"Alhamdulillah dek, lebaran kali ini harga pangan nggak ekstrem kayak dulu-dulu"
Semburat senyum tampak indah dari raut muka ibu saya. Kata-kata yang mengindikasikan puas akan kinerja pemerintah keluar tanpa ragu dari ucapan ibu saya pada dua hari setelah hari raya Idul Fitri tahun ini. Hal ini sangat berbeda, di mana biasanya ketika menjelang lebaran, ibu saya sudah ngomel-ngomel gusar sepulangnya dari pasar. Tentu, omelan tersebut berisi tentang keluhan harga pangan yang naik tak lazim di pasaran.
Kalau kita telisik lebih dalam dan melakukan perbandingan. Memang, harga pangan pada lebaran kali ini dapat dikatakan lebih relatif stabil apabila dibandingkan dengan lebaran tahun lalu. Lantas tak heranlah apabila Jokowi memberi apresiasi kepada Enggartiasto Lukita dan Amran Sulaiman selaku Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian yang memiliki andil besar terhadap kesuksesannya dalam menjaga harga pangan agar tetap stabil.
Bergulat dengan data, sedikit akan saya paparkan melalui data yang dilansir melalui laman katadata.com, bahwa selama bulan Ramadan, sebagian besar harga komoditas pangan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4,8 persen. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan strategis (PIHPS), kenaikan tertinggi dialami oleh bawang merah yang naik hinga 20,91 persen.
Jika pada lebaran tahun lalu harga daging sapi dapat mencapai pada titik harga 170 ribu rupiah per kilogram, berbeda dengan lebaran tahun ini, harga daging sapi tertahan pada level 110 -- 120 ribu rupiah per kilogram. Dan patut kita ketahui, kondisi harga jual ini merupakan yang termurah dalam 10 tahun terakhir pada musim puasa dan lebaran.
Keseriusan pemerintah dalam menjaga stabilnya harga daging semakin tampak melalui ucapan Syarkawi selaku Ketua Komisi Pengawas Pesaingan Usaha (KPPU) yang mengatakan, "Sementara, secara keseluruhaan pada Mei dan Juni 2017 ini, total kebutuhan daging sapi Indonesia diproyeksikan hanya mencapai 64 ribu ton, sedangkan pasokan diprediksi mencapai 82 ribu ton. Jadi harganya tidak akan naik karena stoknya masih ada surplus."
Hal ini jugalah yang memicu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, berani memerkirakan laju inflasi sepanjang Ramadhan atau Juni tahun ini hanya 0,39 persen. Proyeksi ini menunjukan angka yang paling rendah sejak puasa tahun 2007 atau dalam satu dekade terakhir. Sesuatu yang tak dapat kita hindari untuk kita sebut sebagai prestasi.
Harga Pangan, Mahasiswa Menye-Menye, dan Refleksi Awal Tahun 2017
Bagi saya, topik ini penting untuk saya angkat mengingat bagaimana asa mahasiswa menggugat pemerintahan pada awal tahun 2017. Mari kita melatih ingatan secara ringan, kita ingat bahwa pada awal tahun, mahasiswa yang tergabung dalam aliansi seluruh Indonesia menggembar-gemborkan akan kegagalan pemerintah terkait kebijakan-kebijakan yang dinilai akan menyengsarakan rakyat.
Para mahasiswa yang terbakar dalam api semangat ini saya nilai sangat berani untuk menyuarakan suara mereka. Mereka bahkan melibatkan nama rakyat dalam aksinya yang lanjut mereka namai aksi mereka menggunakan 3 (tiga) digit angka yang terkenal digunakan dalam aksi-aksi yang katanya bela salah satu religi di bumi pertiwi belakangan.
Entah sudah melibatkan rakyat atau belum. Namun apabila menyangkut sebuah tagline, tentunya hal tersebut perlu dirundingkan dulu dengan unsur subyek yang bersangkutan -- dalam hal ini rakyat. Apalagi bawa-bawa nama "Reformasi Jilid II", hal tersebut terdengar kocak di telinga saya. Saya membayangkan mahasiswa angkatan ini akan kembali menduduki gedung jenaka Senayan untuk berdiri di atapnya yang berwarna hijau. Heroik.
Apa yang menjadi kegarangan mereka pada saat itu ada salah satunya menyangkut kenaikan harga cabai. Harga cabai yang meroket kerap mereka ungkit sebagai biang kegagalan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Unik, mungkin saja pemerintah pada saat itu memang lemah dan belum memiliki solusi pamungkas dalam menetralkan situasi yang dikuasai oleh pengepul nakal, bisa saja ini adalah faktor stok yang kurang akibat gagal panen terkait cuaca yang ekstrem pada tahun lalu. Semuanya saling lempar.
Entah apapun yang terjadi, mungkin saja mahasiswa-mahasiswa ini memrotes mengenai cabai yang mereka nilai sangat punya peran sangat vital bagi kehidupan mereka. Bisa saja mereka takut kehilangan kesempatan untuk memakan ayam geprek yang notabene membutuhkan banyak cabai dalam satu porsinya. Tapi itu hanya asumsi saya pada saat itu.
Dalam kaitannya dengan lebaran tahun ini, sikap mereka (mahasiswa menye-menye) sangat berbeda. Pemerintah kali ini dapat dikatakan secara relatif berhasil menstabilkan harga pangan secara menyeluruh, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan, cabai yang notabene bukan kebutuhan pokok, pada saat itu mampu menjadi amukan amarah mahasiswa. Hal ini seakan-akan membuktikan kebenaran ucapan bahwa "gagal dicaci, sukses tak dipuji" benar menjadi perilaku yang terbukti dilakukan oleh bangsa ini. Apalagi mahasiswa adalah cerminan bangsa pada esok hari.
Maklum, mungkin saja saat itu memang baru terjadi penggantian kepengurusan oleh kebanyakan organisasi mahasiswa kampus. Mereka jadi lebih mengejar eksistensi ketimbang esensi. Alih-alih menunjukkan eksistensi kepada "rakyat", mereka sukar untuk menyadari kenyataan bahwa mereka sebenarnya sudah dan lebih ditindas oleh birokrasi kampus. Dari sini, timbul suatu dilematis yang timbul akan prioritas pilihan, untuk yang katanya "rakyat" atau lebih berfokus kepada perjuangan mahasiswa internal melawan birokrat kampus sebagai penindas dalam klandestinitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H