Sejak diumumkannya Perppu No. 2 Tahun 2017 oleh Wiranto, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) akan penerbitan yang kemudian disebut Perppu Ormas ini melalui konferensi pers di Ruang Parikesit Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat pada 12 Juli silam, berbagai opini pun menguap ke permukaan media sosial, hingga media cetak bertaraf nasional dan internasional. Adapun tindakan ini dinilai sebagai langkah pemerintah untuk membubarkan salah satu organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Pro dan kontra pun tak terelakkan.
Sebut saja, organisasi itu bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi yang sebelumnya telah diumumkan oleh pemerintah untuk dibubarkan pada tanggal 8 Mei lalu, kini keadaannya makin dipertegas untuk harus dibubarkan oleh pemerintah melalui penerbitan Perppu meski tidak secara eksplisit. Sebelum penerbitan Perppu tersebut, pemerintah juga nampaknya terlihat kesulitan untuk membubarkan organisasi yang bertentangan ini.
Dalam UU untuk pembubaran Ormas, pemerintah yang harus ke pengadilan terlebih dahulu, baru setelah putusan hakim Ormas tersebut bisa dibubarkan. Kemudian ini hanya menjadi mana yang mengajukannya terlebih dahulu. Bubar dulu baru ke pengadilan atau sebaliknya, ke pengadilan dulu baru bubar. Jadi intinya ruang untuk proses hukum masih terbuka luas.
Jokowi, Perppu, dan Opini Publik
Kemudian kebijakan pemerintah ini berhasil 'menggoreng' opini publik mengenai keputusannya. Jokowi, sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan, menjadi perbincangan publik akan sikapnya yang dinilai otoriter. Kemudian banyak yang mengaitkan pemerintahan masa sekarang identik dengan rezim orde baru (orba). Di sisi lain, Jokowi juga dipuji oleh beberapa kalangan terkait langkahnya atas tinta hitam di atas putihnya yang meratifikasi Perppu Ormas tersebut.
Dilansir dari Kompas.com, Jokowi selaku individu yang bertanggungjawab penuh terhadap penerbitan Perpppu tersebut  mengatakan, "Kami tidak ingin ada yang merongrong NKRI." Presiden RI itu pun menambahkan, "Yang tidak setuju dengan Perppu silakan tempuh jalur hukum," ujarnya saat memberikan kuliah umum di Akademi Bela Negara pada Minggu, 16 Juli silam.
Apa yang menjadi keputusan Jokowi ini memang menimbulkan suatu perkara dilematis. Pertama, ia bisa saja menggadaikan popularitasnya dengan menerbitkan Perppu Ormas belakangan. Mengingat bahwa telah memasuki jarak waktu 2 (dua) tahun menjelang Pemilu Presiden berikutnya, layaknya mantan Walikota Solo ini harus lebih sangat berhati-hati dalam tiap keputusannya.
Akibatnya, tak sedikit yang menilai bahwa Jokowi sebagai seorang yang anti-demokrasi serta otoriter. Meski sesungguhnya demokrasi pun memiliki ambang nilai batas bila dikaitkan dengan nasionalisme serta keamanan negara. Namun nampaknya perkara dilematis telah menjadi santapan sehari-hari selaku Presiden dari sebuah negeri Republik yang kerap dikacaukan oleh parlemennya  sendiri ini.
Kedua, keamanan negara pun sudah selayaknya menjadi jaminan pemerintah bagi warga negaranya. Dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 pun disebutkan bahwa, "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara." Itu artinya pemerintah tidak sendirian dalam menjamin keamanan warganya. Dalam hal ini, Jokowi dihadapkan dengan ormas yang memiliki pandangan radikal terhadap religi serta ideologinya yang dimanuverkan untuk kapanpun siap mengganti sistem negara serta pemerintahan yang ada.
HTI, sudah kerap disebut melalui media massa sebagai organisasi yang anti dengan falsafah dasar negara, Pancasila. Kemudian organisasi ini pun menilai demokrasi adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ideologi religi mereka. Menjadi tantangan besar pula bagi Jokowi untuk tetap menjaga keamanan negara agar stabil sehingga NKRI tidak terongrong ke depannya. Memang sebuah peraturan diterbitkan selalu diliputi dengan perkara dilematis. Namun tampaknya, usaha represif total untuk membekukan ormas bertentangan ini diambil sebagai langkah yang paling tepat untuk menjaga keamanan negara, meski banyak yang tidak sependapat.
Sikap Erdogan Serta Tendensi Kecintaan Publik Indonesia Terhadap Dirinya
Siapa yang tak mengenal Erdogan? Namanya kian nyaring terdengar ketika dirinya seakan-akan menjadi 'manusia kebal' dalam Coup d'Etate(kudeta) Turki pada 2016 lalu. Hal ini pula yang menjadikannya ia menjadi tokoh yang semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia secara partikular. Tak sedikit yang mengagung-agungkannya sebagai sosok pemimpin yang ideal dibanding dengan Presiden kita saat ini.
Sebagai catatan, pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) itu fasih dalam Al Quran. Nampaknya hal ini yang menjadikannya sebagai sosok idola di negeri kita, mengingat pula terjadinya politisisasi religi pada ajang pemilihan gubernur wilayah daerah pusat yang menajamkan opini bahwa pemimpin harus sesuai dengan religi masyarakat mayoritasnya.
Patut kita refleksikan, apabila Jokowi dengan menerbitkan Perppu ormas saja dapat disebut sebagai pemerintah otoriter serta anti-demokrasi, lantas dapat kita sebut apa Erdogan dengan pemerintahannya yang banyak dibanggakan oleh masyarakat kita?
Hal ini dapat kita lakukan dengan kembali mengasah ingatan kita dengan tindakan Erdogan pasca kudeta yang gagal pada 2016 silam. Pasca peristiwa tersebut, Erdogan dengan mudah menudingkan jarinya kepada Fathullah Gulen yang merupakan seorang tokoh sufi Turki dan pegiat pengembangan pendidikan sebagai dalang utama di balik kudeta tersebut.
Kemudian tindakannya dibuntuti dengan terbitnya dekret yang tak membutuhkan persetujuan parlemen mengenai surat perintahnya. Dekret yang ujung-ujungnya berhilir pada penguatan partai oposisi pemerintahan Turki. Tindak lanjut daripada itu, ia memaksa untuk melakukan penutupan terhadap 1.043 sekolah swasta, 1.229 Â yayasan amal, 15 universitas, 35 lembaga medis, serta salah satu kantor media berita terkemuka di Turki, Zaman, juga ia bredel secara paksa dengan tudingan yang mudah dan enteng didengar. "Terkait dengan Gulen," yang bermukim di Amerika Serikat (AS) saat ini.
Tak luput dari itu, ratusan ribu orang pun dicopot dari jabatannya, dipecat, digencet sampai di penjara seumur hidup. Bukan hanya itu, bahkan Erdogan juga memaksa pemerintah Indonesia menutup sekolah yang diinisiasi jaringan Gulen yang memang tersebar di banyak kota di Indonesia.
Kemudian apabila Jokowi dengan penerbitan Perppu ormasnya untuk menyelamatkan bangsa dan negara terhadap ancaman kelompok radikal yang bertentangan dengan falsafah dasar negara sementara Erdogan melakukan jurus purge(pembersihan) untuk memertahankan serta memerluas kedudukannya.
Dan juga mengingat mereka yang dipecat Erdogan tidak dapat menggugat ke pengadilan sementara pemerintahan Jokowi membuka peluang sebesar-besarnya ormas yang digugat untuk melakukan pembelaan dan menggugat pemerintah di pengadilan, lalu manakah yang lebih pantas untuk dibanggakan dan dicap sebagai seorang otoriter?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H