Sesaat dia merasa aman sampai akhirnya terdengar seseorang yang meneriakan namanya. Tak ada yang bisa dilakukan Kasmin selain berdoa; tapi naas, selokan tersebut dibuka dan Kasmin ditarik paksa dari selokan itu. Setelah itu Kasmin diseret untuk di bawa ke rumahnya, di perjalanan dia kembali melihat pengemis tua yang tadi sembari memegang beberapa uang di tangannya. Sungguh sangat teriris hati si Kasmin.
Selama di perjalanan, tak henti-hentinya Kasmin dipukuli oleh segenap warga yang mengejarnya itu. Namun yang terjadi kembali di luar benak, hanya cukup beberapa waktu untuk mereka sampai pada depan gubuk tua yang akrab disebut sebagai rumah Kasmin.
Lalu seketika rumah itu dibakar di depan matanya—menyala-nyala kobaran api yang sangat besar. Tak dilihatnya istri dalam perjalanan panjang itu, hanya ada beberapa wajah anaknya dalam angan. Tapi entah mengapa air matanya menetes kali itu; membasuh setiap luka pada wajahnya, dadanya, perutnya, kedua lengannya, sebelah kakinya, punggungnya, dan beberapa luka yang selama ini dia tahan dalam hati.
Lalu di saat yang bersamaan terdengar suara bising ditelinganya, bising sekali, seperti telinganya tak mampu menahan suara itu.
***
Terbangunlah aku dari mimpi yang mengerikan itu. Banyak burung gagak yang terbang di atas kepalaku, entah dari mana burung itu berasal—yang sebelumnya tidak pernah ada. Badanku berkeringat dan mulutku yang tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan.
Tapi kengerian itu tidak cukup sampai di sini saja, kulihat matahari yang tinggal setitik lagi akan tenggelam, maka berlarilah aku bersama dengan cangkul. Kutinggalkan gergaji pada rumah yang baru saja kubuat sembari mengucapkan terima kasih padanya. Aku berharap, akan ada seekor anjing yang memasuki rumahku dan menemukan babi guling, lalu dia memakannya setelah mengabari teman-temannya.
Aku tidak sempat menghitung waktu, karena selain tanda-tanda alam sudah jelas, aku sudah tidak memiliki waktu. Aku berlari menyusuri pepohonan yang tinggi dengan hari yang semakin gelap. Aku terus berlari walaupun sudah sangat banyak keringat yang menetes melalui seluruh kulitku. Lalu aku menemui sebuah batu yang besar, kuingat jelas bahwa beberapa meter lagi sudah akan kutemui lembah. Maka aku tetap mempercepat langkahku.
Sesampainya pada lembah itu, seluruh tubuhku bergetar, dan angin yang sangat dingin seolah memecah seluruh tulangku melalui kulit-kulitku yang basah. Tapi kuusahakan untuk berdiri tegak setelah beberapa kali kupukul-pukul dadaku. Hari sudah benar-benar gelap. Kulihat ke atas, kudapati bulan yang bersinar indah, “aku akan ke sana.”
Tanpa beristirahat sedikit pun, kumulai mencangkul tanah yang sedikit lembab ini. Pada cangkulan pertama, kurasa perjalanan ini akan terasa lama. Namun cangkulanku tidak akan berhenti apabila belum saatnya. Maka tanah itu menjadi korban dari keberingasan cangkulanku.
Seiring berjalannya waktu, cangkul yang kuayunkan terasa lebih ringan. Lalu kuingat kembali, senyuman anakku. Sesekali juga kuingat mimpi ngeri yang baru saja kualami. Serta tak lupa: istriku yang gemar bermain laki-laki, tetanggaku yang gemar menyembelih ayam ternakku, anak-anak kecil yang seringkali melempari rumahku dengan batu—entah siapa yang mengajarinya.