Perselisihan awal adalah adanya wakaf takhta yakni diangkatnya Pakubuwono III oleh Belanda menjadi raja di wilayah Mataram. Awalnya, Pangeran Mangkubumi dan RM Said bersama menentang Belanda dan Pakubuwono III. Namun, akhirnya Pangeran Mangkubumi takluk juga kepada Belanda. Itu terjadi dalam Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi Jogjakarta dan Surakarta pada 13 Februari 1755.
Di kawasan seluruh Nusantara lain selain di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Ternate, Tidore, Lingga, Bacan, Sumbawa dan wilayah lainnya, para raja dan sultan yang pernah bekerjasama dengan Belanda kekuasaannya akan berakhir.
Kisah Mega yang gagal dua kali menjadi presiden. Kisah Gus Dur yang dijatuhkan dan berakhir. Kisah Bung Karno yang dilengserkan dengan tipuan Supersemar oleh Trio Macan (M. Yusuf, AH Nasution, Amirmachmud) tak pernah bisa bangkit. Bahkan orang kuat eyang saya Presiden Soeharto pun setelah jatuh tak bisa kembali ke kekuasaannya.
Sejarah di atas sangat dipahami oleh Presiden Jokowi. Jadi ketika kalah, maka menjadi akhir dari kehidupan dan kekuasaan. Jokowi memahami sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Ki Sabdopanditoratu. Bahwa yang pernah kalah atau tersingkir, tak akan mampu merebut kekuasaan semula. Bahwa yang dibungkam dan kalah tak akan pernah menang. Yang kalah dan terasingkan tak akan pernah kembali berjaya. Maka dalam mengambil keputusan, bahwa yang kuatlah yang harus menentukan nasib dirinya dan orang lain: menyelamatkan diri atau kalah selamanya.
Maka, Jokowi dalam memutuskan menjadi calon presiden Republik Indonesia, ketika harus melawan Prabowo, Jokowi dengan pede alais percaya diri, Jokowi menerima. Jokowi tahu bahwa yang pernah kalah tak akan pernah bisa menang. Bagi Jokowi, kekalahan adalah akhir dari perjuangan. Dalam sejarah Indonesia tidak ada istilah kalah untuk menang sebenarnya. Kekalahan adalah kekalahan.
Jadi, Presiden Jokowi memahami sejarah bangsanya. Pelajaran berharga dari sejarah panjang kekuasaan Nusantara dipahami dengan baik lewat ajaran Bung Karno: jasmerah alias "jangan sekali-kali melupakan sejarah'. Selain itu semangat Pangeran Mangkunegara juga menjadi hal yang diyakini oleh Presiden Jokowi. Hal itu juga dipahami oleh Suryo Paloh dan bahkan Budi Gunawan.
Kompromi adalah kekalahan namun tidak setelak ketika gagal move on. Untuk itu, Budi Gunawan ketika belum diputuskan untuk ditolak oleh Presiden Jokowi, tidak bersedia untuk mundur. BG sadar, mundur adalah sikap kalah. Maka, tak heran BG berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjadi Kapolri alias penguasa kepolisian.
Bagaimana dengan Megawati? Megawati pun dua kali mencoba peruntungan menjadi presiden. Gagal mengubah sejarah. Para raja Nusantara yang ditaklukkan selalu tak mampu merebut kekuasaan mereka lagi. Para sultan dan datuk pada zaman Hindia Belanda setelah ditaklukkan oleh Belanda pun tak akan mampu merebut takhtanya kembali.
Itulah gambaran alasan Presiden Jokowi untuk tegas menolak Budi Gunawan yang disodorkan oleh Megawati, Suryo Paloh dan DPR - sama dengan prinsip Pangeran Mangkunegara yang menolak campur tangan Belanda dalam kekuasaan Mataram dengan perang selama 16 tahun yang dimenangkannya: maka berdirilah Kerajaan Mangkunegaran pada tahun 1757. Demikian uraian Ki Sabdopanditoratu yang tak pernah salah sekalipun ramalannya.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H