Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Women's March", Ketimpangan Gender, dan Kita yang Masih Misoginis

4 Maret 2018   19:28 Diperbarui: 4 Maret 2018   19:38 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kredit gambar: rappler.com

Pandangan-pandangan seperti inilah yang dapat kita sebut sebagai misoginistis. Pandangan yang mengantagoniskan wanita sebagai hasil dari kentalnya budaya patriarki dalam substansi sosial. Berbagai cemoohan seperti pakaian yang tak pantas hingga sang korban yang 'tak kental imannya' menjadi buah bibir yang pedas untuk disalahkan pada wanita. Ternyata, paradigma misoginistis ini juga kental lestari dalam institusi kepolisian yang secara bebal kerap menanyakan kepada korban pemerkosaan mengenai 'kenikmatan' yang secara tabu dilontarkan pada konteks kejadian terjadi.

Sebuah pameran di Brussels, Belgia menampilkan 18 sampel baju yang dikenakan oleh korban pemerkosaan. Dan tiada darinya yang terlihat vulgar, ataupun sensual. Bukti ini menunjukkan bahwa pandangan misoginistis yang kerap menyalahkan wanita sebagai akibat dari kebejatan nafsu laki-laki membiaskan laki-laki sebagai manusia yang tak memiliki kuasa atau kontrol terhadap dirinya untuk menciptakan karsa atau tindakan secara sadar. Dalam hal ini, posisi laki-laki terbalik dari 'selalu salah' menjadi mahabenar sementara wanita serba salah.

Demikian pun pada wanita dengan ajaran rejili tertentu dengan nilai dogmatisme yang mengenakan pakaian hingga menutupi seluruh anggota badan dengan tujuan menghindari hal-hal kebejatan moral lawan jenis dan juga berkembangnya penggunaan kata 'pelakor' dalam keadaan perselingkuhan yang secara sadar dilakukan oleh baik laki-laki dan perempuan. Budaya-budaya patriarkal yang mengagungkan nilai-nilai kebenaran laki-laki semacam demikian secara tak langsung kembali mengantagoniskan wanita dan menganggap kebejatan moral pria sebagai suatu keadaan yang lumrah. Dan kembali lagi, wanita yang harus menanggungnya.

Soekarno pun dalam bukunya yang berjudul Sarinahmenggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan soal urusan 'kepemilikan' perempuan ini. Pada halaman 109, Soekarno menggambarkan bahwa laki-laki seakan-akan memiliki perempuan. Dan relasi antaranya yang terjadi mengakibatkannya mengalami perubahan dari sifat yang mewakili sebuah subyek menjadikannya sebuah obyek dalam hal kepemilikannya oleh laki-laki. 

Bung Karno mengatakan perempuan malah dijadikan benda. Perempuan harus disimpan, disembunyikan, tak boleh dilihat orang, apalagi disentuh. Oleh karena itu, ia mengutip kata-kata Edward Carpenter yang mengatakan, "Nafsu kepada milik itu membuat laki-laki menutu dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai itu."

Cinta yang memperbudak pun ia gambarkan tak seperti pada zaman ketika wanita bisa ditukar dengan ternak atau uang. Namun jelas, Bung Karno menggambarkan dengan gamblang bahwa pandangan "kepemilikan" tersebut masih ada dan semakin kentara. Ia mengatakan bahwa ketika perempuan dijadikan benda, ditakut-takuti atas nama agama, laki-laki bebas berkeliaran. Bebas menikahi istri lebih dari satu.

Tapi semua istrinya itu ia kurung dengan berkata bahwa itu kodrat perempuan. Memang jika kita lihat sekarang banyak yang laki-lakinya bebas berpakaian sesuai kehendak, wanitanya dikerungkung dalam kain panjang. Seakan-akan berlomba ingin memenuhi nilai reliji, namun melupakan bahwa sejatinya laki-laki pun harus adil dalam memberlakukan wanita dan melupakan dalam kisah nabi, bahwa wanita pun sesungguhnya mampu kalut dalam nafsu melihat pria sama sepertinya halnya pria kebalikannya.

Dengan pola perilaku demikian, sudah selayaknya kita berlaku adil sejak dalam pikiran. Kesetaraan gender tak sepantasnya dimaknai dalam agenda-agenda pada substansi formal hingga menduakan substansi sosial yang sepatutnya juga harus dipenuhi untuk memanusiakan sesama manusia lainnya. Budaya patriarki yang menghasilkan pola perilaku dan pikiran yang misoginistis layaknya sebuah rantai yang turun temurun tiada habisnya, dan sudah menjadi peran dan kewajiban kaum laki-laki sendiri untuk memotong rantai penderitaan tersebut.

Daftar Pustaka:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun