Mohon tunggu...
Arsenio Wicaksono
Arsenio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Semarang pada tanggal 25 Maret 1998. Pria bertubuh setinggi Sutan Syahrir ini mengambil fokus studi Akuntansi di Universitas Diponegoro. Memiliki ketertarikan pada dunia ekonomi, sains, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Harga Pangan Stabil, Mahasiswa Menye-menye Bungkam

26 Juni 2017   12:22 Diperbarui: 26 Juni 2017   13:48 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang menjadi kegarangan mereka pada saat itu ada salah satunya menyangkut kenaikan harga cabai. Harga cabai yang meroket kerap mereka ungkit sebagai biang kegagalan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Unik, mungkin saja pemerintah pada saat itu memang lemah dan belum memiliki solusi pamungkas dalam menetralkan situasi yang dikuasai oleh pengepul nakal, bisa saja ini adalah faktor stok yang kurang akibat gagal panen terkait cuaca yang ekstrem pada tahun lalu. Semuanya saling lempar.

Entah apapun yang terjadi, mungkin saja mahasiswa-mahasiswa ini memrotes mengenai cabai yang mereka nilai sangat punya peran sangat vital bagi kehidupan mereka. Bisa saja mereka takut kehilangan kesempatan untuk memakan ayam geprek yang notabene membutuhkan banyak cabai dalam satu porsinya. Tapi itu hanya asumsi saya pada saat itu.

Dalam kaitannya dengan lebaran tahun ini, sikap mereka (mahasiswa menye-menye) sangat berbeda. Pemerintah kali ini dapat dikatakan secara relatif berhasil menstabilkan harga pangan secara menyeluruh, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan, cabai yang notabene bukan kebutuhan pokok, pada saat itu mampu menjadi amukan amarah mahasiswa. Hal ini seakan-akan membuktikan kebenaran ucapan bahwa "gagal dicaci, sukses tak dipuji" benar menjadi perilaku yang terbukti dilakukan oleh bangsa ini. Apalagi mahasiswa adalah cerminan bangsa pada esok hari.

Maklum, mungkin saja saat itu memang baru terjadi penggantian kepengurusan oleh kebanyakan organisasi mahasiswa kampus. Mereka jadi lebih mengejar eksistensi ketimbang esensi. Alih-alih menunjukkan eksistensi kepada "rakyat", mereka sukar untuk menyadari kenyataan bahwa mereka sebenarnya sudah dan lebih ditindas oleh birokrasi kampus. Dari sini, timbul suatu dilematis yang timbul akan prioritas pilihan, untuk yang katanya "rakyat" atau lebih berfokus kepada perjuangan mahasiswa internal melawan birokrat kampus sebagai penindas dalam klandestinitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun