menampakkan kekuatan dalam strategi politik klasik. Setelah pernyataan Ray Rangkuti yang menduga akan ada kudeta konstitusional - istilah pemakzulan - melihat arah dendam kesumat koalisi Prabowo di DPR dan MPR, maka makin benar sinyalemen tersebut. Pernyataan menolak tudingan Zulkifli Hasan sang Ketua MPR tentang rencana kudeta koalisi Prabowo justru perlu diamati. Demikian pula sikap SBY yang sangat aneh belakangan juga menjadi pemicu sinyalemen kudeta semakin menguat. Akankah ada atau bagaimana strategi kudeta konstitusional akan dibangun oleh kubu Prabowo dengan motor Fadli Zon, SBY, Hidayat Nur Wahid, Mahkamah Konstitusi dan Zulkifli Hasan dalam strategi politik klasik?

Dalam teori strategi politik klasik, kekuatan ditampakkan sebagai kekuatan lewat pernyataan. Tak ada fakta yang dibungkus untuk rencana cadangan alternatif (contingency plan). Dengan strategi politik klasik ini, sangat mudah dibaca segala arah tujuan politik dibawa. Dalam alam politik diktator seperti di Korea Utara, Tiongkok, Kuba, Malaysia, Saudi Arabia, strategi ini jitu dan pasti akan berhasil menakut-nakuti rakyat. Hashim dan Prabowo sejak awal kampanye telah menerapkan teori dan strategi politik klasik ini (tanpa pernah memikirkan secara matang adanya counter attack terhadap penerapan strategi itu oleh kubu lawan).

Semasa kampanye, ancaman tentang komunisme, kisruh politik, kebangkrutan negara, kemiskinan rakyat, kerusuhan sectarian diperhadapkan kepada rakyat dengan bahasa kasar: maling, rampok, asing dan sebagainya. Ini sifat asli politikus penerap strategi klasik: tunjukkan kekuatan dengan ancaman. Harapannya, di tengah ketakukan itu rakyat akan memilih Prabowo (tanpa pernah berpikir dan menafikan tentang realita kekuatan media dan rakyat).

Hashim menampakkan sifat asli keluarga kakak dan adik: Prabowo. Prabowo dan Hashim tak bisa menerima kenyataan kekalahan atas cita-cita di ubun-ubun Prabowo sebagai presiden. Hanya menjadi presiden satu-satunya kehormatan. Dalam berbagai kesempatan disampaikan bahwa tidak ada skenario kalah dan kalah bukan pilihan bagi Prabowo (tanpa pernah berpikir adanya strategi anti strategi untuk melawan kekuatan Prabowo dari Jokowi dan pesaing Prabowo).

Pernyataan tak ada skenario kalah Prabowo ternyata benar-benar merasuk dan bukan jargon. Langkah Hashim dan Prabowo dengan didukung oleh para pentolan partai yang ‘sakit hati' atas kekalahan pilpres yang membekas dalam jiwa menjadi penyebab Ical, Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah, Tantowi Yahya semakin bernafsu mencari celah menjungkalkan Jokowi (dengan menafikan semua kekuatan lain di luar Koalisi Prabowo yang tidak dianggap oleh kubu Prabowo seperti KPK, MK, media, dan rakyat).

UU MD3 lolos, Pilkada DPRD lolos, DPR dikuasai, MPR dikuasai oleh kubu Prabowo. Maka Ical - si kapal karam di Golkar berteriak akan mengubah seluruh legislasi dan UU untuk kepentingan menjegal Jokowi. Tak sampai di situ, maka Hashim - yang tidak menghitung kekuatan orang lain kubu Jokowi - berteriak kencang bahwa kemenangan Jokowi memiliki harga yang harus dibayar (tanpa memikirkan reaksi psikologis terhadap Jokowi, pihak pendukung Jokowi).

Hashim merupakan potret sesungguhnya kubu Prabowo dan menunjukkan itikad buruk dan hanya mementingkan diri sendiri. Meskipun Fadli Zon menyebutkan itu bukan perwakilan kubu Prabowo, namun tak dapat dipungkiri, pernyataan Hashim menunjukkan sifat asli kubu Prabowo dengan para pentolan yang bermasalah yakni Ical, SBY, Idrus Marham, Setya Novanto, Ibas dan serombongan anggota DPR yang sakit hati (tanpa memikirkan serangan balik dan terciptanya imajinasi dan kesan buruk oleh rakyat terhadap kubu Prabowo dan Hashim secara pribadi seperti yang disampaikan dan diwakili oleh Ahok terhadap sikap Hashim yang membenci Jokowi).

Maka, melihat gelagat seperti ini, akan timbul gesekan-gesekan di dalam internal partai koalisi. Meskipun PPP bisa dirangkul kembali, namun perhitungan politik sebagai alat mendapatkan kekuasan tak dihitung oleh Prabowo. Hashim dan Prabowo dan Ical dan SBY dan Ibas berpikir bahwa kondisi politik saat ini yang menunjukkan kekuatan koalisi Prabowo akan permanen selama lima tahun.

Politik adalah kekuasaan. Hashim lupa bahwa di dalam koalisi Prabowo ada Golkar, ada PPP ada PAN. Posisi Setya Novanto dan Ical akan limbung ketika Ical terjungkal tahun 2015. PPP pun demikian. PAN juga sangat licin dan bisa didekati oleh kekuasaan dan political bargaining. Hashim juga lupa bahwa pernyataannya terkait dengan dendam terhadap Jokowi juga akan menimbulkan reaksi ‘penyadaran oleh Jokowi' tentang perlunya kompromi politik-kekuasan yang akan dibagi kepada Golkar dan PPP serta PAN. Ada beberapa indikasi yang akan menghancurkan koalisi Prabowo jika Hashim dan para pentolan partai yang akan karam tetap menerapkan strategi politik klasik yakni pamer kekuatan.

Pertama, sampai detik ini Jokowi-JK tetap konsisten dengan tidak mengumbar perang secara terbuka kepada DPR dan MPR dan belum menunjukkan kekuatan mereka. Padahal mereka presiden terpilih. Hal ini perlu diwaspadai. Taktik dan strategi diam ini menimbulkan kegerahan di kubu Prabowo yang menerapkan teori politik klasik: mengumbar kekuatan dengan pernyataan. Kubu Prabowo belum mengetahui apa sesungguhnya yang tengah dilakukan Jokowi terkait posisi politiknya yang dinilai lemah.

Kedua, Jokowi tetap menunjukkan sikap biasa saja terhadap berbagai ancaman Hashim secara pribadi, ancaman Ical yang akan mengubah legislasi dan undang-undang untuk keperluan menghambat Jokowi. Sikap tenang ini juga membungungkan bagi kubu Prabowo karena akan sulit memetakan langkah politik Jokowi yang sesungguhnya merupakan penguasa.

Ketiga, 70 juta rakyat menonton akrobat politik dengan posisi wait and see. Jika kondisi politik dan politik sudah diarahkan untuk anti rakyat dan anti demokrasi dan sudah kebablasan, maka yang akan terjadi adalah rakyat akan bergerak untuk meluruskan arah politik yang salah. Media sosial Twitter yang menghujat dan mengritisi SBY jangan dianggap ‘hanya media sosial'. Faktanya adalah kekalahan Prabowo juga banyak disebabkan oleh tweets yang disampaikan oleh para artis seperti Afghan, Sherina Munaf, dll. Juga gerakan Arab Springs yang meluluhlantakkan Libya, Aljazair, Mesir, Syria dan Yaman bisa terjadi di Indonesia.

Maka, Hashim dengan pernyataannya yang mewakili kubu Prabowo - dan dibantah oleh Fadli Zon - menunjukkan penerapan teori dan strategi politik klasik yang biasa digunakan di negara otoriter: pamer kemuatan untuk menakut-nakuti. Teori dan strategi ini akan menjadi boomerang yang tak terbayangkan ketika Jokowi melakukan lima langkah (1) menghidupkan pengadilan HAM dengan target Prabowo, (2) merangkul militer aktif dengan posisinya sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Lalu (3) mendorong kejaksaan agung, kepolisian, dan KPK untuk meningkatkan pemberantasan korupsi, (4) melakukan kompromi politik pada tahun 2015 dengan menawarkan kekuasaan kepada para partai anggota koalisi Prabowo, dan (5) membuat program kerja pro rakyat yang akhirnya mengadu domba antara rakyat dan DPR.

Jadi, kelima langkah ini menjadi bargaining position yang bisa dimainkan Jokowi dan akan membuat perimbangan kekuasaan antara Presiden Jokowi dan DPR setara. Pada saat itulah maka pernyataan Hashim saat ini hanya akan menjadi pemicu rontoknya koalisi Prabowo akibat strategi dan teori politik klasik: pamer kekuatan tanpa contingency plan. Maka seperti pada pilpres pada akhirnya Prabowo akan tersingkir dari peta politik nasional.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun