Pandangan-pandangan seperti inilah yang dapat kita sebut sebagai misoginistis. Pandangan yang mengantagoniskan wanita sebagai hasil dari kentalnya budaya patriarki dalam substansi sosial. Berbagai cemoohan seperti pakaian yang tak pantas hingga sang korban yang 'tak kental imannya' menjadi buah bibir yang pedas untuk disalahkan pada wanita. Ternyata, paradigma misoginistis ini juga kental lestari dalam institusi kepolisian yang secara bebal kerap menanyakan kepada korban pemerkosaan mengenai 'kenikmatan' yang secara tabu dilontarkan pada konteks kejadian terjadi.
Sebuah pameran di Brussels, Belgia menampilkan 18 sampel baju yang dikenakan oleh korban pemerkosaan. Dan tiada darinya yang terlihat vulgar, ataupun sensual. Bukti ini menunjukkan bahwa pandangan misoginistis yang kerap menyalahkan wanita sebagai akibat dari kebejatan nafsu laki-laki membiaskan laki-laki sebagai manusia yang tak memiliki kuasa atau kontrol terhadap dirinya untuk menciptakan karsa atau tindakan secara sadar. Dalam hal ini, posisi laki-laki terbalik dari 'selalu salah' menjadi mahabenar sementara wanita serba salah.
Demikian pun pada wanita dengan ajaran rejili tertentu dengan nilai dogmatisme yang mengenakan pakaian hingga menutupi seluruh anggota badan dengan tujuan menghindari hal-hal kebejatan moral lawan jenis dan juga berkembangnya penggunaan kata 'pelakor' dalam keadaan perselingkuhan yang secara sadar dilakukan oleh baik laki-laki dan perempuan. Budaya-budaya patriarkal yang mengagungkan nilai-nilai kebenaran laki-laki semacam demikian secara tak langsung kembali mengantagoniskan wanita dan menganggap kebejatan moral pria sebagai suatu keadaan yang lumrah. Dan kembali lagi, wanita yang harus menanggungnya.
Soekarno pun dalam bukunya yang berjudul Sarinahmenggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan soal urusan 'kepemilikan' perempuan ini. Pada halaman 109, Soekarno menggambarkan bahwa laki-laki seakan-akan memiliki perempuan. Dan relasi antaranya yang terjadi mengakibatkannya mengalami perubahan dari sifat yang mewakili sebuah subyek menjadikannya sebuah obyek dalam hal kepemilikannya oleh laki-laki.Â
Bung Karno mengatakan perempuan malah dijadikan benda. Perempuan harus disimpan, disembunyikan, tak boleh dilihat orang, apalagi disentuh. Oleh karena itu, ia mengutip kata-kata Edward Carpenter yang mengatakan, "Nafsu kepada milik itu membuat laki-laki menutu dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai itu."
Cinta yang memperbudak pun ia gambarkan tak seperti pada zaman ketika wanita bisa ditukar dengan ternak atau uang. Namun jelas, Bung Karno menggambarkan dengan gamblang bahwa pandangan "kepemilikan" tersebut masih ada dan semakin kentara. Ia mengatakan bahwa ketika perempuan dijadikan benda, ditakut-takuti atas nama agama, laki-laki bebas berkeliaran. Bebas menikahi istri lebih dari satu.
Tapi semua istrinya itu ia kurung dengan berkata bahwa itu kodrat perempuan. Memang jika kita lihat sekarang banyak yang laki-lakinya bebas berpakaian sesuai kehendak, wanitanya dikerungkung dalam kain panjang. Seakan-akan berlomba ingin memenuhi nilai reliji, namun melupakan bahwa sejatinya laki-laki pun harus adil dalam memberlakukan wanita dan melupakan dalam kisah nabi, bahwa wanita pun sesungguhnya mampu kalut dalam nafsu melihat pria sama sepertinya halnya pria kebalikannya.
Dengan pola perilaku demikian, sudah selayaknya kita berlaku adil sejak dalam pikiran. Kesetaraan gender tak sepantasnya dimaknai dalam agenda-agenda pada substansi formal hingga menduakan substansi sosial yang sepatutnya juga harus dipenuhi untuk memanusiakan sesama manusia lainnya. Budaya patriarki yang menghasilkan pola perilaku dan pikiran yang misoginistis layaknya sebuah rantai yang turun temurun tiada habisnya, dan sudah menjadi peran dan kewajiban kaum laki-laki sendiri untuk memotong rantai penderitaan tersebut.
Daftar Pustaka:
- Soekarno. 1947. Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan. The Soekarno Foundation.
- Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Garudhawaca.
- Susanto, Nanang Hasan. 2015. Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki. STAIN Pekalongan.
- Sakina, Ade Irma dan Dessy Hasanah Siti A. 2013. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Universitas Padjajaran.
- Patresia, Kirnandhita. 2017. Mitos Semua Korban Tidak Pernah Orgasme (diakses melalui, pada 3 Maret 2018). Tirto.id.
- Juniman, Puput Tripeni. 2018. Women's March di Jakarta Suarakan 8 Tuntutan (diakses melalui, pada 3 Maret 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H