Hari kebangkitan nasional semakin dekat, asa penyambutannya kian menggelora. Berdiskusi, berdialektika, dan konsolidasi peringatan hari kebangkitan nasional dilakukan seakan-akan menjadi kegiatan tahunan oleh mahasiswa dan masyarakat di seluruh penjuru nusantara. Semuanya dilakukan untuk menjadi wadah refleksi masyarakat akan bangsa kita yang notabene telah bangkit secara nasional diawali dengan terbentuknya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1998. Kemudian hal tersebut menimbulkan pertanyaan, kenapa harus bertepatan dengan hari terbentuknya Boedi Oetomo? Kenapa bukan yang lainnya?
Dengan ide dasarnya, Boedi Oetomo memiliki tekad untuk memajukan bangsa dan menumbuhkan semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan sehingga bangsa Indonesia mampu mengurus negara yang merdeka dengan kekuatan sendiri. Gagasan Boedi Oetomo inilah yang selanjutnya menggugah dan mendorong lahirnya berbagai organisasi politik seperti Sarikat Islam, NU, Muhammadiyah, PNI, Parkindo dan sebagainya. Oleh karena itulah, perjuangan Boedi Oetomo dikenang sebagai angkatan 08 atau angkatan perintis yang selanjutnya diperingati sebagai hari kebangkitan nasional.
Rasa nasionalisme tentunya menjadi faktor vital akan terbentuknya masyarakat yang bangkit dengan bunga cinta terhadap negaranya, Indonesia. Nasionalisme menjadi energi yang dapat membangkitkan suatu bangsa, masyarakat, dan negara agar negara tersebut mengetahui potensi kekuatan nasionalnya untuk dikembangkan menuju cita-cita yang diharapkan yaitu masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa. Telah lebih dari 100 tahun negara kita memeringati hari kebangkitan nasional, pasang surut rasa nasionalisme nampaknya menjadi hal yang wajar sebagaimana berdirinya suatu bangsa.
Kalimat terakhir yang saya sampaikan tampaknya akan menjadi suatu hal yang rancu bagi beberapa orang, tetapi saya mengajak para pembaca sekalian untuk melihat secara singkat mengenai apa saja hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dianggap remeh, dan juga bagaimana lambang negara kita yang gagah dilecehkan oleh beberapa pihak yang tak bertanggungjawab akan perbuatannya yang mencederai NKRI.
Pejabat Dituding Sebagai “Pengkhianat” Pancasila
Selasa, 16 Februari silam, terpampanglah tulisan berukuran cukup besar di sebuah papan billboard wilayah Jakarta Pusat, yang sudah pasti menarik perhatian warga sekitar yang berkendara ataupun melintasi papan tersebut. Tulisan yang dirangkai pun cukup frontal. “Presiden biadab kianati Pancasila,” begitulah tulisan tersebut terpampang besar tanpa canggung menggunakan huruf kapital di setiap hurufnya.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang sudah pasti timbul oleh setiap pasang mata yang membaca tulisan tersebut. “Siapa yang melakukannya?” Lain daripada itu, pelaku kegiatan vandalisme tersebut saya rasa memiliki niat dan tekad yang besar untuk melakukan hal tersebut. Bukti dari opini yang terlinta s dari ucapan saya barusan adalah sebagai fakta, bahwa tulisan tersebut ditulis pada papan billboard yang tingginya mencapai 30 meter.
Sebagai respon dari tindakan vandalisme itu, sekitar 10 petugas pemadam kebakaran langsung berusaha untuk menurunkan papan tersebut dengan tujuan untuk meredam reaksi masyarakat serta kemacetan yang terjadi di sekitar lokasi papan yang dicoret-coret tersebut. Reaksi sendiri timbul dari benak pikiran saya, apa motivasi pelaku yang sangat tinggi sehingga ia nekat untuk melakukan hal tersebut? Apakah keselamatan menjadi prioritas nomor dua setelah penyampaian aspirasi pada papan billboard setinggi 30 meter yang dilakukan oleh sang pelaku?
Kontroversi Poster “Garudaku Kafir”
Satu lagi hal yang cukup menarik perhatian masyarakat hingga bahkan menjadi berita rubrik nasional di salah satu media massa online. Ketika sedang gencar-gencarnya akan geger pembubaran salah satu organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan juga NKRI, eh muncul oknum yang nekat pula untuk menempelkan poster kontroversial bersifat provokatif yang dinilai melecehkan lambang negara.
Entah apa maksud di balik aksi provokasi melalui poster tersebut, tetapi yang jelas bahwa aksi ini memiliki potensi untuk memecah belah NKRI dengan dampak yang dapat menimbulkan berbagai salah tafsir di kalangan masyarakat umum. Menggunakan kata kafir, mengingatkan saya seperti cerita mengenai kaum Wahabi yang sering mengafirkan orang agama lain atau bahkan orang se-agama saja bisa dicap kafir. Melihat dari kontroversialnya judul yang digunakan, membuat saya bertanya-tanya akan latar belakang dari sang pelaku.
Antara ingin menunjukkan potensi kekreatifan atau memang ingin mencari popularitas dengan menggunakan judul yang kontroversif, hal ini patut digaris bawahi sebagai langkah yang sangat tidak bijak apalagi jika tujuannya untuk menarik massa agar bergabung dengan acara yang diwacanakan sesuai yang tertulis di bawah judul poster. 20 Mei 2017 pukul 15.30 WIB, acara apakah itu? Menghubungkan dengan judul poster, pantaskah acara tersebut dilaksanakan bertepatan dengan hari kebangkitan nasional?
Refleksi Akan Terjalnya Jalan Menuju Hari Peringatan Kebangkitan Nasional
Sekilas menoleh ke belakang, bangsa kita beberapa hari ini memang sedang digoncang dengan beberapa fenomena yang telah disebutkan. Apalagi dengan viralnya perdebatan mengenai vonis gubernur petahana yang diadili setelah ucapannya yang kontroversial di kepulauan Seribu, hal ini memang membuat masyarakat mengalami fragmentasi melalui perbedaan pendapatnya. Mana yang benar? Semuanya mengaku sama-sama benar.
Ada yang menganggap tidak adil akan vonisnya dianggap terlalu enteng, kemudian menyalahkan konstitusi peradilan negara yang subyektif, lanjut dari itu adalah penudingan bahwa pemerintah memiliki andil dalam putusan vonis tersebut. Ada pula yang menganggap bahwa ia seharusnya tak ditahan, kemudian menyerukan untuk kembali menanamkan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat majemuk di negara kita, tetapi juga menyalahkan kelompok-kelompok yang dirasa berseberangan dengan mereka dan meminta pemerintah untuk memberangusnya.
Yang paling parah di antara semuanya adalah munculnya gerakan-gerakan yang menuding Pancasila tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga ingin menggantikannya dengan paham yang mereka anggap sangat mulia dan auto surga. Menjadi suatu koinsiden atau pun memang disengaja, kejadian-kejadian ini sangat bertepatan dengan menjelang hari peringatan kebangkitan nasional. Pertanyaan pun kembali timbul, jika memang hari kebangkitan nasional diidentikan dengan kebangkitan jiwa nasionalisme, apakah sekedar peringatan saja cukup untuk menyambut hari yang mulia ini?
Jika hanya dilakukan sebagai penyambutan akan suatu peringatan, memang terdengar sia-sia. Solusinya? Sudah pasti, menanamkan nilai-nilai Pancasila serta toleransi akan keberagaman menjadi jawabannya. Tetapi menurut saya hal tersebut harus digencarkan penanamannya tidak hanya menjelang hari kebangkitan nasional, namun dalam keseharian hidup sebagai warga negara. Bangkitlah bangsa Indonesiaku!
Hari kebangkitan nasional semakin dekat, asa penyambutannya kian menggelora. Berdiskusi, berdialektika, dan konsolidasi peringatan hari kebangkitan nasional dilakukan seakan-akan menjadi kegiatan tahunan oleh mahasiswa dan masyarakat di seluruh penjuru nusantara. Semuanya dilakukan untuk menjadi wadah refleksi masyarakat akan bangsa kita yang notabene telah bangkit secara nasional diawali dengan terbentuknya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1998. Kemudian hal tersebut menimbulkan pertanyaan, kenapa harus bertepatan dengan hari terbentuknya Boedi Oetomo? Kenapa bukan yang lainnya?
Dengan ide dasarnya, Boedi Oetomo memiliki tekad untuk memajukan bangsa dan menumbuhkan semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan sehingga bangsa Indonesia mampu mengurus negara yang merdeka dengan kekuatan sendiri. Gagasan Boedi Oetomo inilah yang selanjutnya menggugah dan mendorong lahirnya berbagai organisasi politik seperti Sarikat Islam, NU, Muhammadiyah, PNI, Parkindo dan sebagainya. Oleh karena itulah, perjuangan Boedi Oetomo dikenang sebagai angkatan 08 atau angkatan perintis yang selanjutnya diperingati sebagai hari kebangkitan nasional.
Rasa nasionalisme tentunya menjadi faktor vital akan terbentuknya masyarakat yang bangkit dengan bunga cinta terhadap negaranya, Indonesia. Nasionalisme menjadi energi yang dapat membangkitkan suatu bangsa, masyarakat, dan negara agar negara tersebut mengetahui potensi kekuatan nasionalnya untuk dikembangkan menuju cita-cita yang diharapkan yaitu masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sentosa. Telah lebih dari 100 tahun negara kita memeringati hari kebangkitan nasional, pasang surut rasa nasionalisme nampaknya menjadi hal yang wajar sebagaimana berdirinya suatu bangsa.
Kalimat terakhir yang saya sampaikan tampaknya akan menjadi suatu hal yang rancu bagi beberapa orang, tetapi saya mengajak para pembaca sekalian untuk melihat secara singkat mengenai apa saja hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dianggap remeh, dan juga bagaimana lambang negara kita yang gagah dilecehkan oleh beberapa pihak yang tak bertanggungjawab akan perbuatannya yang mencederai NKRI.
Pejabat Dituding Sebagai “Pengkhianat” Pancasila
Selasa, 16 Februari silam, terpampanglah tulisan berukuran cukup besar di sebuah papan billboard wilayah Jakarta Pusat, yang sudah pasti menarik perhatian warga sekitar yang berkendara ataupun melintasi papan tersebut. Tulisan yang dirangkai pun cukup frontal. “Presiden biadab kianati Pancasila,” begitulah tulisan tersebut terpampang besar tanpa canggung menggunakan huruf kapital di setiap hurufnya.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang sudah pasti timbul oleh setiap pasang mata yang membaca tulisan tersebut. “Siapa yang melakukannya?” Lain daripada itu, pelaku kegiatan vandalisme tersebut saya rasa memiliki niat dan tekad yang besar untuk melakukan hal tersebut. Bukti dari opini yang terlinta s dari ucapan saya barusan adalah sebagai fakta, bahwa tulisan tersebut ditulis pada papan billboard yang tingginya mencapai 30 meter.
Sebagai respon dari tindakan vandalisme itu, sekitar 10 petugas pemadam kebakaran langsung berusaha untuk menurunkan papan tersebut dengan tujuan untuk meredam reaksi masyarakat serta kemacetan yang terjadi di sekitar lokasi papan yang dicoret-coret tersebut. Reaksi sendiri timbul dari benak pikiran saya, apa motivasi pelaku yang sangat tinggi sehingga ia nekat untuk melakukan hal tersebut? Apakah keselamatan menjadi prioritas nomor dua setelah penyampaian aspirasi pada papan billboard setinggi 30 meter yang dilakukan oleh sang pelaku?
Kontroversi Poster “Garudaku Kafir”
Satu lagi hal yang cukup menarik perhatian masyarakat hingga bahkan menjadi berita rubrik nasional di salah satu media massa online. Ketika sedang gencar-gencarnya akan geger pembubaran salah satu organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan juga NKRI, eh muncul oknum yang nekat pula untuk menempelkan poster kontroversial bersifat provokatif yang dinilai melecehkan lambang negara.
Entah apa maksud di balik aksi provokasi melalui poster tersebut, tetapi yang jelas bahwa aksi ini memiliki potensi untuk memecah belah NKRI dengan dampak yang dapat menimbulkan berbagai salah tafsir di kalangan masyarakat umum. Menggunakan kata kafir, mengingatkan saya seperti cerita mengenai kaum Wahabi yang sering mengafirkan orang agama lain atau bahkan orang se-agama saja bisa dicap kafir. Melihat dari kontroversialnya judul yang digunakan, membuat saya bertanya-tanya akan latar belakang dari sang pelaku.
Antara ingin menunjukkan potensi kekreatifan atau memang ingin mencari popularitas dengan menggunakan judul yang kontroversif, hal ini patut digaris bawahi sebagai langkah yang sangat bijak apalagi jika tujuannya untuk menarik massa agar bergabung dengan acara yang diwacanakan sesuai yang tertulis di bawah judul poster. 20 Mei 2017 pukul 15.30 WIB, acara apakah itu? Menghubungkan dengan judul poster, pantaskah acara tersebut dilaksanakan bertepatan dengan hari kebangkitan nasional?
Refleksi Akan Terjalnya Jalan Menuju Hari Peringatan Kebangkitan Nasional
Sekilas menoleh ke belakang, bangsa kita beberapa hari ini memang sedang digoncang dengan beberapa fenomena yang telah disebutkan. Apalagi dengan viralnya perdebatan mengenai vonis gubernur petahana yang diadili setelah ucapannya yang kontroversial di kepulauan Seribu, hal ini memang membuat masyarakat mengalami fragmentasi melalui perbedaan pendapatnya. Mana yang benar? Semuanya mengaku sama-sama benar.
Ada yang menganggap tidak adil akan vonisnya dianggap terlalu enteng, kemudian menyalahkan konstitusi peradilan negara yang subyektif, lanjut dari itu adalah penudingan bahwa pemerintah memiliki andil dalam putusan vonis tersebut. Ada pula yang menganggap bahwa ia seharusnya tak ditahan, kemudian menyerukan untuk kembali menanamkan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat majemuk di negara kita, tetapi juga menyalahkan kelompok-kelompok yang dirasa berseberangan dengan mereka dan meminta pemerintah untuk memberangusnya.
Yang paling parah di antara semuanya adalah munculnya gerakan-gerakan yang menuding Pancasila tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga ingin menggantikannya dengan paham yang mereka anggap sangat mulia dan auto surga. Menjadi suatu koinsiden atau pun memang disengaja, kejadian-kejadian ini sangat bertepatan dengan menjelang hari peringatan kebangkitan nasional. Pertanyaan pun kembali timbul, jika memang hari kebangkitan nasional diidentikan dengan kebangkitan jiwa nasionalisme, apakah sekedar peringatan saja cukup untuk menyambut hari yang mulia ini?
Jika hanya dilakukan sebagai penyambutan akan suatu peringatan, memang terdengar sia-sia. Solusinya? Sudah pasti, menanamkan nilai-nilai Pancasila serta toleransi akan keberagaman menjadi jawabannya. Tetapi menurut saya hal tersebut harus digencarkan penanamannya tidak hanya menjelang hari kebangkitan nasional, namun dalam keseharian hidup sebagai warga negara. Bangkitlah bangsa Indonesiaku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H