Mohon tunggu...
Nino Purna
Nino Purna Mohon Tunggu... Penulis - 08970840619

Time is running out

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siang dan Malam yang Terlewatkan

1 Juni 2022   13:06 Diperbarui: 1 Juni 2022   13:14 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin sudah tidak dingin lagi, mungkin aku sudah terbiasa akan hal ini. Dan benar saja, cangkulanku tidak akan berhenti. Tak kurasa air mataku menetes, lalu kusadari betapa cengengnya aku. Entah, mungkin ini bukan air mata melainkan keringat yang menjelma, atau mungkin juga apabila air mata ini sudah menetes sedari tadi namun berhasil disembunyikan oleh keringat yang sangat deras.

Jauh di sana kudengar suara lolongan anjing yang saling bersahutan. Malam tetap saja malam, bulan akan bersinar, dan alam memang sewajarnya tidak pernah benar-benar gelap. Cangkulanku semakin membabi-buta namun anakku dalam benak semakin meredup. 

Aku seharusnya tidak peduli, karena pada dasarnya waktu sudah sangat tipis. Semakin menggebu-gebunya tanganku mengetahui hal itu dan karena ayunan yang tidak beraturan tangan kananku terkilir. Aku berteriak sangat kencang, lebih kencang dari teriakanku yang mana pun. Kudengar jelas teriakannku sendiri sembari kurasakan, lalu teriakan itu tiba-tiba tidak bersuara, padahal kurasakan jelas aku masih berteriak. Kurasa suaraku sudah memecahkan gendang telingaku sendiri.

Siku kananku terasa sangat sakit, namun cangkulan tidak boleh berhenti. Kucangkul tanah itu dengan satu tangan—tangan kiriku—yang masih bisa dipaksakan untuk mencangkul. Beberapa saat setelah itu, ketika kulihat seluruh pandanganku hanyalah tanah, kanan; kiri; bawah; depan; belakang, kecuali di atas sana, langit tetap memberikan bintang-bintangnya dan bulannya untuk siapa pun. Ketika saat itu juga seluruh badanku gemetar lalu kaku.

Mungkin hanya tangan kiriku yang tersisa, maka kulempar cangkul itu dan berbaliklah tubuhku. Kulihat ke atas sembari aku menangis, “indah sekali.” Lalu aku merasakan kenyamanan dan ada sedikit hentakan pada punggungku. Mataku redup dan bulan dan bintang-bintang, semuanya redup tak terkecuali wajah anakku juga, yang perlahan-lahan menghilang dia dari benak.

Surabaya, 6 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun