Ia Yanzhi, salah satu "pasien" yang melalui metode penyembuhan tersebut. Ia bercerita mengenai pengalaman pahitnya dengan jalan terapi. Ia mengatakan bahwa secara garis besar, ia merasa ditekan untuk mengatakan sesuai permintaan sang dokter agar ia selamat.Â
Baginya, metode tersebut lebih kepada penyiksaaan (torture) ketimbang sebuah terapi. Hal ini tak luput ia sebutkan dalam terapi kerap menggunakan listrik kejut (electric shock).
 Di tahun 1997, China mencabut pidana atas homoseksualitas sebagai penyakit dan empat tahun setelahnya, homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai kelainan. Namun seperti negara lainnya, China tetap mengupayakan penyembuhan dan hal ini tetap menimbulkan kekhawatiran dan anggapan umum terhadap LGBT khususnya di keluarga patrilineal yang kental akan budaya dan nilai agama.Â
Ketika mereka dihadapkan dengan keadaan beranak tunggal dan anak mereka ternyata adalah seorang homoseks, mereka langsung mengupayakan segalanya agar anaknya sembuh sehingga tali keluarga mereka tidak terputus.
Yang Xin, Direktur dari LGBT Centre di China mengatakan bahwa beberapa dari mereka yang menghadiri upaya penyembuhan dari orientasi seksualnya berujung pada bunuh diri. Ia menambahkan bahwa terapi tersebut lebih pantas untuk disebut sebagai langkah penyiksaan.Â
Tak luput ia pun mempertanyakan mengapa rumah sakit di China tidak berhenti untuk menyediakan fasilitas tersebut. Mengenai hal tersebut, ia mengatakan bahwa terapi tersebut menjanjikan banyak uang, dan mereka tak akan melewatkan kesempatan seperti itu.
Lain lagi di belahan bumi Arab. Hal ini jelas sangat tabu untuk dibicarakan mengingat belahan dunia Timur Tengah lebih memiliki nilai dogma yang jauh kental ketimbang negara Barat. Jangakan memiliki suatu diskursi untuk mendekonstruksi LGBT sebagai penyakit, LGBT adalah sebuah pidana di beberapa negara Arab dan mencapai penjara 10 tahun di Bahrain.
Suatu kasus di Arab Saudi, sebuah sekolah bernama Talaee Al-Noor di Riyadh dikenai penalti sebesar 100 ribu riyals atau setara dengan 350 juta rupiah karena mewarnai atapnya dengan warna pelangi yang selama ini sering digunakan sebagai simbol aktivis LGBT.Â
Lain di Afghanistan, sempat terjadi kerusuhan akibat stiker mobil pelangi di mana pemasok dari China sangat tergiur untuk memproduksinya.
Meskipun demikian, terdapat satu sisi kontradiksi antara budaya dan hukum yang berkembang. Contohnya di Mesir, tak jarang seorang turis menemukan laki-laki bergandengan tangan dengan laki-laki lainnya, meskipun mereka berseragam tentara. Mereka juga berpelukan dan bercium pipi sebagai salah satu dari bentuk budaya mereka.Â
Dan menurut dari mantan Ketua Komite Fatwa di Mesir, hal tersebut dipandang sebagai hal wajar selama hal tersebut tidak merujuk kepada godaan yang berbau seksual dan semacamnya. Meskipun mereka tetap memberlakukan hukum pidana LGBT sebagai tindak kebejatan.