Siapa yang tak mengenal Erdogan? Namanya kian nyaring terdengar ketika dirinya seakan-akan menjadi 'manusia kebal' dalam Coup d'Etate(kudeta) Turki pada 2016 lalu. Hal ini pula yang menjadikannya ia menjadi tokoh yang semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia secara partikular. Tak sedikit yang mengagung-agungkannya sebagai sosok pemimpin yang ideal dibanding dengan Presiden kita saat ini.
Sebagai catatan, pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) itu fasih dalam Al Quran. Nampaknya hal ini yang menjadikannya sebagai sosok idola di negeri kita, mengingat pula terjadinya politisisasi religi pada ajang pemilihan gubernur wilayah daerah pusat yang menajamkan opini bahwa pemimpin harus sesuai dengan religi masyarakat mayoritasnya.
Patut kita refleksikan, apabila Jokowi dengan menerbitkan Perppu ormas saja dapat disebut sebagai pemerintah otoriter serta anti-demokrasi, lantas dapat kita sebut apa Erdogan dengan pemerintahannya yang banyak dibanggakan oleh masyarakat kita?
Hal ini dapat kita lakukan dengan kembali mengasah ingatan kita dengan tindakan Erdogan pasca kudeta yang gagal pada 2016 silam. Pasca peristiwa tersebut, Erdogan dengan mudah menudingkan jarinya kepada Fathullah Gulen yang merupakan seorang tokoh sufi Turki dan pegiat pengembangan pendidikan sebagai dalang utama di balik kudeta tersebut.
Kemudian tindakannya dibuntuti dengan terbitnya dekret yang tak membutuhkan persetujuan parlemen mengenai surat perintahnya. Dekret yang ujung-ujungnya berhilir pada penguatan partai oposisi pemerintahan Turki. Tindak lanjut daripada itu, ia memaksa untuk melakukan penutupan terhadap 1.043 sekolah swasta, 1.229 Â yayasan amal, 15 universitas, 35 lembaga medis, serta salah satu kantor media berita terkemuka di Turki, Zaman, juga ia bredel secara paksa dengan tudingan yang mudah dan enteng didengar. "Terkait dengan Gulen," yang bermukim di Amerika Serikat (AS) saat ini.
Tak luput dari itu, ratusan ribu orang pun dicopot dari jabatannya, dipecat, digencet sampai di penjara seumur hidup. Bukan hanya itu, bahkan Erdogan juga memaksa pemerintah Indonesia menutup sekolah yang diinisiasi jaringan Gulen yang memang tersebar di banyak kota di Indonesia.
Kemudian apabila Jokowi dengan penerbitan Perppu ormasnya untuk menyelamatkan bangsa dan negara terhadap ancaman kelompok radikal yang bertentangan dengan falsafah dasar negara sementara Erdogan melakukan jurus purge(pembersihan) untuk memertahankan serta memerluas kedudukannya.
Dan juga mengingat mereka yang dipecat Erdogan tidak dapat menggugat ke pengadilan sementara pemerintahan Jokowi membuka peluang sebesar-besarnya ormas yang digugat untuk melakukan pembelaan dan menggugat pemerintah di pengadilan, lalu manakah yang lebih pantas untuk dibanggakan dan dicap sebagai seorang otoriter?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H