Dirilis 8 Januari lalu, World Bank lewat laporan Global Economic Prospects dengan judul "Darkening Skies" menyampaikan penguatan prediksi akan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global pada angka 2,9 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di lingkaran negara berkembang dan emerging market diperkirakan akan terhenti di level 4,2 persen dengan keterangan tambahan berisi pertanda awal bahwa ekonomi di negara-negara berkembang akan kehilangan momentumnya.
Ada dua variabel utama penyokong prediksi fenomena mendatang, salah satunya ialah meningkatnya tensi perdagangan. Tentu sepanjang 2018 silam kita mendapati dua aktor utama sebagai headline berita perang dagang, yaitu AS dan Tiongkok. Saking krusialnya peran perang dagang, laporan sebanyak 200 lembar itu menyatakan bahwa perang tersebut punya dampak vital yang akan mengakibatkan perlambatan ekspansi ekonomi AS tahun 2021 hanya sebesar 1,6 persen, sementara di tahun lalu AS mampu menorehkan performa di angka 2,9 persen.
Efek buruk juga akan terjadi pada Negeri Tirai Bambu, setelah hampir tiga dekade pertumbuhan ekonomi fantastis, ekonomi Tiongkok di tahun 2019 akan bertengger di kisaran 6 sampai 6,2 persen (terendah sejak 1990) sebagai hasil melemahnya kemampuan ekspor sebagai dampak meningkatnya tarif impor AS-Tiongkok dan pertumbuhan kredit yang melemah membebani investasi.Â
Angka itu berbeda dibanding tahun sebelumnya di level 6,5 persen meski masih disokong utamanya oleh kekuatan permintaan domestik yang tangguh.
Tiga Perusahaan Raksasa, Sinyal dari Fenomena Kecenderungan "Ini Salah Tiongkok!"
48 jam setelah pergantian tahun, Apple melalui situs remisnya menyampaikan surat untuk investor mengumumkan penurunan prediksi pendapatan ke angka US$84 milyar, setelah sebelumnya proyeksi berbeda memprediksi peningkatan pendapatan dari US$89 milyar menuju US$93 milyar. Laba kotor pun turun dari sekitar 38 persen dari antara 38 hingga 38,5 persen.
Sebagai dasarnya, Apple memberikan empat alasan yang jadi faktor terkait penurunan tersebut, di antaranya ialah melemahnya penjualan beberapa produk baru Apple, adanya headwinds disebabkan penguatan dolar terhadap mata uang asing lainnya, dan deselerasi ekonomi di beberapa pasar emerging market khususnya Tiongkok, yang punya peranan penting untuk perekonomian global.
"China's economy began to slow in the second half of 2018." Pendasaran yang sama ternyata turut juga disampaikan oleh perusahaan perlengkapan konstruksi Caterpillar (CAT) dan chipmaker Nvidia (NVDA). Pasalnya, kedua saham perusahaan tersebut mengalami nasib yang sama pasca mengubah prediksi pendapatan mereka untuk tahun mendatang. Pada hari Senin, 28 Januari kemarin, saham Caterpillar terjun 9,1 persen, sementara Nvidia turun 13,8 persen.
Aktivitas perdagangan menjadi kunci untuk memahami kaitan kondisi makroekonomi Tiongkok yang menyebabkan penurunan perkiraan pendapatan perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagaimana Apple memiliki ketergantungan penjualannya sebesar 15 persen di Tiongkok, Caterpillar sebanyak 21 persen di regional Asia/Pasifik, dan Nvidia yang punya adiksi pada Tiongkok di angka 39 persen.
Berkaca lewat data di atas, hal tersebut menunjukkan suatu kondisi di mana penurunan ekonomi Tiongkok akibat perang dagangnya dengan AS yang membebani 11,4 persen barang ekspor dan 6,5 persen barang impor itu punya dampak luas terhadap perekonomian global ke depannya. Untuk tidak memperparah keadaan, Xi Jinping pun telah bertekad untuk mengendorkan kebijakan moneter dan fiskal.
Strategi seperti pelunakan syarat cadangan modal, pengurangan pajak dan tagihan, peningkatkan pajak ekspor dan penggalakan utang pemerintah untuk sokongan infrastruktur digunakan sebagai jalan untuk keluar dari dampak terburuk perang. Meski demikian, jalan ke depan tidaklah sepenuhnya suram hanya apabila akhirnya kedua pihak mau berunding untuk memilih jalan damai ketimbang berperang, meski hal itu pun mustahil dalam waktu dekat.
Jika Demikian, Lalu Bagaimana Indonesia ke Depannya?
Sebagaimana perekonomian AS dan Tiongkok diprediksi akan melambat, hal yang kemudian harus kita cermati adalah hubungan perdagangan Indonesia dengan kedua negara tersebut. Data ekspor Indonesia menunjukkan bahwa kedua negara tersebut memiliki peran teratas dalam kegiatan perdagangan Indonesia.
Berdasarkan data neraca perdagangan Indonesia tahun 2017, AS menjadi negara kedua tujuan ekspor Indonesia dengan pendapatan 17 milyar Dollar AS di peringkat kedua menguasai 10,6 persen, sementara Tiongkok menguasai 23 milyar Dollar AS atau 13,7 persen total ekspor Indonesia. Berarti, baik AS dan Tiongkok menjadi pasar bagi Indonesia dengan persentase hampir 25 persen. Â Namun, data ini juga diikuti dengan defisit perdagangan dari Tiongkok sebesar 12,7 milyar Dollar AS, dan surplus dari AS sebesar 9,7 milyar Dollar AS.
Artinya, dengan persentase hampir 25 persen, penurunan ekonomi kedua negara aktor perang dagang memiliki potensi pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Buktinya, ketika terjadi fenomena penguatan Dollar AS sepanjang 2018, valuasi mata uang Rupiah anjlok diikuti dengan defisit necara perdagangan, bahkan bank sentral Indonesia berulang kali menanggulanginya dengan meningkatkan suku bunga untuk keluar dari keadaan terparah.
Meski demikian, prediksi World Bank tetap memproyeksikan pertumbuhan GDP riil Indonesia sebesar 5,2 persen di tahun 2019 dan meningkat menjadi 5,3 persen pada 2020 dan 2021 dengan asumsi tanpa indikasi perbedaan pasar yang signifikan. Namun, berkaca dari tahun sebelumnya, prediksi bisa saja meleset menuju hasil positif atau negatif secara tak terduga seperti kita lalui.
Josua Pardede, VP Economist Permata Bank mengungkapkan bahwa kegiatan ekspor Indonesia laju ekspor Indonesia diperkirakan berubah menjadi 15 sampai 20 persen dari proyeksi 20 hingga 25 persen sebelumnya secara year-over-year. Â Tak hanya ekspor, impor pun bisa terpengaruh sebanyak 22 persen. Belum lagi tahun lalu BI menaikkan suku bunga sebesar 175 basis poin yang berpengaruh pada pengaruh konsumsi impor Indonesia.
Laporan dari OCBC Bank juga menuturkan jikalau AS akhirnya juga menerapkan tarif impor langsung terhadap Indonesia, dampaknya pun tidak sebesar dibanding dengan adanya perlambatan ekonomi Tiongkok, mengingat jumlah persentase tujuan ekspor baja Indonesia. Pengaruh ekonomi dua negara tersebut terhadap Indonesia tidak sebesar negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapur dan Malaysia.
Sebagai alternatif, Indonesia bisa mengambil langkah untuk memperluas diplomasi dagang melalui diversifikasi perdagangan. Penanganan ini perlu untuk melepas ketergantungan yang tinggi terhadap dua negara yang berperang. Contohnya, ketika AS menerapkan tarif impor untuk produk kacang kedelai ke Tiongkok, mereka mengalihkan pemenuhan pasokannya dari negara lainnya seperti Brazil yang kemudian meningkatkan ekspor kacang kedelai Brazil.
Selain itu, perlu adanya penguatan jaringan antar negara ASEAN untuk menghadapi potensi bahaya penerapan tarif sebagaimana menggertak kembali AS dalam tarif terbukti berat untuk sekelas negara raksasa ekonomi seperti Tiongkok. Apabila negara ASEAN berdiri sendiri dalam menghadapinya, tentu akan sama saja bersiap untuk babak belur dalam persaingan dagang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H