Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alasan Jokowi Tolak Budi Gunawan: Kisah KGPA Mangkunegara

22 Februari 2015   21:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42 1951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Publik bertanya. Alasan apa yang mendasari Presiden Jokowi mampu bertahan dari tekanan Megawati dan Suryo Paloh; juga DPR terkait pencalonan Budi Gunawan? Publik pun bertanya alasan Suryo Paloh dan Budi Gunawan untuk menerima keputusan Presiden Jokowi. Sedangkan Megawati masih tidak menerima sikap Jokowi. Jokowi, Suryo Paloh dan bahkan Budi Gunawan - yang ngotot harus menjadi Kapolri sebelumnya - memahami sejarah tentang kekuasaan di Nusantara. Mari kita simak sejarah kutukan kekuasaan di Nusantara uraian Ki Sabdopanditoratu dengan hati riang gembira bahagia senang sentosa ria.

Jokowi, seperti yang diungkapkan kepada Ki Sabdopanditoratu rupanya memahami sejarah. Sejarah Nusantara dan Indonesia mencatat tak pernah ada kandidat yang gagal menjadi raja atau presiden, berhasil ketika maju lagi. Perebutan kekuasaan di Nusantara dan Indonesia tak pernah memberi ruang bagi penguasa yang pernah kalah bisa merebut kekuasaan kembali. Begitu pula calon penguasa tertinggi yang gagal tak akan pernah bisa menang lagi. Itu kutukan kekuasaan di Indonesia. (Maka Jokowi menyadari, dirinya, Samad dan Budi Gunawan pun tak akan pernah bisa merebut kekuasaan dan jabatan lagi ketika telah kalah.)

Kita simak sejarah sejak zaman Kerajaan Kutai Hindu Kudungga. Raja asli Kalimantan ini digusur oleh penguasa baru keturunan dan pengaruh India. Dinasti baru pun lahir dengan nama-nama India.

Raja Kutai ke-14, Aji Muhammad Idris kehilangan kekuasaan selama puluhan tahun dan mengungsi di Wajo, Sulawesi Selatan. Berupaya meraih kekuasan kembali, namun akhirnya tewas diracun di pengasingan. Aji Imbut pun menjadi Sultan ke-15 dengan gelar Aji Muhammad Aliyeddin.

Raja Mataram Kuno, Dinasti Syailendra, Rakai Pikatan yang mengalahkan Dinasti Sanjaya, dengan cara mengawini Pramodhawardani. Adik Pramodhawardani, Balaputeradewa memerangi Rakai Pikatan, namun kalah. Akhirnya, Balaputradewa mengasingkan diri ke Sriwijaya dan menjadi Raja di Sriwijaya karena ibunya, Dewi Tara berasal dari Sriwijaya. Balaputradewa tak pernah bisa lagi mengalahkan dan meraih kekuasan di Mataram.

Raden Wijaya, menantu Kertanagara dari Kerajaan Kediri-Singasari, tidak membalas dendam atas kematian Kertanagara secara langsung tak akan berhasil. Namun, dia melakukan kompromi politik dengan Jayakatwang, penguasa baru Kediri. Raden Wijaya sadar hanya dengan kompromi, dia bisa membalaskan niat politik mendirikan kekuasaan. Ketika tentara Mongol akan membalas dendam kepada Kertanagara, Raden Wijaya, memanfaatkan mereka untuk menyerang Jayakatwang. Begitu menang, giliran tentara Mongol ditaklukkan.

Raja Pajajaran Prabu Surya Kencana, pada tahun 1579 tewas oleh serangan pecahan Kerajaan Pajajaran yakni Banten. Para ksatria dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyadari kehilangan kekuasan tak akan pernah kembali. Kenapa? Karena batu Palangka Sriman Sriwacana diboyong ke Banten. (Sejak saat itu mereka mengungsi ke Pengunungan Kendeng dan mereka dikenal sebagai bangsa Baduy. Itulah sebabnya, sejak saat itu masyarakat Baduy memberikan upeti kepada Kesultanan Banten. Bahkan ketika Kesultanan Banten hilang, mereka masih bersetia memberikan upeti kepada bupati, residen atau gubernur yang berkuasa atas daerah Kendeng. Perjanjiannya, mereka tetap hidup sesuai dengan tradisi tanpa campur tangan Banten yang Islam. Baduy pun mengikuti Maulana Yusuf tidak menginginkan wilayah Kendeng atau Baduy dalam dijelajahi oleh bangsa kulit putih yang dianggap kafir oleh Maulana Yusuf.)

Raja Sriwijaya terakhir, Sangrama-Vijayottunggawarman,ditawan oleh Raja Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola India. Maka dinasti kerajaan Sriwijaya wangsa Kadaram pun berakhir. Tidak ada kesempatan selain takluk dan tidak melakukan perlawanan. Sampai pada khirnya Sriwijaya benar-benar hilang ketika Raja Trailokyaraja menancapkan kekuasaan dalam bentuk kerajaan Dharmasraya pada tahun 1183.

Demak, Sunan Prawoto yang dibunuh beserta seluruh keluarganya oleh Arya Penangsang, tidak bisa melanjutkan kekuasaan. Dibunuhnya Hadiri, Adipati Jepara, menyebabkan konspirasi upaya pembunuhan terhadap Arya Penangsang oleh Sutawijaya.

Bahkan, para raja yang ditaklukkan oleh Belanda di seluruh Nusantara tak satu pun berhasil merebut kekuasaannya lagi. Hanya, Kerajaan Jogjakarta Hadiningrat yang tetap memiliki kedaulatan karena tetap sebagai negara atau kerajaan merdeka. Pecahan Mataram Islam itu, memiliki sejarah kelam ketika Pangeran Sambernyowo dikalahkan oleh konspirasi antara Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I), Pakubuwono III dan VOC. Sejak ada perjanjian dengan VOC - meskipun memiliki kedaulatan, urusan keseharian harus disetujui oleh Rijks-Bestuurder atau KepalaAdministrasi VOC.

Raden Mas Said alias KGPA Mangkunegara alias Pangeran Sambernyawa hanyalah sedikit penguasa yang secara konsisten berperang melawan Mataram dan VOC. Dengan segala upaya, Pangeran Sambernyawa selama 16 tahun berhasil memerangi Belanda. Bahkan R. M. Said berhasil menewaskan panglima perang Belanda seperti Kapten Van der Pol dalam perang di Sitakepyak Rembang. Juga menewaskan Mahapatih Mataram Joyosudirgo.

Perselisihan awal adalah adanya wakaf takhta yakni diangkatnya Pakubuwono III oleh Belanda menjadi raja di wilayah Mataram. Awalnya, Pangeran Mangkubumi dan RM Said bersama menentang Belanda dan Pakubuwono III. Namun, akhirnya Pangeran Mangkubumi takluk juga kepada Belanda. Itu terjadi dalam Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi Jogjakarta dan Surakarta pada 13 Februari 1755.

Di kawasan seluruh Nusantara lain selain di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Ternate, Tidore, Lingga, Bacan, Sumbawa dan wilayah lainnya, para raja dan sultan yang pernah bekerjasama dengan Belanda kekuasaannya akan berakhir.

Kisah Mega yang gagal dua kali menjadi presiden. Kisah Gus Dur yang dijatuhkan dan berakhir. Kisah Bung Karno yang dilengserkan dengan tipuan Supersemar oleh Trio Macan (M. Yusuf, AH Nasution, Amirmachmud) tak pernah bisa bangkit. Bahkan orang kuat eyang saya Presiden Soeharto pun setelah jatuh tak bisa kembali ke kekuasaannya.

Sejarah di atas sangat dipahami oleh Presiden Jokowi. Jadi ketika kalah, maka menjadi akhir dari kehidupan dan kekuasaan. Jokowi memahami sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Ki Sabdopanditoratu. Bahwa yang pernah kalah atau tersingkir, tak akan mampu merebut kekuasaan semula. Bahwa yang dibungkam dan kalah tak akan pernah menang. Yang kalah dan terasingkan tak akan pernah kembali berjaya. Maka dalam mengambil keputusan, bahwa yang kuatlah yang harus menentukan nasib dirinya dan orang lain: menyelamatkan diri atau kalah selamanya.

Maka, Jokowi dalam memutuskan menjadi calon presiden Republik Indonesia, ketika harus melawan Prabowo, Jokowi dengan pede alais percaya diri, Jokowi menerima. Jokowi tahu bahwa yang pernah kalah tak akan pernah bisa menang. Bagi Jokowi, kekalahan adalah akhir dari perjuangan. Dalam sejarah Indonesia tidak ada istilah kalah untuk menang sebenarnya. Kekalahan adalah kekalahan.

Jadi, Presiden Jokowi memahami sejarah bangsanya. Pelajaran berharga dari sejarah panjang kekuasaan Nusantara dipahami dengan baik lewat ajaran Bung Karno: jasmerah alias "jangan sekali-kali melupakan sejarah'. Selain itu semangat Pangeran Mangkunegara juga menjadi hal yang diyakini oleh Presiden Jokowi. Hal itu juga dipahami oleh Suryo Paloh dan bahkan Budi Gunawan.

Kompromi adalah kekalahan namun tidak setelak ketika gagal move on. Untuk itu, Budi Gunawan ketika belum diputuskan untuk ditolak oleh Presiden Jokowi, tidak bersedia untuk mundur. BG sadar, mundur adalah sikap kalah. Maka, tak heran BG berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjadi Kapolri alias penguasa kepolisian.

Bagaimana dengan Megawati? Megawati pun dua kali mencoba peruntungan menjadi presiden. Gagal mengubah sejarah. Para raja Nusantara yang ditaklukkan selalu tak mampu merebut kekuasaan mereka lagi. Para sultan dan datuk pada zaman Hindia Belanda setelah ditaklukkan oleh Belanda pun tak akan mampu merebut takhtanya kembali.

Itulah gambaran alasan Presiden Jokowi untuk tegas menolak Budi Gunawan yang disodorkan oleh Megawati, Suryo Paloh dan DPR - sama dengan prinsip Pangeran Mangkunegara yang menolak campur tangan Belanda dalam kekuasaan Mataram dengan perang selama 16 tahun yang dimenangkannya: maka berdirilah Kerajaan Mangkunegaran pada tahun 1757. Demikian uraian Ki Sabdopanditoratu yang tak pernah salah sekalipun ramalannya.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun