Sudah sebaiknya, manusia biasa hingga bahkan seorang pakar dengan gelarnya dari sarjana hingga profesor dapat berlaku adil sejak dalam pikiran. Apabila bahkan seorang pakar pun masih hanya bertumpu narasi moral dalam memandang pidana LGBT ini secara dogma reliji tentunya dengan agenda tertentu, maka sebuah persangkalan "adil sejak dalam pikiran" pun sudah terbukti sebagai manusia utuh. Lucunya, narasi dogma ini terus dijadikan andalan dan terus membuktikan penyangkalan terhadap dirinya sendiri.
Contohnya saja seorang bintang porno mampu menjadi pujangga dalam propaganda anti-vaksin, dan bekam yang secara klaim tanpa data ilmiah dikatakan mampu menjadi alternatif dari vaksin oleh propagandis kaum anti-vaksin. Merespon hal tersebut, Steven Novella, seorang neurologis dari Yale University School of Medicine mengatakan bahwa khasiat bekam selama ini hanya berasal dari data takhayul.
Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana akibat dan bahayanya apabila kita selalu terkungkung dalam narasi dogmatik reliji dan mitos belaka yang mengabaikan persoalan ilmiah dalam memandang suatu fenomena.Â
Di sini adalah dogma yang berperan, dan bukan maksud untuk mengkambing-hitamkan betapa buruknya menjadi benalu di pikiran, namun adalah kebijaksanaan kita menyeimbangkan dogma dengan akal yang dimiliki. Sehingga adalah tugas kita untuk tetap memanusiakanbahkan seorang homoseksualmanusia secara tepat melalui beragam pertimbangan yang bijak dan akurat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H